Bagaimana Penyelesaian Utang Istri yang Sudah Meninggal?

Rasulullah tidak berkenan mensholati jenazah yang masih punya utang.

Republika/Musiron
Bagaimana Penyelesaian Utang Istri yang Sudah Meninggal?
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amat penting diperhatikan oleh semua umat Islam bahwa utang itu wajib dikembalikan. Jangan ada yang merasa nyaman dengan mengabaikan utang, karena kalaupun di dunia "aman", tapi di akhirat teramat berat risikonya.

Baca Juga

Rasulullah SAW memperingatkan betapa beratnya risiko orang yang meninggal dunia dengan meninggalkan utang: "Demi Dzat yang menggenggam jiwaku (Allah SWT), seandainya seseorang terbunuh dalam perang di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, lalu dia terbunuh lagi untuk yang ke dua kalinya, sedang dia masih punya utang, maka dia tidak akan masuk surga sampai utangnya dilunasi" (HR Ahmad, an-Nasa'i dan at-Thabrani).

Padahal, orang yang mati syahid itu mestinya langsung masuk surga, apalagi dua kali syahid, tetapi karena masih punya utang maka belum akan masuk surga sebelum utangnya dilunasi. Beliau juga tidak berkenan mensholati jenazah yang masih punya utang: "Ketika didatangkan kepada beliau SAW jenazah untuk disholatkan, maka beliau bertanya: ... Apakah dia mempunyai utang? Mereka menjawab: Ada, tiga dinar. Beliau bersabda: Sholatkanlah sahabat kalian ini. Maka Abu Qatadah berkata: Ya Rasulallah, sholatkanlah dia, biar saya yang menanggung utangnya. Maka beliau pun mensholatkannya" (HR al-Bukhari dari Salamah bin al-Akwa' r.a.).

Nah, bagaimana kalau ada seorang istri yang meninggal dunia sedang dia masih mempunyai utang, apakah suaminya berkewajiban mengembalikan tanggungan utang istrinya tersebut? Pembahasan mengenai hal ini sebenarnya terlebih dahulu harus dipertimbangkan harta asal (bawaan) masing-masing suami-istri, dan kesepakatan kebiasaan pemakaian harta dalam rumah tangga.

Tapi mengingat tidak mungkinnya dilakukan wawancara dengan penanya, maka pembahasan ini dimulai dari keumuman penggunaan harta suami-istri di Indonesia. Umumnya sesudah menikah, harta suami-istri tidak jelas batasnya dan menjadi milik bersama, kemudian nafkah keluarga menjadi tanggung jawab suami, dan apa pun yang dilakukan istri terkait belanja rumah tangga juga menjadi beban suami.

 

Karena itulah tampuk kepemimpinan rumah tangga berada di tangan suami, sebagaimana firman Allah SWT (yang maknanya): Kaum laki-laki (para suami) adalah pemimpin bagi kaum wanita (para istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (para suami) telah menafkahkan sebagian harta mereka... (an-Nisa': 34).

KH Ahmad Zahro dalam Fiqih Kontemporer Buku 3 mengatakan, oleh karena itu, apabila istri mempunyai utang kemudian meninggal dunia, maka utang tersebut menjadi tanggung jawab suami karena umumnya apa pun yang dilakukan istri terkait belanja rumah tangga benar-benar untuk keperluan dan kebutuhan seluruh anggota keluarga. Berarti sebenarnya utang tersebut adalah tanggungan suami karena kebutuhan seluruh anggota keluarga menjadi tanggung jawab suami.

Oleh karena itu pula, jika istri meninggal dan meninggalkan utang sebagaimana tersebut di atas, maka sepenuhnya menjadi tanggungan dan tanggung jawab suami Akan lain halnya jika utang tersebut untuk keperluan di luar urusan rumah tangga, apalagi jika tanpa sepengetahuan suami, maka utang tersebut menjadi tanggungan istri secara pribadi.

Walaupun demikian, istri yang wafat tentu mempunyai harta peninggalan, setidaknya separuh harta yang ada (harta gono-gini, separuh dari harta bersama sesuai UU nomor 1/1974 tentang Perkawinan, pasal 35) yang menjadi harta warisan bagi ahli waris. Tetapi, sesuai ketentuan mawaris (tentang kewarisan), maka harta peninggalan belum boleh dibagi sebelum semua utang almarhumah terlunasi.

Bahkan jika harta peninggalan tersebut habis sedang utang almarhumah belum terlunasi, maka walaupun secara fiqih formal (hukum) semua ahli waris tidak berkewajiban melunasi utang tersebut, tetapi secara moral sebaiknya mereka melunasi utang itu secara patungan berimbang (sesuai perkiraan bagian masing-masing) agar almarhumah tidak merasakan beratnya risiko utang di alam kubur. Wallahu a'lam.

 
Berita Terpopuler