KH Ahmad Abdul Hamid Serba Bisa (I)

KH Ahmad Abdul Hamid lahir pada 1915 di Kendal.

Nahdlatul Ulama
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, KH Ahmad Abdul Hamid lahir pada 1915 di Kendal. Ayahnya bernama KH Abdul Hamid yang juga merupakan salah seorang dai terkemuka di daerah tersebut. Tidak banyak sumber yang menuturkan tentang riwayat masa kecilnya. Kebanyakan menyinggung masa kelahirannya yang tepat berada dalam konteks zaman pertumbuhan pergerakan nasional.

Baca Juga

Seperti diketahui, organisasi kebangsaan pertama di Tanah Air, Sarekat Islam, muncul pada 16 Oktober 1905. Tujuh tahun kemudian, KH Ahmad Dahlan merintis pembentukan Persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta.

Pada 1918, Nahdlatul Tujjar muncul yang akhirnya dipandang sebagai cikal bakal NU. Dan, ketika Ahmad Abdul Hamid melakoni masa kecilnya para kiai Islam tradisionalis mulai melakukan konsolidasi hingga terbentuklah NU pada 31 Januari 1926.

Dalam usia remaja, Ahmad muda sudah memiliki pengetahuan agama yang mumpuni. Ia tidak hanya aktif di lingkungan pesantren tempat nya menimba ilmu, tetapi juga dunia organisasi. Lahirnya NU membuatnya semakin giat melibatkan diri dalam berbagai pergerakan.

Dalam masa ini, dirinya juga mulai bersahabat baik dengan Abdul Wahid Hasyim (1914-1953), seorang putra pendiri NU Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari (1871-1947). Keduanya berumur sebaya dan sama-sama penerus alim ulama terkemuka.

 

 

Ahmad bin KH Abdul Hamid juga mulai aktif menulis sejak belia. Malahan, ia turut membesarkan aktivitas penerbitan dalam organisasi NU. Setidaknya, ada tiga pers yang diterbitkan oleh NU sedari mula, yaitu Swara Nahdlatoel Oelama, Oetoesan Nahdlatoel Oelama, Berita Nahdlatoel Oelama(NO), dan Soeloeh Perdjuangan. Sejak 1930- an, Ahmad Abdul Hamid muda telah terlibat dalam penulisan dan penerbitan majalah Berita NO.

Pada masa itu, pers nasionalis lebih suka menggunakan aksara Latin dan bahasa Melayu atau bahasa Belanda. Sementara, media cetak yang dirintis Jam'iyah NU cenderung menggunakan aksara pegon dan berbahasa Jawa.

Hal ini ten tunya sesuai dengan sasaran pembaca nya yang berlatar belakang santri.Bagaimanapun, penulisan iklan atau beberapa pengumuman publik yang tercantum di tiap majalah bulanan itu acap kali menggunakan huruf Latin dan bahasa Melayu.

Hingga akhir hayatnya, Kiai Ahmad terus berkhidmat pada dunia tulis-menulis, baik yang dihasil kannya sendiri maupun bersama dengan NU. Dalam sebuah kesem patan, KH Sahal Mahfudz menuturkan, ulama asal Kendal itu juga telaten da lam merawat dokumentasi organi sasi ini, khususnya yang berkaitan dengan media cetak.

Tak sedikit terbitan pers NU, termasuk buletin Lailatul Ijtima' Nadhlatoel Oelama yang disimpannya dengan baik. Saat Berita NOmulai terbit pada 1930- an, sang alim juga mendukung operasionalnya, baik sebagai kon tributor maupun distributor.

 

 

Kiprah di NU

Beberapa bulan sesudah pembentukannya pada 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926, Jam'iyah NU belum dapat bergerak secara optimal. Sebab, persiapan perlu dimatangkan di berbagai bidang. Fokus utamanya masih seputar konsolidasi ulama-ulama Islam tradisionalis, baik di dalam maupun luar Jawa.

Barulah sekitar empat tahun kemudian, organisasi tersebut dapat berjalan dengan lebih sistematis. Bermula dari Muktamar ke-5 NU di Pekalongan, Jawa Tengah, pada 1930. Momen ini dinilai banyak kalangan sebagai tonggak penting sejarah perjalanan NU ke depannya.

Sebab, pembagian divisi organisasi mu lai dipertegas lagi sehingga terben tuklah berbagai lembaga dan lajnah yang menangani aneka macam tugas. Ada yang berkutat pada bidang umum, dakwah, pendidikan, urusan luar negeri, dan sebagainya. 

Ketika KH Ahmad Abdul Hamid terjun ke NU, konsolidasi demikian sudah berlangsung dengan baik. Namun, hal itu tidaklah berarti kiprahnya di jam'iyahitu diwujudkan secara instan. Ia tetap mengikuti tahap demi tahap, dimulai dari tingkat cabang sampai pengurus besar.

