China Dilaporkan Paksa Muslim Uighur Lakukan Aborsi

Laporan tersebut berasal dari kesaksian orang-orang iyghur yang diasingkan

ANTARA/M. Irfan Ilmie
Sekelompok perempuan dari etnis minoritas Muslim Uighur di Kota Aksu, Daerah Otonomi Xinjiang, China, memainkan alat musik tradisional, Kamis (22/4/2021), sebagai salah satu kegiatan rutin sore hari. Mereka menari dengan diiringi pemusik dari komunitasnya.
Rep: Kiki Sakinah Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- China dilaporkan telah memaksa perempuan Muslim Uighur untuk melakukan aborsi saat hamil. Laporan tersebut berasal dari kesaksian orang-orang Uighur yang diasingkan, yang terpaksa melarikan diri dari China. Mereka mengungkap soal aksi buldoser rumah dan aborsi paksa setelah 6 bulan kehamilan.

Baca Juga

Sebuah pengadilan di London, Inggris, akan mempertimbangkan apakah tindakan China terhadap Muslim Uighur itu termasuk dalam genosida. Langkah pertimbangan itu dilakukan setelah komunitas internasional mengkritik tindakan yang ada di kamp pendidikan ulang yang didirikan China di Xinjiang.

Sementara, China menyangkal ada pelanggaran hukum hak asasi manusia yang dilakukan. Sebagai bagian dari pengadilan ini, sejumlah Muslim Uighur di pengasingan membahas perlakuan China saat berada di kamp-kamp Xinjiang. Kamp-kamp tersebut menampung sekitar satu juta orang di dalamnya dan mayoritas orang diyakini sebagai Muslim Uighur.

Kesaksian tentang perlakuan pemerintah China kepada Muslim Uighur lantas diungkap oleh mereka yang berada di luar negeri. Salah satunya oleh ibu empat anak, Bumeryem Rozi, yang saat ini tinggal di Turki.

Rozi akan mengungkap perlakukan yang diterimanya di Pengadilan yang dimulai Jumat (4/6). Pengadilan itu tidak mengikat, tetapi diharapkan akan membuka jalan bagi tindakan internasional. Sementara itu, Rozi telah berbicara dengan Associated Press (AP) tentang pengalamannya sebelum kesaksiannya di Pengadilan.

"Saya hamil enam setengah bulan. Polisi datang, satu orang Uighur dan dua orang China. Mereka memasukkan saya dan delapan perempuan hamil lainnya ke dalam mobil dan membawa kami ke rumah sakit."

Mereka pertama memberi saya pil dan mengatakan untuk meminumnya. Jadi saya lakukan. Aku tidak tahu apa itu. Setengah jam kemudian, mereka menusukkan jarum ke perut saya. Dan beberapa saat setelah itu saya kehilangan anak saya," ungkap Rozi, seperti dilansir di laman UNILAD, Jumat (4/6).

Kesaksian yang diungkapkannya bukan tanpa motivasi. Rozi mengatakan dia hanya ingin melihat putra bungsunya lagi yang terakhir dia lihat di sebuah kamp pada 2015 ketika dia berusia 13 tahun.

"Saya ingin anak saya dibebaskan sesegera mungkin, saya ingin melihat dia dibebaskan," ujarnya.

 

Mantan dokter kandungan-ginekologi, Semsinur Gafur, juga akan berbicara tentang kamp di Xinjiang dan telah mengungkap sedikit fakta tentang Muslim Uyghur kepada AP.

"Jika sebuah rumah tangga memiliki kelahiran lebih dari yang diizinkan, mereka akan meruntuhkan rumah tersebut. Mereka akan meratakan rumah, menghancurkannya. Ini adalah hidup saya di sana. Itu sangat menyedihkan. Dan karena saya bekerja di rumah sakit negara, orang-orang tidak mempercayai saya. Orang-orang Uyghur melihat saya sebagai pengkhianat China," kata Gafur.

Warga Uyghur di pengasingan lainnya, Mahmut Tevekkul, mengatakan dia dipenjara dan disiksa pada 2010 oleh otoritas China.

"Mereka menempatkan kami di lantai keramik, membelenggu tangan dan kaki kami dan mengikat kami ke pipa, seperti pipa gas. Ada enam tentara yang menjaga kami. Mereka menginterogasi kami sampai pagi dan kemudian mereka membawa kami ke area penjara dengan keamanan maksimum," ungkap Tevekkul.

Negara-negara seperti Inggris, Belgia, Kanada dan Belanda melabeli situasi di Xinjiang itu sebagai genosida. Namun, China masih menyangkal klaim tersebut.

Seorang juru bicara pemerintah China, Elijan There, mengatakan kepada wartawan bahwa tidak ada yang namanya genosida atau kerja paksa di Xinjiang. Ia menyebut China akan mengambil tindakan balasan jika pengadilan mencerminkan hal buruk pada negara tersebut. 

 
Berita Terpopuler