Sosok: Abdul Abdul Karim Oei (Habis)

Nama Haji Abdul Karim menjadi figur penting dalam dakwah Islam di Indonesia.

REPUBLIKA
Jamaah memasuki area Masjid Lautze 2 menjelang pelaksanaan ibadah shalat Jumat di Jl Tamblong, Bandung, Jumat (16/10). Setelah Pembatasan Sosial Berskala Besar pertama di Kota Bandung dibuka kembali masjid ini kembali melayani shalat Jumat dengan menerapkan protokol kesehatan.Selain ibadah rutin, masjid ini memberikan bimbingan rutin kepada mualaf yang kebanyakan berasal dari etnis tionghoa.
Rep: Hazanul Riqza Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID,  Pada masa revolusi, Belanda tidak terus-menerus memborbardir Indonesia dengan peluru. Ada kalanya Negeri Tanah Rendah bersedia berunding dengan Pemerintah RI. Pada masa gencatan senjata itu, daerah-daerah mengalami dinamika. Sebab, sekelompok tokoh Belanda ingin Indonesia menjadi negara federal, bukan negara kesatuan.

Baca Juga

Di Bengkulu, upaya Belanda tak surut pula. Sebagai tokoh setempat, Abdul Karim Oei Tjeng Hien selalu berjuang pantang menyerah. Pada masa tenang ini, dia keluar dari tempat persembunyiansebelumnya, Oei diburu pasukan Belanda dalam agresi militer di Bengkulu.

Suatu hari, ia didatangi seorang anggota Partai Masyumi yang memintanya untuk hadir segera ke ruang rapat di pusat Kota Bengkulu. Karena minimnya sarana komunikasi, Oei sebelumnya tidak mengetahui ada rapat yang diinisiasi kalangan Belanda pro republik federal di kota tersebut meskipun dirinya adalah ketua Partai Masyumi cabang Bengkulu.

Di ruang rapat, Muslim berdarah Tionghoa ini dengan tegas menolak pembentukan Negara Federal Bengkulu. Ia menyerukan hadirin untuk selalu mematuhi instruksi pemerintah pusat, yakni Dwi Tunggal Sukarno-Hatta. Jangan mau diperdaya Belanda. Sikapnya lantas diikuti seluruh anggota maupun pimpinan Masyumi setempat.

 

 

Utusan Belanda di pertemuan itu tampak berang, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa. Seusai rapat, petugas Belanda berdiri di muka pintu, hendak membagi-bagikan amplop berisi uang.

"Apa ini?"tanya Oei keras.

Ini uang sidang, 25 gulden!jawab si petugas. Amplop itu segera dicampakkan Oei. Baginya, haram makan uang dari penjajah negerinya. Sebelum pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada 1949, aktivis Muhammadiyah ini sempat dipenjara Belanda.

Meskipun diiming-imingi jabatan di perusahaan-perusahaan Belanda dengan syarat mau bekerja sama menentang Indonesia, dirinya tetap setia pada perjuangan. Pendirian saya tidak bisa dibeli dengan apa pun,katanya. Sejak 1950, RI umumnya dapat lepas dari rongrongan Belanda.

Rakyat dan pemimpin mulai bisa berfokus membangun negeri. Lepas masa revolusi, reputasi Oei kian berkibar sebagai seorang tokoh nasional. Pada 6 Juli 1963, sang pejuang bersama dengan Abdusomad Yap A Siong dan Kho Goan Tjin mendirikan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) di Jakarta. PITI adalah gabungan dari dua organisasi sebelumnya, yaitu Persatuan Islam Tionghoa di Medan dan Persatuan Tionghoa Muslim di Bengkulu.

 

 

Pada 1972, PITI mengubah namanya menjadi Pembina Iman Tauhid Islamtak berubah secara singkatan. Memang, pada masa itu penguasa cenderung mengekang organisasi apa pun yang bersifat etnis tertentu. Bagaimanapun, dakwah terus berjalan.

Pada 16 Oktober 1988, tokoh kelahiran Sumatra Barat ini wafat. Jenazahnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta, berdekatan dengan kuburan istrinya, Maemunah Mukhtar. Sepeninggalannya, namanya terus berkibar. Semangat Haji Abdul Karim Oei telah menginspirasi banyak orang.

Yayasan Haji Karim Oei dibentuk di Jakarta. Salah satu sumbangsih yayasan ini dan atas hibah dari menristek kala itu, Prof BJ Habibie ialah Masjid Lautze di Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Berdiri sejak 1991, masjid ini menjadi salah satu pusat syiar Islam, khususnya di kalangan etnis Tionghoa. Hingga kini, Masjid Lautze sudah memiliki cabang di berbagai daerah, seperti Bandung (Jawa Barat) dan Tangerang Selatan (Banten).

(Habis)

 
Berita Terpopuler