Populasi Muslim di Jepang Naik Dua Kali Lipat

Dalam dua dekade terakhir populasi Muslim Jepang naik dua kali lipat.

(AP Photo/Eugene Hoshiko)
Muslim Jepang
Rep: Rossi Handayani Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID,  TOKYO -- Menurut seorang ahli Islam Jepang, Profesor Emeritus Hirofumi Tanada, ada sekitar 110 ribu hingga 120 ribu Muslim di Jepang pada 2010. Akan tetapi dalam satu dekade jumlah itu bertambah kira-kira dua kali lipat menjadi sekitar 230 ribu.

Baca Juga

Dilansir dari laman Middle East Eye pada Selasa (15/6), Sekitar 183 ribu di antaranya adalah Muslim non-Jepang, terutama dari Indonesia, Pakistan dan Bangladesh. Muslim dari Timur Tengah berjumlah sekitar 6.000. Sisanya, sekitar 46 ribu, merupakan Muslim Jepang.

Bahkan dengan peningkatan dramatis dalam jumlah Muslim, mereka masih merupakan bagian kecil dari total populasi Jepang lebih dari 126 juta orang yang sebagian besar menganut kepercayaan Shinto atau Buddha. Namun demikian, Tanada mengatakan, negaranya perlu beradaptasi dengan perubahan demografi.

Dengan tingkat kelahiran yang menurun, populasi Jepang yang menua, dan angkatan kerja migran yang terus bertambah, pertumbuhan Muslim yang lambat namun stabil di negara itu dapat membantu mengatasi beberapa masalah yang terkait dengan tren tersebut.

 

 

Sebagian besar tenaga kerja migran Jepang berasal dari negara tetangga, seperti Cina, Vietnam, Kamboja. Namun kehadiran mereka tidak membantu menghentikan dampak populasi yang menua.

Seorang pendatang, Mohamed Shokeir menceritakan pengalamannya tentang pertama kali dia pergi ke Jepang pada 1981 untuk mengunjungi saudara perempuannya.

"Hampir tidak ada orang Arab di negara ini," kata  dia.

Saudarinya telah menikah dan pindah ke Tokyo, Jepang. Kunjungan Shokeir untuk menemuinya merupakan perjalanan yang akhirnya menentukan hidupnya.

"Itu menarik, saya jatuh cinta. Orang-orangnya, sikap mereka, perilaku mereka, seberapa efisien semuanya," kata Shokeir.

"Dan ada juga misteri tentang itu semua karena saya tidak mengerti bahasanya," lanjut dia.

 

 

Pada kunjungan ketiganya ke negara itu pada 1983, ia memutuskan untuk tinggal dan menemukan tempat yang dekat dengan saudara perempuannya di Fujimidai, di timur laut Tokyo.

Dia mendaftar di kursus bahasa Jepang di siang hari, dan bekerja untuk perusahaan penerjemahan yang menghasilkan instruksi manual untuk peralatan listrik Jepang di sore hari.

Pada tahun yang sama, ia bertemu calon istrinya Yoko di kereta Tokyo pada jam sibuk malam hari.

"Saya telah naik kereta ke arah yang salah, saya baru beberapa bulan di negara ini dan bahasa Jepang saya tidak begitu bagus. Saya bertanya kepada gadis bagaimana untuk sampai ke pemberhentian saya. Dia memberi tahu saya dalam bahasa Inggris yang baik bagaimana mencapai tempat yang saya inginkan," kenangnya. 

Shokeir meminta nomor Yoko karena dia terkesan dengan kemampuan bahasanya, dan ingin mendapatkan lebih banyak teman orang Jepang. "Dia tidak memiliki pena, dan saya juga tidak, tetapi seorang penumpang mendengar dan menawarkan penanya, jadi saya mendapatkan nomornya," ucapnya.

 

 

Lima tahun kemudian dia menjadi istrinya. Yoko mengatakan, meskipun keluarga dekatnya tidak keberatan dengan hubungannya, beberapa kerabat jauhnya menolak untuk menerimanya.

"Suami saya dan saya telah menjalin hubungan selama beberapa tahun sebelum kami menikah, jadi ibu saya, yang membesarkan saya sendiri setelah ayah saya meninggal dalam kecelakaan ketika saya masih muda, dan adik perempuan saya tidak keberatan," kata dia.

"Mereka menghormati keyakinan saya. Tetapi dua bibi saya menentang pernikahan itu, dan saya tidak berhubungan lagi dengan mereka sejak itu," ucap Yoko.

Yoko belajar bahasa Arab dan Islam sebelum masuk Islam menjelang pernikahannya pada 1988. Yoko juga mengubah gaya hidupnya, seperti mengganti daging babi dengan ayam dalam gyozas kukus segar yang akan ia buat.

Dalam mengatur hidupnya di Jepang, Shokeir, yang kini berusia 63 tahun, menjadi bagian dari salah satu populasi Muslim terkecil di dunia dibandingkan dengan populasi umum.

 

 

Di samping itu, Profesor Tanada mengatakan, sementara jumlah Muslim meningkat, tidak ada penjelasan tunggal untuk kenaikan tersebut.

"Ada peningkatan migrasi. Migran Muslim dari negara-negara ini datang ke Jepang untuk bekerja, belajar dan tinggal. Jumlah mualaf meningkat karena banyak Muslim menikah dengan orang Jepang, kemudian orang Jepang pindah agama pada saat menikah," kata dia.

Ada juga contoh sebaliknya, dengan orang Jepang membawa pasangan Muslim mereka kembali untuk menetap di negara itu. Omneya Al Adeeli (27) adalah salah satu pendatang baru tersebut. Dia pindah ke Jepang tepat sebelum dimulainya pandemi corona pada November 2019, setelah menikah dengan suaminya yang orang Jepang, Shotaro Ono, yang pindah agama pada saat menikah. 

 

Mereka bertemu saat dia mengunjungi Nablus di Tepi Barat yang diduduki, tempat Al Adeeli memiliki dan mengelola restoran kecil Korea dan Jepang bernama KimPal.

 
Berita Terpopuler