Ketika Anak Idap Long Covid

Anak-anak pengidap long Covid membutuhkan bantuan multidisiplin.

EPA
Pelajar International American School di Barcelona, Spanyol tampak mengenakan masker saat ke sekolah, September 2020. Anak-anak juga dapat mengidap long Covid.
Rep: Zainur Mahsir Ramadhan Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, MASSACHUSETTS — Para dokter anak dan peneliti sangat menunggu hasil penelitian lanjutan mengenai dampak long Covid pada anak. Dengan begitu, dampak dan gejala yang akan diderita ke depannya bisa lebih diantisipasi.

Profesor pediatri dari University of California, Dan Cooper, mengatakan, meski tidak sakit parah akibat Covid-19 layaknya dewasa, anak-anak masih akan mengalami sakit. Bahkan, hal itu bisa berkembang dan bertahan untuk jangka waktu yang lama.

Baca Juga

Cooper menyebut, penelitian long Covid pada anak perlu difokuskan pada beberapa kelompok khusus. Di antaranya adalah anak-anak yang memiliki kasus Covid-19 tanpa gejala atau yang ringan.

Wakil Ketua American Academy of Pediatrics Committee on Infectious Diseases, Sean O'Leary, juga mengungkapkan hal serupa. Menurut dia, long Covid pada anak memang tidak terjadi layaknya pada orang dewasa, namun pengobatannya harus difokuskan agar anak-anak tetap terjaga.

"Salah satu tujuan kami adalah mencoba mencegah anak-anak masuk ke dalam kondisi yang seperti lingkaran setan yang membuat mereka merasa lelah dan tidak ingin melakukan apa pun," kata O'Leary.

Penelitian, menurut O'Leary, harus melihat kesamaan gejala yang dihadapi oleh anak-anak yang mengalami long Covid. Utamanya, yang dapat membantu menyesuaikan perawatan di masa depan.

Cooper mengatakan, penelitian tentang long Covid  pada anak perlu difokuskan pada beberapa kelompok, khususnya anak-anak yang kena Covid-19 tanpa gejala atau ringan, mereka yang dirawat di rumah sakit, dan mereka yang mengalami sindrom inflamasi multisistem, yakni kondisi yang jarang tetapi serius terkait dengan Covid-19 di mana bagian tubuh, seperti otak, jantung, paru-paru atau mata menjadi meradang.

Salah satu anak yang menjadi penyintas Covid-19, Morgan Randall, mengaku tidak demam dan hanya kehilangan indra penciuman dan perasa serta sakit tenggorokan pada Desember 2020. Remaja 15 tahun asal Massachusett itu sembuh setelah menjalani isolasi mandiri selama lima hari.

"Saya benar-benar baik-baik saja. Saya merasa seperti normal," kata Randall, dikutip dari US News, Rabu (14/7).

Meski begitu, Randall mengaku merasa sesak napas dan lunglai saat kembali beraktivitas pada bulan Februari 2021. Otot kakinya yang selama ini terlatih menari intensif menjadi tidak kuat dan napasnya pun pendek.

"Saya jadi bingung karena tubuh saya menjadi terlalu letih untuk beraktivitas," kata Randall.

Sang ibu lantas memeriksakan Randall ke dokter. Putrinya langsung berhenti menari, hobi yang telah dilakoni Randall sejak usia tiga tahun, karena ada kekhawatiran terjadinya pembengkakan jantung sebagai efek dari infeksi SARS-CoV-2.

Apa yang dirasakan Randall menjadi contoh kasus long Covid pada anak di Amerika Serikat dan dunia. Anak lainnya ada yang merasakan kelelahan, malaise, sesak napas, maupun detak jantung cepat yang menetap atau muncul kembali hingga beberapa pekan maupun bulan setelah serangan awal Covid-19.

Menanggapi hal tersebut, National Institutes of Health, meluncurkan inisiatif untuk mempelajari gejala Covid-19 yang bertahan hingga lama. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS juga telah menerbitkan panduan perawatan anak setelah sembuh Covid-19.

Kasus long Covid pada anak memang jumlahnya tak sebanyak dewasa. Namun, pendekatan multidisiplin tetap diperlukan untuk membantu anak dengan long Covid.

Layanan perawatan tersebut hingga kini memang belum banyak ditemui. Salah satu klinik yang menyediakan layanan bagi pasien anak pengidap long Covid berada di Institut Kennedy Krieger di Baltimore, Amerika Serikat.

Klinik ini menjadi percontohan dengan penerapan pendekatan multidisiplin bagi anak pengidap long Covid. Klinik tersebut memiliki tim yang mencakup spesialis dalam terapi fisik hingga kesehatan perilaku.

"Saya pikir satu hal yang kami temukan dari pengalaman kami yang menurut pasien dan keluarga sangat membantu adalah agar benar-benar memiliki tim interdisipliner yang bekerja dengan pasien, semuanya bersama-sama," kata Dr. Laura Malone, ahli saraf dari klinik pediatrik dan juga direktur di klinik tersebut.

 
Berita Terpopuler