Pelapor PBB: Permukiman Ilegal Israel Masuk Kejahatan Perang

Permukiman Israel memenuhi definisi kejahatan perang di bawah Statuta Roma

EPA
Pembangunan permukiman ilegal Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Seorang pakar hak asasi PBB telah menyerukan agar permukiman Israel di wilayah Palestina yang diduduki diklasifikasikan sebagai kejahatan perang. Pelapor khusus PBB tentang situasi hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki, Michael Lynk, mendesak masyarakat internasional untuk menuntut pertanggungjawaban atas praktik yang telah lama dianggap ilegal tersebut.

Baca Juga

Lynk memberikan laporan terbarunya kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa terkait situasi wilayah Palestina yang diduduki. Lynk mengatakan, permukiman Israel tersebut merupakan pelanggaran mutlak terhadap penempatan pemukim.

"Dalam laporan saya, saya menyimpulkan bahwa permukiman Israel merupakan kejahatan perang,” kata Lynk, dilansir Aljazirah, Ahad (11/7).

Lynk mengatakan, permukiman tersebut melanggar larangan mutlak pada kekuatan pendudukan yang mentransfer sebagian penduduk sipilnya ke wilayah pendudukan. Dengan demikian, permukiman itu memenuhi definisi kejahatan perang di bawah Statuta Roma yang mendirikan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).

“Saya menyampaikan kepada Anda bahwa temuan ini memaksa komunitas internasional untuk menjelaskan kepada Israel bahwa pendudukan ilegalnya, dan pelanggarannya terhadap hukum internasional dan opini internasional tidak akan lagi bebas dari hukum,” kata Lynk.

Lynk mengatakan pembongkaran tempat tinggal suku Arab Badui oleh Israel di sebuah desa di Tepi Barat pada Rabu, telah membuat penduduk kekurangan makanan. Hal ini merupakan pelanggaran hukum dan tindakan yang tidak memikirkan kemanusiaan. 

"Perampasan progresif tanah Palestina bersama dengan perlindungan permukiman adalah konsolidasi lebih lanjut dari aneksasi de facto Israel atas Tepi Barat,” kata Lynk.

 

Lynk mengatakan, terdapat hampir 300 pemukiman di Yerusalem Timur dan Tepi Barat, yang ditempati dengan lebih dari 680 ribu pemukim Israel. Menurut Lynk, permukiman telah menjadi mesin pendudukan Israel selama 54 tahun, dan menjadi yang terpanjang di dunia modern. 

"Tindakan internasional, bukan hanya kata-kata, diperlukan tindakan nyata untuk menyelesaikan situasi. Selama komunitas internasional mengkritik Israel tanpa mencari konsekuensi dan pertanggungjawaban, ini adalah pemikiran ajaib untuk percaya bahwa pendudukan 54 tahun akan berakhir dan Palestina akhirnya akan menyadari hak mereka untuk menentukan nasib sendiri," ujar Lynk.

Laporan Lynk, mendapatkan tanggapan dari mantan anggota komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina, Hanan Ashrawi. Dalam cuitannya di Twitter, Ashrawi mendukung laporan yang disampaikan Lynk kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB.

“Pelapor Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk Palestina, Michael Lynk, dengan jelas mencari pertanggungjawaban internasional untuk #IsraeliCrimes,” ujar Ashrawi di Twitter.

Banyak negara menganggap permukiman Israel di wilayah pendudukan sebagai pelanggaran hukum internasional. Namun Israel membantahnya dengan mengutip alkitabiah yang menyebutkan bahwa mereka memiliki ikatan sejarah dengan tanah Palestina. Selain itu, permukiman Israel dibangun atas kebutuhan keamanan.

Misi Israel untuk PBB di Jenewa, dalam sebuah pernyataan kepada kantor berita Reuters, menolak laporan Lynk. Mereka menyebut laporan itu sepihak dan bias.

Misi Israel untuk PBB menuduh Lynk menutup mata terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Otoritas Palestina dan Hamas.

Duta Besar Uni Eropa untuk PBB, Lotte Knudsen, mengatakan, pemukiman Israel di wilayah pendudukan Palestina adalah ilegal menurut hukum internasional. "Tindakan seperti pemindahan paksa, penggusuran, pembongkaran, dan penyitaan rumah hanya akan meningkatkan lingkungan yang sudah tegang," ujarnya. 

Palestina ingin mendirikan negara merdeka di Tepi Barat dan Gaza, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Namun isu permukiman Yahudi di tanah yang direbut Israel dalam perang 1967, telah lama menjadi batu sandungan dalam proses perdamaian. Putaran terakhir pembicaraan damai dilakukan pada 2014 dan gagal mencapai kesepakatan. 

 
Berita Terpopuler