KH Ahmad Al-Hadi Perintis Pesantren di Bali (II)

Setahun bermukim di Kampung Timur Sungai, Kiai Ahmad dapat mendirikan pesantren.

ANTARA/NOVRIAN ARBI
Ilustrasi Pondok Pesantren
Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Beruntunglah KH Ahmad al-Hadi lantaran bisa berguru kepada KH Kholil Bangkalan. Setahun lamanya, ia menuntut ilmu di Madura.

Baca Juga

Selanjutnya, Syaikhona sendiri yang menugaskannya untuk berdakwah di Bali. Pertama-tama, lelaki kelahiran Semarang itu diperintahkan untuk menemui seorang santri yang bernama Tuan Guru Haji (TGH) Muhammad di Loloan Timur, Jembrana

Dalam sejarah syiar Islam, TGH Muhammad termasuk seorang perintis dakwah di Bali. Tempatnya mengajar adalah Masjid Baitul Qadim, yang tidak lain masjid tertua di seluruh Jembrana.

Kelak, di sanalah KH Ahmad al-Hadi mendirikan madrasah pertamanya. Setelah bertemu dengan TGH Muhammad di Bali, Ahmad al-Hadi menyampaikan salam Saikhona Kholil Bangkalan kepadanya. Setelah menjawab salam tersebut, ulama asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu pun bersyukur.

Sebab, gurunya telah mengirimkan seorang pengganti untuk meneruskan dakwah Islam di Bali. Apalagi, pada saat itu mubaligh yang lama berkiprah di Jembrana itu sedang sakit.

 

Dalam disertasinya yang berjudul, Eksistensi Pondok Pesantren Manba'ul Ulum Loloan Timur di Tengah Masyarakat Multikultural Kabupaten Jembrana Provinsi Bali, Rohil Zilfa menuturkan Perintis Pesantren di Pulau Dewata pertemuan antara kedua murid Kiai Kholil Bangkalan itu.

Untuk sampai ke Jembrana, Ahmad al-Hadi diantar oleh Datuk Hasan, seorang saudagar kaya raya yang masih bertalian keluarga dengan TGH Muhammad. 

Setelah pertemuan itu, Ahmad al-Hadi bersama dengan Datuk Hasan berpamitan untuk pulang. Datuk Hasan sendiri sangat kagum akan kealiman sosok yang diutus Kiai Kholil tersebut.

Kepada dialah, pedagang Muslim ini mempercayakan pendidikan anak-anaknya. Mereka pun menjadi santri pertama Kiai Ahmad di Bali. TGH Muhammad meninggal dunia. Bersama kaum Muslimin setempat, Datuk Hasan meminta KH Ahmad al-Hadi untuk menggantikan posisi almarhum sebagai pemuka Muslim Jembrana.

Sejak itulah, ia kemudian menetap di Kampung Timur Sungai, wilayah setempat, untuk mengajarkan ilmu agama. Pada mulanya, aktivitas dakwahnya dipusatkan di Masjid Bait al-Qadim.

 

 

Datuk Hasan memandangnya seperti anak sendiri. Segala kebutuhan hidup Kiai Ahmad al-Hadi pun disokong sepenuhnya. Murid Syaikhona Kholil itu sudah menjadi bagian dari penduduk Loloan yang mayoritasnya bersuku Bugis-Melayu.

Ia berperan sebagai ulama muda yang sangat bersemangat dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama. Masyarakat setempat, wabilkhusus para santri, kerap memanggilnya sebagai Ustaz Semarang. 

Setelah setahun bermukim di Kampung Timur Sungai, Kiai Ahmad dapat mendirikan pondok pesantren. Lembaga itu kini telah berkembang menjadi Pondok Pesantren Manba'ul Ulum.

Inilah pesantren tertua se-Pulau Bali. Berdiri sejak 11 Agustus 1930, institusi ini memiliki hubungan erat dengan masyarakat Muslim di Bali, khususnya Loloan Timur dan Kabupaten Jembrana.

Rohil Zilfa menjelaskan, sebelum mendirikan Pesantren Manba'ul 'Ulum, Kiai Ahmad al-Hadi sudah menanamkan sistem pendidikan Islam yang kuat di Loloan Timur. Menurut dia, mubaligh kelahiran Semarang itu awalnya hanya mengajar ilmu agama kepada anak-anak di salah satu rumah Datuk Hasan, tepatnya di sebelah selatan Masjid Baitul Qodim.

 

 

Sistem pendidikan di kawasan Jembrana dan Singaraja saat itu hanya mengandalkan sistem pendidikan tradisional yang berbasis masjid. Seiring berjalannya waktu, Kiai Ahmad memperkenalkan sistem pendidikan pesantren. Para pelajar disediakan tempat untuk bermukim di lingkungan tempatnya belajar. Mereka diajarkan untuk mempratikkan ilmu agama dalam kehidupan sehari-hari.

Pada tahun yang sama, Kiai Ahmad memperkenalkan sistem pendidikan madrasah kepada masyarakat Jembrana. Pada faktanya, fungsi lembaga itu bukan ha nya untuk menyediakan pendidikan agama Islam ke pada masyarakat.

Lebih lanjut, tempat itu pun menjadi basis kaderisasi generasi bangsa yang anti penjajahan. Mereka ditempa untuk melawan kesewenangan pemerintah kolonial Hindia Belanda. 

Karena itu, santri sekaligus menantu Kiai Ahmad, yakni Datuk Haji Imran, berhasil menjadi seorang pejuang yang gigih melawan kolonialisme. Bahkan, di kemudian hari Imran dapat mengikuti jejak mertuanya itu, mendirikan pondok pesantren baru.

 

Nama lembaga ini adalah, Pesantren Riyadlus Shalilhin Melaya. Peran penting yang dimainkan Datuk Haji Imran ada lah sebagai penghubung gerakan perjuangan antara Ba li bagian barat dan Jawa bagian timur. Karena itu, ia pun menjadi salah satu tokoh yang paling dicari oleh ten tara Belanda NICA (Netherlands Civil Adminis tration), pada zaman mempertahankan kemerdekaan RI.

Di luar kesibukannya mengajar, Kiai Ahmad al- Hadi juga produktif menulis. Selama hidupnya, sang alim telah menulis beberapa kitab. Di antaranya adalah, A'mal al-Khairat yang berisi tentang ilmu tajwid, ilmu fikih, doa-doa, serta beberapa amalan.

Ada pula gubahan syair-syairnya yang mengandung hikmah ajaran Islam. Karya sastra itu terhimpun dalam buku Kumpulan Sya'ir: KHR Ahmad al-Hadi bin Dahlan al-Falaki (1895-1976). 

Seperti dilansir laman Nahdlatul Ulama, seorang cucu Kiai Ahmad al-Hadi, Hasbil Ma'ani mengatakan, sebenarnya terdapat beberapa karya lain. Namun, buku-buku yang dimaksud sudah hilang. Menurutnya, kitab yang eksis saat ini merupakan salinan dari ibundanya, Nyai Hj Musyarrofah Ahmad binti KH Ahmad al-Hadi. 

 
Berita Terpopuler