Begini Rekomendasi Tahapan Mengajarkan Puasa pada Anak

Dokter menyebut anak di bawah usia 7 tahun paling berisiko hipoglikemia bila puasa

Republika/Yogi Ardhi
Ilustrasi Anak Berpuasa. Dokter menyebut anak di bawah usia 7 tahun paling berisiko hipoglikemia bila puasa
Rep: Shelbi Asrianti Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tidak ada patokan baku kapan waktu yang tepat bagi anak untuk mulai belajar berpuasa. Hanya saja, saat membentuk kebiasaan tersebut, sebaiknya anak berpuasa secara bertahap, tidak langsung diminta berpuasa sampai Maghrib. 

Hal tersebut disampaikan oleh Dokter Spesialis Anak Primaya Hospital Bekasi Barat, Ayi Dilla Septarini. Jika ada orang tua yang ingin mengajari anak berpuasa sejak usia empat tahun, boleh saja, namun anak cukup puasa selama tiga sampai empat jam.

Setelah usia tersebut, barulah orang tua bisa membiasakan puasa dengan rentang waktu yang lebih lama, hingga akhirnya secara bertahap dia mampu berpuasa mencapai waktu Maghrib. Usia lima sampai tujuh tahun pun dikategorikan Ayi sebagai usia yang pas menanamkan pengertian tentang puasa.

"Pada usia ini, anak-anak cenderung sudah mulai berpikir kritis. Inilah masa-masa paling penting dalam kehidupan mereka," ujar Ayi melalui pernyataan resminya. Menurut dia, puasa secara bertahap sebaiknya disesuaikan pula dengan kemampuan masing-masing anak. 

Puasa bukan berarti tidak boleh makan selama seharian penuh, tetapi bagi anak yang lebih kecil hanya seperti menunda waktu makan. Misalnya, pada tahap awal anak latihan berpuasa Ramadhan, balita yang biasanya sarapan pukul 07:00 dapat diberitahu untuk menunda hingga pukul 09:00 atau 10:00. 

Setelah sarapan yang tertunda, ajak balita melanjutkan puasa dengan memperbolehkan makan lagi pada pukul 15:00. Kemudian, menahan tidak makan dan minum bisa dilanjutkan lagi hingga Maghrib hingga berbuka puasa bersama keluarga.

Jika balita masih belum mampu bertahan tidak makan dan minum selama waktu tertentu, tidak apa-apa memberikan sedikit kelonggaran. Secara bertahap, balita mungkin akan melakukan peningkatan ketahanan beberapa jam hingga mereka bisa menahan lapar cukup lama di akhir Ramadhan.

 Menurut Ayi, pada umumnya hal yang membuat anak lemah saat berpuasa adalah karena prosesnya tidak bertahap sesuai kemampuan. Anak yang berusia di bawah tujuh tahun pun merupakan kelompok yang lebih berisiko mengalami hipoglikemia apabila berpuasa sehingga orang tua perlu waspada.

Selain itu, kelompok usia ini lebih rentan mengalami kekurangan cairan. Perubahan pola tidur akibat bangun sahur juga dapat berdampak pada kemampuan belajar. "Agar anak tetap fit dan tidak lemas, lakukan durasi puasa secara bertahap. Jika tidak kuat, silakan berbuka karena anak-anak hukumnya belum wajib berpuasa," ucap Ayi.

Pada waktu sahur, Ayi mengimbau anak dibangunkan sekitar 30 menit sebelum waktu imsak. Ketika sahur, anak disarankan mengonsumsi makanan dengan indeks glikemik (IG) rendah yang dapat mempertahankan kadar gula darah lebih lama. 

Contoh makanan dengan IG rendah hingga sedang adalah beras merah, ubi, kacang hijau, roti gandum, apel, jeruk, pisang, dan oatmeal. Selain itu, anak juga perlu asupan protein hewani atau nabati, lemak, dan serat sehingga dapat mempertahankan rasa kenyang pada anak, juga asupan cairan yang cukup.

Setelah shalat Subuh, anak bisa melanjutkan tidur sebelum waktu sekolah. Beri jeda antara konsumsi makanan sahur dengan waktu tidur anak. Setelah sahur dan sholat subuh, sebaiknya batasi kegiatan anak dan jangan biarkan anak banyak bermain, jalan dalam jarak jauh, atau melakukan olahraga yang bisa menguras energi.

 

Menjelang berbuka, biarkan anak bermain satu jam sebelum waktu Maghrib. Saat berbuka puasa, mulailah dengan takjil berupa hidangan manis yang tetap sehat. "Setelah shalat Maghrib, anak bisa melanjutkan dengan makan besar. Setelah shalat tarawih, anak bisa diberi kudapan yang bergizi seperti kroket atau risoles," tutur Ayi.

 
Berita Terpopuler