KH Saleh Lateng, Pejuang Dai dari Blambangan (II)

Oleh guru-gurunya, dirinya dipandang sebagai seorang santri teladan.

Republika/ Wihdan
Ilustrasi Pesantren
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Saleh Lateng kecil telah menerima asupan ilmu-ilmu agama Islam dari kedua orang tuanya. Ia mengaji kepada ayahnya. Tumbuh besar dalam ling kungan pesantren menempa priba dinya dengan penuh disiplin dan ketekunan. Oleh guru-gurunya, dirinya dipandang sebagai seorang santri teladan.

Baca Juga

Baca Sebelumnya: KH Saleh Lateng, Pejuang Dai dari Blambangan bagian pertama

Saat berusia 15 tahun, Saleh nyantri di Pondok Pesantren Kebondalem, Surabaya. Lembaga itu diasuh Kiai Mas Ahmad. Tak lama kemudian, Saleh melanjutkan pencarian ilmunya ke Madura, tepatnya di pesantren asuhan Syaikhona Kholil Bangkalan, seorang ulama besar yang dikenal melahirkan ulama-ulama Nusantara.

Di Bangkalan, Saleh menjadi pelayan (khodim) Kiai Kholil. Selama mengabdi dan belajar kepadanya, pemuda ini mendapatkan begitu banyak ilmu dan nasihat. Semuanya menjadi bekal berharga yang sangat berfaedah, khususnya di kemudian hari ketika dirinya mulai berdakwah di Banyuwangi.

Kiai Kholil pun menaruh rasa sayang kepadanya. Dalam pandangan gurunya itu, Saleh mudah menyerap ilmu-ilmu, seperti saripati kitab Alfiyah karya Ibnu Malik. Untuk menambah khazanah keilmuannya, dirinya pun belajar ke luar daerah. Sebagai contoh, di Jembrana, Bali, ia menuntut ilmu kepada Tuan Guru Muhammad Said.

 

 

Kesempatan besar akhirnya datang kepadanya. Usai cukup lama mengaji di berbagai pesantren di Jawa, Madura, dan Bali, ia kemudian melanjutkan rihlah keilmuannya di Tanah Suci. Kepergiannya ke Makkah, Arab, memang tidak sekadar menunaikan ibadah haji, tetapi juga meneruskan kegigihannya dalam mencari ilmu.

Selama di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW, KH Saleh tidak hanya berguru kepada banyak begawan ilmu, baik yang asli warga setempat maupun yang berasal dari negeri-negeri nonArab. Malahan, tak jarang ia mengajar beberapa santri sebayanya ataupun junior di Masjidil Haram. Ini mem buktikan reputasinya yang sudah dipandang sebagai salah satu rujukan.

Di Makkah, Kiai Saleh berkawan karib dengan KH R As'ad Syamsul Arifin, sosok yang akhirnya mendirikan Pondok Pesantren Sukorejo Situbondo, Jawa Timur. Kiai As'ad merupakan seorang ulama Nusantara yang lahir di Kota Suci, tepatnya Perkampungan Syi'ib Ali, dekat Masjidil Haram.

Bila ditelisik, dari ayah dan ibunya terwariskan darah keturunan Wali Songo.Darinya, Kiai Saleh mendapatkan persahabatan yang erat dan hangat. Sebagai sama-sama santri Syaikhona Kho lil Bangkalan, keduanya saling mendukung satu sama lain.

 

 

Suatu hari, datang kabar dari Tanah Air. Syaikhona Kholil ternyata meminta Kiai Saleh untuk pulang ke kampung halaman. Dirinya diimbau untuk mengabdikan diri dengan mendidik santri dan berjuang mengawal pergerakan. Namun, Kiai Saleh meminta waktu sekira satu tahun kepada sang guru untuk menuntaskan belajarnya di Hijaz.

