Mimpi Jerman tak Impor Imam dari Luar Negeri

Jerman telah meluncurkan sekolah calon imam.

Anadolu Agency
Umat Muslim di Distrik Reinickendorf, Berlin, Jerman, melaksanakan shalat Jumat di ruang terbuka di jalanan setelah masjid mereka dibakar, Jumat (16/3).
Rep: Umar Mukhtar Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Jerman telah meluncurkan sekolah tinggi Islam pertama sebagai pusat pelatihan bagi para calon imam atau mubaligh untuk membantu mengurangi jumlah imam dari luar negeri. Sekitar 40 calon pemimpin agama menghadiri kelas pertama mereka di German College of Islam di kota barat laut Osnabrück, Senin (14/6) kemarin.

Baca Juga

Program pelatihan imam selama dua tahun akan diajarkan dengan bantuan sekitar 12 ribu buku yang diimpor dari Mesir. Pelatihan ini terbuka untuk pemegang gelar sarjana dalam teologi Islam atau diploma yang setara, dan menawarkan pengajaran praktis dalam pembacaan ayat-ayat Alquran, teknik dakwah, praktik ibadah dan politik.

Pusat pelatihan Islam tersebut sebagian didanai oleh pemerintah federal, serta otoritas lokal di negara bagian Lower Saxony. Kanselir Angela Merkel pertama kali berbicara mendukung pelatihan imam di negaranya pada 2018. Dia juga telah bicara dengan parlemen bahwa keberadaan pusat pelatihan Islam akan membuat Jerman lebih mandiri dan diperlukan untuk masa depan.

Kepala Sekolah Tinggi Islam Jerman, Esnaf Begic, mengatakan, lembaganya memiliki keunikan khususnya pada dua hal. Pertama, semua pelajaran dalam bahasa Jerman, dan kedua, bertujuan untuk mencerminkan realitas kehidupan Muslim di Jerman.

 

Salah seorang mahasiswa Islam, Ender Cetin merasa senang dengan berdirinya sekolah tinggi Islam Jerman pertama itu. "Kami adalah Muslim Jerman, kami adalah bagian integral dari masyarakat dan kami sekarang memiliki kesempatan untuk menjadi imam 'buatan Jerman'", kata pria yang sudah bekerja sebagai imam sukarelawan di pusat penahanan pemuda di Berlin itu, seperti dikutip dari laman The Local, Rabu (16/6).

 Selama ini sebagian besar imam di Jerman telah dilatih di luar negeri, terutama di Turki dan mereka juga dibayar oleh negara asal mereka. Sekitar setengah dari 2.000 hingga 2.500 imam di Jerman disediakan oleh kelompok payung Islam-Turki DITIB, cabang Kepresidenan Urusan Agama di Ankara yang mengelola 986 komunitas masjid di Jerman. Sisanya datang terutama dari Afrika Utara, Albania dan bekas Yugoslavia.

Para pemimpin agama ini cenderung datang ke Jerman selama empat atau lima tahun. Beberapa datang dengan visa turis, dan hanya tahu sedikit tentang budaya dan adat setempat. "Imam-imam ini tidak berbicara bahasa anak muda, yang seringkali bahkan tidak mengerti bahasa Turki dengan baik," kata Cetin, yang lahir di Berlin dari imigran Turki. 

Menurut Cetin, penting bagi para imam untuk berhubungan dengan realitas masyarakat multikultural di mana orang Kristen, Yahudi, ateis, dan Muslim hidup berdampingan. "Apalagi banyak dari para pemimpin juga pejabat negara Turki yang mengejar agenda politik di Jerman," katanya.

 

 

Pengaruh Ankara telah lama menjadi pertanyaan pelik di komunitas Muslim Jerman, terutama sejak kudeta yang gagal terhadap Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada 2016. Pada 2017, polisi Jerman menggerebek rumah empat imam anggota DITIB yang dicurigai memata-matai pihak oposisi atau kritikus pemerintah Turki.

Namun pelatihan imam dengan dukungan dari negara Jerman juga terbilang kontroversial karena ada anggapan bahwa masyarakat berhak melatih para imam mereka. Untuk alasan ini, DITIB dan Milli Gorus, organisasi Islam terbesar kedua di Jerman, memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pendirian Sekolah Tinggi Islam Jerman, sehingga DITIB meluncurkan program pelatihannya sendiri di Jerman tahun lalu.

Sekretaris Jenderal Milli Gorus, Bekir Altas, pelatihan bagi para imam harus bebas dari pengaruh eksternal, terutama pengaruh politik. Di sisi lain, kepala Sekolah Tinggi Islam Jerman, Begic, menekankan, lembaganya berdiri tanpa ada pengaruh dari negara dan negara juga tidak ikut campur dalam pengembangan program.

 

 

 

 
Berita Terpopuler