Perbedaan AS dan Prancis Dalam Memperlakukan Muslim

Representasi Islam dan Muslim di Barat dinilai masih buruk.

Bosh Fawstin
Perbedaan AS dan Prancis Dalam Memperlakukan Muslim. Foto: Islamofobia (ilustrasi)
Rep: Dea Alvi Soraya Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK—Abdennour Toumi, Pakar Afrika Utara di Pusat Studi Strategis Timur Tengah (ORSAM) menyoroti alasan buruknya representasi Islam dan Muslim di dunia Barat. Bagitu juga dengan masih tingginya komunitas Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA) untuk tinggal di Amerika Serikat, meski kebijakan AS yang tidak kohoren dan prilaku ‘keras’ terharap para migran, khususnya Muslim.

Baca Juga

Sejak serangan 9/11 yang fenomenal, Muslim di AS mendapat strigmatisasi dan menjadi sasaran rasis baik verbal maupun fisik. Perlakuan yang berlandaskan kebencian dan balas dendam dari kelompok pembenci Islam maupun sayap kanan telah mendorong komunitas Muslim di AS hidup dalam tekanan dan rasa bersalah atas tindakan yang tidak mereka lakukan.

‘Pelabelan’ Islam juga semakin buruk di Prancis. Merujuk pada proyek kompleks mega Islam di Strasbourg, Prancis, disebut akan menjadi masjid terbesar di Eropa, yang menuai kritik dan protes dari politisi sayap kanan Prancis. Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin bahkan menuduh dewan kota dan walikotanya menghabiskan uang rakyat untuk mendanai proyek itu. Pihak oposisi menuduh pejabat kota di Strasbourg, yang dijalankan oleh walikota Partai Hijau, menyetujui hibah sebesar $3,05 juta (Rp. 49.8 miliar) kepada Konfederasi Islam Milli Görüş (CMIG), sebuah kelompok yang mewakili diaspora Turki di Eropa.

Padahal, Walikota Strasbourg Jeanne Barseghian mengatakan proyek dimulai pada 2017, dan dia baru mulai menjabat pada Mei 2020 dan dana yang diberikan kepada CMIG adalah rencana pembiayaan yang solid dan konfirmasi nilai-nilai Republik. Meskipun demikian, Darmanin tidak terlalu senang dengan fakta bahwa CMIG adalah salah satu dari tiga konfederasi Muslim di Prancis yang menolak menandatangani piagam anti-ekstremisme baru yang dipromosikan oleh Macron.

Sebelumnya, kelompok empat, terdiri dari Presiden Prancis Emmanuel Macron, Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin, Menteri Kewarganegaraan Marlene Schiappa dan Menteri Pendidikan Jean-Michel Blanquer, dengan tegas menentang apa yang mereka sebut sebagai ‘radikalisme Islam’, mengatakan bahwa mereka akan berjuang melawannya di setiap kesempatan.

“Sejak serangan pada Januari 2015 yang terjadi di Prancis, diklaim didalangi oleh kelompok radikalis Muslim, politisi sayap kanan telah mengubah kebijakan publik dari masalah keamanan domestik menjadi masalah sosial imigrasi dan identitas nasional setelah serangan,”  tulis Abdennour Toumi, yang dikutip di Daily Sabah, Kamis (10/6).

Salah satu contoh adalah RUU "anti-separatisme" telah disetujui dua bulan lalu di Senat, yang melarang pemakaian cadar. Parlemen Prancis juga telah mengesahkan undang-undang yang akan mewajibkan kelompok-kelompok Muslim untuk memotong pendanaan asing yang besar karena pidato keagamaan dianggap oleh undang-undang baru sebagai ujaran kebencian.

"Kami yakin asosiasi ini tidak bisa lagi berada di antara wakil-wakil Islam di Prancis," kata Darmanin tentang CMIG di televisi BFM.

Adapun alasan masih tingginya keinginan komunitas MENA untuk tinggal di AS, dapat ditinjau dari bagaimana otoritas federal bertindak, seperti yang dilakukan Michael Bloomberg, Walikota New York saat itu, yang mendukung pembangunan Masjid Cordoba House di New York, menyebutnya sebagai simbol toleransi beragama di Amerika.

“Bloomberg menempatkan nilai-nilai Amerika di atas ideologi dan politik, tidak seperti di Prancis di mana politisi dan pemimpin nasional menggunakan ideologi dan politik di atas makna sebenarnya dari nilai-nilai sekularisme Prancis,” ujar Toumi.

Meski saat itu ingatan kengerian serangan 9/11 masih amat kental, namun Bloomberg menampik kecurigaan dan terus membela proyek itu dengan mengatakan, "Kami akan mengkhianati nilai-nilai kami jika kami memperlakukan Muslim secara berbeda dari orang lain."

“Deklarasinya, yang memberikan kebijaksanaan, bertentangan dengan Macron dan kelompoknya yang berkhotbah untuk menjinakkan Muslim yang setia di Prancis,” sambung Toumi.

New York City (NYC), kata Toumi, telah membuka babak baru untuk pemulihan hubungan antara Islam dan Barat, dengan mengakhiri skenario apokaliptik bahwa Islam berbenturan dengan Barat. Sementara itu politisi Prancis sibuk menghubungkan stigma terorisme dengan imigrasi, memperkuat kecurigaan khalayak luas pada para migran khususnya Muslim setelah serangan 9/11.

“Tampaknya, memberikan kebebasan beragama dan berekspresi adalah cara yang lebih baik untuk melawan ideologi kebencian daripada memaksa orang untuk asimilasi dan penegasan budaya. Paradigma semacam ini akan menginspirasi jutaan Muslim di seluruh dunia untuk merangkul dan mempraktikkan toleransi dan mengarah pada pemahaman lebih lanjut,” ujarnya.

Berbeda dengan NYC yang mengizinkan pembangunan Masjid Cordoba House sebagai pusat Islam yang kini menjadi cahaya yang menerangi jiwa-jiwa yang binasa pada tragedi 9/11 dan menjadi jembatan baru bagi Islam dan Barat, Prancis justru membuat semua orang melarang pembangunan masjid dan menjadikan tragedi 9/11 sebagai alasan untuk membenci Islam.

“Proyek kompleks Islam senilai $42 juta di Strasbourg harus dianggap sebagai Masjid “Kerukunan,” mirip dengan Cordoba House di NYC, bukan justru Masjid ‘Perselisihan’,” ujarnya.

“Sebagian besar Muslim di Prancis dan di seluruh Barat telah menjelaskan dengan keras kepada para pemimpin seperti Macron bahwa segala bentuk radikalisme harus diperangi melalui saling pengertian, pendidikan, dan inklusi sosial dan politik,” pungkasnya.

 
Berita Terpopuler