Di Kabupaten Kendal, ia memimpin pengurus cabang Nahdlatul Ulama (PBNU) setempat. Selanjutnya di level Jawa Tengah, dirinya sempat men jadi wakil rais syuriah dan kemudian rais syuriah, dengan katib yakni KH Sahal Mahfudz. Hingga akhirnya, Kiai Ahmad hijrah ke DKI Jakarta dan menjadi mustasyar PBNU. Ulama yang juga mengasuh Pondok Pesantren al-Hidayah Kendal itu juga pernah menjadi unsur pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah.

 

 

Kontribusi Kiai Ahmad juga terasa saat PBNU mulai memindahkan kantor pusatnya dari Surabaya, Jawa Timur, ke DKI Jakarta. Waktu itu, Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 belum lama usai. Partai NU mendapatkan suara yang cukup signifikan.

Para tokoh Nahdliyin lantas berinisiatif untuk menggeser basis organisasi ini ke Ibu Kota. Akhirnya, sebuah bangunan di Jalan Menteng Raya Nomor 22 terpilih sebagai kantornya. Kepindahan kantor NU ke Jakarta itu berlangsung lancar antara lain berkat jasa seorang saudagar NU di Betawi, yakni H Djamaluddin Malik. 

Lama kelamaan, kapasitas gedung di Jalan Menteng itu dirasakan tak lagi memadai. Sekretaris jenderal PBNU waktu itu, KH Saifuddin Zuhri lantas meminta bantuan KH Muhammad Dahlan untuk mencarikan kantor baru yang cukup representatif sebagai markas organisasi ini. Kiai Dahlan lantas berbincang dengan H Djamaluddin dan intelektual NU Syubchan ZE. Tercetuslah ide untuk memilih tempat di sekitar Jalan Raden Saleh.

Akhirnya, Kiai Dahlan menemukan gedung yang menurutnya ideal, yakni beralamat di Jalan Kramat Raya Nomor 164. Kiai Saifuddin Zuhri sempat meminta agar memilih tempat yang lain saja. Namun, sosok kelahiran Pasuruan, Jawa Timur, itu akhirnya berhasil meyakinkan tokoh yang nantinya menjadi menteri agama RI ke-10 itu.

Sebab, Jalan Kramat Raya pada faktanya dihuni berbagai kantor organisasi ternama, semisal Partai Nasional Indonesia (PNI) atau Masyumi. Apalagi, kawasan dekat Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr Cipto Mangunkusumo itu juga strategis.

Maka kantor PBNU pun berdiri di sana, bahkan hingga hari ini. Dan, di sinilah peran Kiai Ahmad Abdul Hamid yang mengonsep corak bangunan markas Jam'iyah NU itu. Ia mengusulkan agar gedung setinggi sembilan lantai itu dibangun menyeru pai lambang NU, lintang songo. Sayangnya, sang kiai lebih dahulu wafat sebelum pembangunan proyek tersebut tuntas.

 

Legasi lainnya dari ulama kharismatik itu ialah silaturahim ngumpulke balung pisah. Forum nonformal itu pertama kali digagas oleh Kiai Ahmad. Secara kebahasaan, isti ah tersebut berarti `mengumpulkan tulang yang terpisah.' Makna nya, silatu rahim yang dilakukan tidak hanya mempertemukan, tetapi juga menyam bung kembali sendi-sendi hubungan kekeluargaan dan kekerabatan agar selalu luwes dan akrab.

Dalam hal ini, ia tampaknya terinspirasi dari sabda Nabi Muhammad SAW, Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah suka menyambung tali persaudaraan (silaturahim). Hingga kini, praktik-praktik sila tu rahim ngumpulke balung pisahmasih sering dilakukan para warga dan tokoh Nahdliyin, baik di desa maupun kota.

Uniknya, Kiai Ahmad juga melebarkan kiprahnya di dunia olahraga. Ia tercatat sebagai anggota klub jantung sehat dan bahkan pernah menja di wakil ketua Komite Olahraga Nasio nal Indonesia (KONI) Jawa Tengah.

Rijal Mumazziq Z dalam artikelnya di situs resmi NU menuturkan suatu kisah menarik terkait hal itu. Suatu ketika, seorang pengusaha hendak meresmikan kolam renang umum miliknya. Kiai Ahmad pun diundang. Mulanya, sang alim mengira di acara tersebut dirinya hanya diminta untuk memimpin doa pada akhir prosesi. Tak disangka, pihak panitia juga memintanya untuk melakukan lompatan pertama dari menara kolam. Tak tanggung-tanggung, sang pengusaha menghadiahkan sepotong celana renang untuk dikenakannya bagi keperluan itu.

Rijal menuturkan, Kiai Ahmad tak sampai hati bila menolak pemberian tuan rumah. Namun, celana renang itu tak cukup panjang untuk menutupi aurat. Akhirnya, mubaligh itu tetap tampil di puncak menara kolam, tetapi bercelana panjang. Ada pun celana renang itu dipakainya di lar--laksana Superman.

Terus terang, saya terbahak membaca cerita yang disampaikan oleh KH Yahya Cholil Tsaquf ini di buku humor Terong Gosong: Ketawa Secara Serius, tulis rektor Institut Agama Islam al-Falah Assun niyyah Kencong Jember itu.

 
Berita Terpopuler