Pada 1900 M, tatkala usianya mencapai 38 tahun, Kiai Saleh akhirnya kembali ke Indonesia. Ia pun menjadi tokoh agama, khususnya di daerah Lateng, Banyuwangi--sehingga dirinya disebut sebagai Kiai Saleh Lateng.Seiring berjalannya waktu, reputasinya kian terkenal karena kealimannya dalam mendidik para santri.

Bupati Banyuwangi waktu itu, Koesoemonegoro, memberikan izin ke padanya untuk membuka pengajian. Sejak pulang dari Tanah Suci, yakni sekira Maret 1909, Kiai Saleh pun mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada penduduk. Ia berjalan dari kampung ke kampung, menebarkan ajaran Islam ahlussunnah wal jamaah(aswaja)kepada Muslimin Banyuwangi dan sekitarnya.

Untuk diketahui, Banyuwangi saat itu masih merupakan daerah rawan kriminalitas. Banyak bramacorah yang meresahkan masyarakat dan pelintas jalan. Malahan, tidak sedikit warga lokal yang terlibat dalam aktivitas ke jahatan.

Karena itu, Kiai Saleh merasa tertantang untuk lebih mengembangkan dakwah Islam di sana. Ia meyakini, justru wilayah yang sarat maksiat begitu memerlukan kehadiran pendidikan agama, semisal majelis taklim atau pesantren. Dengan begitu, pelanpelan akhlak penduduk setempat dapat lebih diperbaiki.

 

 

Meredam konflik antar bramacorah bukanlah perkara yang mudah. Namun, atas izin dan pertolongan Allah SWT, hal itu mungkin saja terjadi. Tak kenal lelah, Kiai Saleh mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada masyarakat setempat.

Kehadiran majelis-majelis ilmu yang digelarnya juga mulai meminimalkan ulah para perusuh di Banyuwangi. Bahkan, akhirnya banyak penjahat yang kemudian bertobat dan menjadi pengikut setianya. Tidak hanya rajin mengaji, tapi juga mereka juga melatih ilmu bela diri. Tujuannya agar selalu sigap menghadapi penjajah.

Para tokoh bangsa memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia pada 17 Agustus 1945. Buah perjuangan berbilang dekade, atau bahkan abad, ini ternyata tidak direspons lapang dada oleh Belanda. Usai Perang Dunia II, Negeri Kincir Angin ingin menguasai kembali Nusantara, yang sebelumnya dicengkeram pemerintahan pendudukan Jepang selama beberapa tahun.

 

 

Pada masa revolusi kemerdekaan itu, kaum kiai dan santri turut berjuang dalam mempertahankan kedaulatan negeri. Di Banyuwangi, KH Saleh Lateng ikut berperan besar. Ia tidak hanya mengirimkan para santrinya ke medan jihad.

Bahkan, dirinya pun terlibat langsung dalam pertempuran di garda depan. Bersama dengan KH Hasyim Asy'ari dan banyak alim ulama, ia ikut merumuskan Resolusi Jihad yang menjadi spirit para pejuang di Pertempuran Surabaya, 10 November 1945.

Gema Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 itu memang terasa benar.Masyarakat Muslimin, khususnya di Tanah Jawa, merasa terpanggil untuk turut serta di kancah perjuangan bersenjata. Pada momen melawan pasukan Sekutu itu, Kiai Saleh mengutus beberapa anak dan santrinya ke medan perang.

Gerilya dalam perjuangan mem pertahankan kemerdekaan Indonesia. Selama masa-masa ini, ia juga aktif mengikuti perkembangan situasi, semisal melalui siaran Radio Republik Indonesia (RRI) atau media cetak.

Sikap Kiai Saleh terhadap penjajah sangat keras dan tanpa kompromi.Menjelang kemerdekaan, Kiai Saleh bahkan melarang para santrinya untuk berpakaian seperti kaum Barat. Ia memiliki prinsip bahwa menyerupai kaum kafir berarti termasuk di dalam komunitasnya. 

Baca Sebelumnya: KH Saleh Lateng, Pejuang Dai dari Blambangan bagian pertama

 

 

 
Berita Terpopuler