Bolehkah Menggugurkan Kandungan Akibat Diperkosa?

Sejumlah ahli fikih membagi pandangannya mengenai menggugurkan kandungan.

Pixabay
Bolehkah Menggugurkan Kandungan Akibat Diperkosa?
Rep: Meiliza Laveda Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menggugurkan kandungan tidak dianjurkan dalam Islam. Namun, bagaimana seseorang yang ingin menggugurkan kandungan akibat pemerkosaan? 

Baca Juga

Permasalahan mengenai masalah keluarga berencana sering dikemukakan oleh ulama fikih. Dalam buku Fiqh Perempuan oleh KH Husein Muhammad, berdasarkan kesepakatan ulama fikih, pengguguran kandungan di atas usia empat bulan atau 120 hari diharamkan. 

Sebab, pada usia tersebut, janin telah menjadi makhluk hidup. Sedangkan, membunuh manusia dalam kondisi apa pun hukumnya haram, meskipun kondisi tersebut membahayakan sang ibu.

Mereka berpijak dalam firman Allah surat al-Isra’ ayat 33:

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ

Wa lā taqtulun-nafsallatī ḥarramallāhu illā bil-ḥaqq. 

“…Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya, kecuali dengan kebenaran (haq)…”

Sementara itu, pengguguran di bawah usia empat bulan menjadi perdebatan para ahli fikih. Al-Ghazali dari mahzab Syafii melarang pengguguran dalam semua tahap pertumbuhan janin. Selain al-Ghazali, ar-Ramli menganggap pengguguran boleh dilakukan dengan tingkatan yang berbeda, tergantung jauh dekatnya usia janin.

Pendapat mahzab lain pun beragam. Mengenai pengguguran yang diakibatkan oleh hamil zina, sejumlah ulama mazhab Syafi'i membolehkan.

 

Namun, terkait kehamilan akibat pemerkosaan, baik secara individual maupun massal, memang luar biasa. Timbul pemikiran baru dari kalangan ahli fikih kontemporer dalam memandang kenyataan tersebut.

Majalah Al-Buhuts al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah (Kajian Fiqh Kontemporer) terbitan Riyadh, Arab Saudi, Nomor XV11 tahun ke V dalam bentuk rubrik Masail fi al-Fikih memberi jalan tengah dalam persoalan ini. “Jika perempuan itu sebelum berakhirnya usia janin 120 hari dapat meyakini kandungannya akibat pemerkosaan (berdasarkan keterangan dokter), pengguguran setelah 120 hari adalah boleh,” tulis dalam majalah itu dalam halaman 204.

Sementara, pada halaman selanjutnya dikatakan, “Apabila dia tidak merasa yakin mengenai keadaannya sesudah terjadinya pemerkosaan itu karena beberapa sebab yang dibenarkan agama (al-a’dzar al-syar’iyyah) dan usia janin sudah melebihi 120 hari, maka kaidah agama memberikan peluang bagi pengguguran tersebut seperti dalam keadaan darurat, tetapi dia harus membayar kafarat (tebusan).”

Menurut majalah itu, perempuan yang diperkosa pada umumnya mengalami penderitaan kejiwaan yang bisa meninggalkan penderitaan fisik dan mental, bahkan dapat menghancurkan hidupnya. Karena itu, pengguguran kandungan dalam hal ini dipandang lebih ringan daripada kematian. 

Namun, di sisi lain, jika perempuan yang diperkosa menerima nasibnya dan hal itu tidak menimbulkan akibat buruk baginya, maka dia wajib tidak melakukan pengguguran. Dia wajib mendidiknya agar menjadi anak yang saleh.

Berdasarkan keterangan tersebut, pengguguran dalam kasus pemerkosaan dibenarkan hanya ketika dalam kondisi dilematis. KH Husein Muhammad menjelaskan dalam bahasa fikih disebut al-akhdz bi akhaff al-dhararayn yang berarti mengambil pilihan buruk daripada yang lebih buruk. Kaidah fikih menyebutkan idza ta’aradha al-mafsadatan ru’iya a’zhamuhuma dhararan atau jika berhadapan dua bahaya (keburukan), maka yang harus dijaga (dilindungi) adalah yang paling buruk. 

 
Berita Terpopuler