KH Zainuddin MZ, Kisah Sang Dai Sejuta Umat (I)

Media massa mendaulatnya sebagai Dai Sejuta Umat.

tangkapan layar youtube
KH Zainuddin MZ
Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, KH Zainuddin Hamidy Turmudzi atau kita akrab mengenalnya dengan nama KH Zainuddin MZ bukanlah mubaligh biasa. Perjalanan hidupnya sebagai dai dimulai dari usia dini.

Baca Juga

Seperti dipaparkan dalam buku Dakwah & Politik 'Dai Berjuta Umat' (1997, editor Idris Thaha), Zainuddin berasal dari keluarga Betawi asli. Orang tuanya adalah Turmudzi dan Zainabun. Pasangan ini menikah dan dua tahun kemudian di karuniai anak tunggal, laki-laki, yang diberi nama Zainuddin pada 2 Maret 1952. Keluarga ini terbilang sederhana.

Rumahnya terletak di suatu kawasan pinggiran kota yakni Gang Cemara, Kramat Pela, Kebayoran Baru, Jakarta Se latan (Jaksel). Turmudzi bekerja sebagai pegawai biasa di Perusahaan Listrik Negara (PLN). Di samping itu, pria Betawi ini juga menyambi berdagang sayur-mayur. Istrinya mengurus rumah tangga.

Sayangnya, Turmudzi wafat ketika anak semata wayangnya itu masih berusia dua tahun. Sebagai yatim, Udin-- nama kecil Zainuddin—diasuh kakek dan neneknya. Ibunya menikah lagi dengan seorang laki-laki yang terbilang sebaya ketika putranya itu berusia 17 tahun. Dari pernikahan ini, Zainabun memperoleh tiga anak laki-laki, yaitu Munazar, Ismunandar, dan Syahbuddin.

 

 

Namun, perempuan ini lantas ditinggal wafat suaminya. Dalam rentang waktu yang lama, Zainabun sempat menyandang status janda, tetapi kemudian menikah lagi dengan seorang karyawan Peruri. Pernikahan yang ketiga ini terjadi ketika Zainuddin telah beranjak dewasa.

Dengan latar keluarga yang memiliki keterbatasan ekonomi, Udin tumbuh menjadi pribadi yang tangguh. Sering kali dia membantu ibunya berjualan kecil-kecilan. Pendidikan dasarnya diperoleh di SD Kramat Pela.

Sebagai murid, Udin termasuk cemerlang. Hal itu dibuktikan antara lain dengan akselerasi yang disarankan gurunya. Jadilah dirinya lompat satu tingkat, yakni dari seharusnya naik ke kelas tiga menjadi kelas lima. 

Pada 1964, Udin lulus SD. Cita-citanya tinggi, seperti umumnya anak-anak Jakarta, ingin menjadi pilot atau dokter. Namun, kakeknya tidak melihat pendidikan formal penting untuk masa depan.

"Lihat encing (paman) lu yang lulus SMA. Ijazahnya kagak laku. Gua kapok masukin anak ke SMP atau SMA,"katanya. Mendengar itu, Udin hanya bisa diam.

 

 

Ternyata, kakeknya lebih menginginkan anak ini menimba ilmu-ilmu agama. Karena itu, cucunya itu di masukkan ke Madrasah Ibtidaiyah Manarul Islam. Karena ditempatkan di kelas lima, Udin merasa ini sebuah kemunduran.

Selain itu, dia juga kaget dengan sistem yang ada. Sebab, belum pernah sebelumnya dia mempelajari buku-buku berbahasa Arab. Di sekolah ini, materi pengajaran agama mencakup 70 persen dari total kurikulum.

Apa daya, Udin tidak begitu unggul di sini. Namun, guru-gurunya tetap bersimpati kepadanya. Atas saran mereka pula, dia secara diam-diam mengikuti tes masuk Madrasah Tsanawiyah (MTs) Darul Ma'arif.

Lembaga yang berlokasi di Cipete, Jaksel, itu didirikan tokoh kenamaan Nahdlatul Ulama (NU) KH Idham Chalid. Di antara teman-teman setingkatnya adalah Tutty Alawiyah dan Suryani Taher—kelak keduanya juga aktif di dunia dakwah. Udin akhirnya lolos ujian tersebut.

Di asrama Darul Ma'arif, dia mulai serius mempelajari kitab-kitab klasik serta mengaji Alquran dan sunah. Udin terlibat aktif dalam setiap diskusi pelajaran.

Teman-temannya juga kian bertambah dari hari ke hari. Malahan, anak ini terkenal sebagai tukang dongeng muda karena kegemarannya menceritakan bacaan-bacaan sastra. Sejak SD, Udin memang sudah melahap banyak buku sastra, semisal novel-novel karya Buya Hamka, Marah Rusli, dongeng 1001 malam khas khazanah Arab klasik, dan cerita silat Kho Ping Hoo.

 

Saat berusia remaja, Zainuddin meneruskan sekolah di Madrasah Aliyah pada lembaga yang sama, Darul Ma'arif. Sewaktu duduk di kelas dua, bertemulah dia untuk pertama kali dengan pe rempuan yang kelak menjadi istrinya, Siti Khalilah.

Muda-mudi ini ternyata saling suka. Keduanya kerap berpapasan saat aktif di organisasi Ikatan Pelajar Tsanawiyah-Aliyah. Khalilah sempat pindah se kolah ke MA Negeri Mampang Prapatan, tetapi Zainuddin selalu menyempatkan diri bertemu atau sekadar bertegur sapa.

Akhirnya, pemuda ini memberanikan diri melamar sang pujaan hati. Ibu dan neneknya merestui. Ayahanda Khalilah, Ayub, perlahan-lahan juga menerima pinangannya. Pada 4 Februari 1972, Zainuddin dan Siti Khalilah menikah dengan resepsi sederhana menggunakan adat Betawi.

Saat itu, sang mempelai pria sedang menempuh studi di Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah.

Hingga 1980, pasangan ini dikaruniai tiga orang putra. Mereka adalah Fikri Haykal, Muhammad Luthfi, dan Muhammad Fahmi. Atas kehendak Allah SWT, anak bungsu itu berpulang saat masih berusia tiga tahun.

Seiring waktu, Zainuddin dan istri diberikan momongan lagi, yakni Ahmad Syauqi dan Muhammad Zaki.

Perjalanan Zainuddin menimba ilmu di pendidikan tinggi tidak begitu mudah. Lagi pula, sejak sebelum menikah, dia agak terpaksa memasuki jurusan terse but. Ketika menjelang lulus Aliyah, cita-citanya adalah menjadi mahasiswa Universitas al-Azhar (Mesir).

Keinginan itu terhalang kendala biaya yang terbilang cukup tinggi. Kuliahnya di IAIN ini pun kandas di tengah jalan. Padahal, Zainuddin sedang pada tahap menulis skripsi. 

Bersambung..

 

 
Berita Terpopuler