KH Muhammad Yunus Anis Bimbing Keislaman Prajurit (II-Habis)

TNI mengangkat KH Muhammad Yunus Anis selaku Kepala Pusat Rohani.

Antara
Ilustrasi prajurit TNI
Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Saat menjadi kapusroh TNI-AD, KH Muhammad Yunus telah berusia 51 tahun. Dia menjadi akrab dengan sebutan imam tentara, sebuah sapaan lazim bagi tokoh-tokoh yang memimpin Pusroh militer.

Baca Juga

Dalam menjalankan tugasnya, dia selalu memberikan bimbingan mental keislaman dan kebangsaan kepada seluruh prajurit. Tujuannya menumbuhkan kecintaan terhadap Tanah Air yang tidak melupakan nilai-nilai ajaran Islam.

Ulama ini dekat sekali dengan kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) saat itu, Jenderal Abdul Haris Nasution. Keduanya memiliki kesamaan pandangan dalam banyak soal, meskipun ada pula sedikit perbedaan di sana-sini.

Namanya semakin bersinar di lingkungan organisasi. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Yogyakarta, KH Muhammad Yunus terpilih sebagai ketua PP Muhammadiyah periode 1959-1962.

Dalam muktamar itu pula, dia mengemukakan gagasan tentang Kepribadian Muhammadiyah. Perumusannya kemudian digarap melalui sebuah tim ahli yang dipimpin KH Faqih Usman.

Barulah pada muktamar berikutnya, gagasan tersebut tampil lebih sistematis. Momentumnya juga bertepatan dengan setengah abad berdirinya Muhammadiyah.

Sejak pemberlakuan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, Presiden Sukarno cenderung otoriter dalam mengendalikan kekuasaan. Kehidupan demokrasi seakanakan kehabisan oksigen. Sementara itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan dukungan dari luar negeri, utamanya Republik Rakyat Cina (RRC), kian mesra dengan Putra Sang Fajar.

(Baca Juga: KH Muhammad Yunus Anis Bimbing Keislaman Prajurit)

 

 

Menjadi Anggota DPR

Memasuki dasawarsa 1960-an, awan gelap semakin menyelimuti Indonesia. Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dibubarkan secara paksa oleh Presiden Sukarno pada 13 September 1960. Praktis, sejak saat itu, tidak ada lagi wadah aspirasi politik mayoritas umat Islam. DPR pun telah dikuasai kepentingan rezim.

Bahkan, pada 1963 MPR-S menetapkan Sukarno sebagai presiden seumur hidup. Suatu keputusan yang jelas-jelas bertentangan dengan semangat demokrasi yang sehat. Dengan tangan besi pula, Sang Proklamator itu memaksakan seluruh elemen bangsa agar bersedia menerima konsepsi nasionalisme agama komunisme (Nasakom).

Suara-suara yang menentangnya ditekan habis-habisan, bahkan tidak sedikit yang mendekam di penjara sebagai tahanan politik. Di tengah situasi demikian, KH Muhammad Yunus mendapatkan dorongan dari tokoh-tokoh yang dekat dengan Sukarno. Rezim politik saat itu ingin agar sang kiai menjadi anggota DPR-Gotong Royong (GR) yang komposisinya disusun sendiri oleh Sukarno bukan melalui pemilihan umum yang demokratis.

Maka dari itu, banyak kritik dialamatkan kepadanya karena menerima tawaran ini. Umat tentunya masih mengingat jelas tangan besi Sukarno yang membubarkan Masyumi. Bagaimanapun, KH Muhammad Yunus secara terbuka menegaskan bahwa tindakannya itu semata-mata demi kepentingan jangka panjang, yakni mengemban aspirasi umat Islam.

 

Dia menilai, jangan sampai suara-suara kaum Muslimin pupus sama sekali, walaupun parlemen Indonesia saat itu sedang dihegemoni penguasa yang lalim. Demikianlah, rezim Presiden Sukarno akhirnya jatuh di tengah jalan karena tidak kuat menghadapi tekanan ekonomi, sosial, dan politik sekaligus.

Peristiwa G-30-S menjadi pemicu telak runtuhnya kewibawaan Orde Lama di hadapan rakyat. Banyak yang menilai, Bung Karno saat itu terlalu dekat dengan komunisme, suatu ideologi yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila. 

(Baca Juga: KH Muhammad Yunus Anis Bimbing Keislaman Prajurit)

 
Berita Terpopuler