Trauma Berat Anak Palestina Penyintas Serangan Israel

Dia berteriak saat seseorang mendekatinya.

Reuters/Mohammed Salem-'
Trauma Berat Anak Palestina Penyintas Serangan Israel. Seorang psikolog bermain dengan gadis Palestina Suzy Eshkuntana. Ia diselamatkan dari reruntuhan rumahnya yang hancur dibom Israel di Gaza, 3 Juni 2021.
Rep: Alkhaledi Kurnialam Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Tiga pekan sejak Suzy Eshkuntana ditarik dari puing-puing rumahnya yang hancur oleh serangan udara Israel, gadis enam tahun itu hampir tidak bisa berbicara. Dia hanya menyebut nama ibu dan empat saudara kandungnya yang terbunuh hari itu.

Baca Juga

Dilansir dari Al Arabiya, Rabu (9/6), Suzy saat ini hanya tinggal bersama ayah dan pamannya. Pamannya, Ramzi mengatakan, Suzy hampir tidak makan, tidak bisa tidur nyenyak, dan tidak bisa ingin bermain.

“Dia banyak bertanya tentang ibunya dan kami mengatakan ibunya ada di surga,” kata Ramzi.

Dia mengatakan sebelumnya Suzy adalah anak yang penuh energi. "Dia tidak bermain, dan dia berteriak ketika seseorang mendekatinya," katanya.

Tercatat setengah dari anak muda di Gaza atau sekitar 500 ribu anak-anak membutuhkan dukungan psikologis setelah 11 hari pertempuran pada Mei lalu. Sedikitnya 66 anak termasuk di antara lebih dari 250 warga Palestina yang tewas akibat serangan udara Israel di Gaza.  Dua anak termasuk di antara 13 orang yang tewas di Israel.

 

 

Rumah Suzy hancur dalam gelombang serangan Israel di Kota Gaza pada 16 Mei yang menurut pejabat kesehatan Gaza  menewaskan 42 orang, termasuk 10 anak-anak. Israel mengatakan serangan itu menargetkan sistem terowongan bawah tanah yang digunakan Hamas untuk mengangkut senjata dan rumah-rumah runtuh akibat runtuhnya jaringan terowongan. Militer Israel mengatakan konsekuensi sipil itu tidak disengaja dan mereka melakukan semua yang bisa dilakukan untuk menghindari kerugian sipil.

Psikolog telah mengunjungi Suzy secara teratur untuk membantunya pulih dari traumanya. Pada sesi terapi seni pada Ahad lalu, dia duduk diam saat anak lain melukis nama mereka di atas kertas. Namun, kemudian Suzy melukis dua hati besar dengan warna merah.

"Dia diambil dari pangkuan keluarganya, dari pangkuan ibunya. Dia selamat dari kematian dengan keajaiban," kata psikolog Samar Awad, yang menangani kasus Suzy.

'Kapan perang berikutnya?'

Sekitar setengah dari dua juta penduduk Gaza berusia di bawah 18 tahun. Banyak yang membawa trauma dari tiga perang sebelumnya dan beberapa konflik kekerasan lainnya yang terjadi antara Israel dan kelompok militan Gaza sejak 2008.

Perwakilan khusus UNICEF di wilayah Palestina Lucia Elmi mengatakan, bahkan sebelum pertempuran Mei, satu dari tiga anak membutuhkan dukungan psiko-sosial. Saat ini jumlahnya bertambah seiring konflik yang baru saja terjadi.

 

“Saat ini penilaian sedang berlangsung dan angka ini bisa mencapai 500 ribu anak, jadi terus bertambah,” katanya.

Seorang psikiater di Gaza, Sami Owaida mengatakan, depresi dan rasa tidak aman adalah masalah psikologi yang paling umum di antara anak-anak Gaza. Kondisi ini harus ditangani demi masa depan mereka.

“Itu berarti kamu tidak memiliki harga diri. Anda (merasa seperti) Anda tidak punya apa-apa. Anda (merasa) tidak berdaya, putus asa, tidak berharga,” katanya.

Owaida mengatakan, akibat trauma banyak anak Gaza mengompol, gagap, mimpi buruk, dan menolak makan. Hal ini merupakan dampak luar biasa kekerasan dan putus asa.

"Pertanyaan banyak anak sekarang, mereka bertanya kapan perang berikutnya. Apa yang akan kita lakukan, ke mana kita akan pergi?"jelasnya. 

Serangan Israel di Gaza menewaskan 254 warga Palestina, termasuk 66 anak-anak. Roket dan tembakan lainnya dari Gaza juga merenggut 12 nyawa di Israel, termasuk satu anak dan seorang remaja Arab-Israel.

 
Berita Terpopuler