Kisah Pilu Keluarga Al Hadidi di Gaza

Empat anak al-Hadidi meninggal akibat serangan Israel di Gaza.

EPA/MOHAMMED SABER
Seorang Palestina memeriksa puing-puing rumahnya yang hancur setelah serangan udara Israel, di Kota Gaza, 19 Mei 2021.
Rep: Rossi Handayani Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Di dalam rumah sakit Gaza, seorang ayah, Mohammad al-Hadidi menggendong bayi laki-lakinya bernama Omar. Itu hanya satu-satunya anaknya yang masih hidup, setelah serangan udara Israel menewaskan istri, dan empat putranya lainnya di malam hari.

Baca Juga

"Saya tidak memiliki siapa pun yang tersisa di dunia selain kamu," kata ayah berusia 37 tahun itu, dilansir dari laman Alarabiya pada Kamis (20/5).

Setelah serangan, petugas penyelamat menarik anak berusia lima bulan itu dari pelukan ibunya, yang sudah meninggal pada Sabtu (15/5) pagi. Salah satu kaki bayi mungil itu retak di tiga tempat.

Sementara, semua anaknya yang lain, Suhayb (13) Yahya (11) Abderrahman (8) dan Osama (6) meninggal dalam pemboman itu bersama dengan ibu mereka Maha Abu Hattab (36).

"Mereka telah pergi untuk mencari Tuhan, kami tidak ingin tinggal di sini lebih lama lagi," kata ayah yang berduka itu sambil terisak.

"Kita akan segera bertemu mereka, kamu dan saya. Oh Tuhan, biarlah tidak terlalu lama," lanjutnya.

 

Duduk di tepi ranjang rumah sakit, Hadidi dengan hati-hati mencium pipi anaknya. Dalam pelukannya, Omar beristirahat dengan tenang. Kaki kanannya dilengkapi dengan gips, kelopak matanya memar gelap dan bengkak, serta wajahnya dipenuhi goresan.

Penyerangan pada Sabtu terjadi pada akhir Idul Fitri. Hari itu biasanya saat kegembiraan ketika keluarga Muslim berkumpul untuk menandai akhir bulan suci Ramadhan.

Pada Jumat (14/5), ibu Omar telah membawa dia dan saudara laki-lakinya untuk mengunjungi sepupu mereka. Lokasinya di dekat kamp pengungsi Shati di luar Kota Gaza tempat mereka semua tinggal. Hadidi mengatakan, anak-anak mengenakan pakaian Idul Fitri, mengambil mainan mereka dan pergi ke rumah paman mereka untuk merayakannya.

"Mereka menelepon di malam hari untuk memohon agar menginap dan saya berkata oke," ucap Hadidi.

Hadidi kemudian berhenti untuk menenangkan diri, ketika dia mengingat apa yang akan menjadi malam yang menentukan. "Saya tidur di rumah sendirian ... (dan) tiba-tiba terbangun karena suara bom," katanya.

 

 

Tak lama kemudian seorang tetangga menelepon untuk mengatakan bahwa rudal Israel telah menghantam rumah saudara iparnya. "Saya bergegas secepat yang saya bisa, tetapi ketika saya sampai di sana, rumahnya hanya puing-puing, dan petugas penyelamat sedang mengeluarkan mayat," ucap Hadidi.

Sementara, kakak iparnya dan empat anaknya juga termasuk di antara yang tewas. Sebuah video yang dibagikan secara luas di media sosial menunjukkan Hadidi memeluk putranya di dadanya. 

Hadidi dengan lembut menyentuh wajah putranya. "Semua anak laki-laki saya yang lain menyusui, kecuali Omar yang menolak sejak hari pertama. Tuhan sedang mempersiapkan kami dan kami tidak tahu," kata Hadidi.

Adapun serangan udara Israel telah menewaskan 200 orang. Ini termasuk 59 anak-anak di daerah kantong pantai yang terkepung. Di pihak Israel, roket kelompok bersenjata Palestina telah menewaskan 10 orang. Hadidi menuduh Israel sengaja mengincar anak-anak.

"Apa yang telah mereka lakukan sehingga pantas dibom tanpa peringatan untuk mengevakuasi rumah?" kata dia.

 

 

Israel mengklaim pihaknya menargetkan militan bersenjata, termasuk dari kelompok militan Palestina Hamas yang menjalankan Jalur Gaza. Di samping itu, kelompok hak asasi manusia telah berulang kali mengutuk serangan yang telah menewaskan wanita dan anak-anak di wilayah yang padat penduduk, sekitar dua juta warga itu.

Pusat Hak Asasi Manusia Mezan yang berbasis di Gaza menyatakan, 341 unit perumahan telah rusak dalam pemboman udara. Meski serangan udara yang sedang berlangsung, Hadidi mengatakan, dia menunggu bayinya dinyatakan cukup sehat untuk membawanya pulang.

"Saya akan merawatnya dan membesarkan sendiri," ucap Hadidi.

 
Berita Terpopuler