Tajikistan: Tranformasi Pembangunan Hanya Demi Uang

Beberapa hal berkaitan dengan Rusia mulai dibatasi.

Aljazirah
Dushanbe, Tajikistan
Rep: Meiliza Laveda Red: Esthi Maharani

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Jatuhnya Uni Soviet dan perang saudara selanjutnya memicu eksodus etnis minoritas dan kelas menengah Tajik ke seluruh negeri. Saat ini, hampir 80 persen populasi Tajikistan adalah etnis Tajik. Untuk mencari peluang ekonomi dan pendidikan yang lebih baik, sebagian besar penduduk pedesaan Tajik pindah ke Dushanbe.

Di tengah arus masuk penduduk pedesaan dan meningkatnya nasionalisme, beberapa hal berkaitan dengan Rusia mulai dibatasi. Misal, nama belakang Rusia tidak disarankan bagi etnis Tajik dan kata-kata tertentu dilarang karena dianggap terlalu asing. Ini menyebabkan penduduk asli Dushanbe Soviet semakin berkurang dan merasa cemas.

“Kota sedang berubah. Nama jalan, rumah, dan halaman lama menghilang dan kami tidak dapat menghentikan proses ini. Tetapi penting untuk mengingat orang-orang luar biasa di Dushanbe karena mereka dilestarikan dalam lanskap perkotaan, bangunan, acara, tradisi,” kata Sejarawan, Aktivis Perkotaan, dan Jurnalis, Gafur Shermatov kepada Asia-Plus.

Sabiri mengatakan dia memahami betapa menyakitkan perubahan ini bagi generasi orang tuanya tapi itu adalah proses alami yang berakar pada dekolonisasi. “Di Tajikistan, seperti di banyak bekas republik Soviet lainnya, ada kecenderungan yang meningkat untuk kembali ke bahasa kita sendiri. Perasaan malu atas kebangsaan kita, identitas kita menghilang,” ucap dia.

Arsitek dan Desainer Interior, Manzura Muinova (31 tahun) menyebut Dushanbe sebagai kota yang sedang berkembang. “Saya tidak bisa mengatakan itu buruk, itu hanya pencarian kreatif. Arsitek Soviet yang membangun Dushanbe semuanya lulusan sekolah arsitektur Leningrad. Pekerjaan mereka mengikuti satu kecenderungan umum dan ada standar. Transformasi saat ini bersifat eklektik dan merupakan proses pencarian,” kata Muinova.

Sebagian besar bangunan Dushanbe Soviet dirancang oleh Stefan Lukic Anisimov, lulusan sekolah arsitektur Leningrad yang ditunjuk sebagai salah satu arsitek utama Republik Soviet Sosialis Tajik pada 1936. Anisimov bekerja di Dushanbe selama hampir 50 tahun hingga kematiannya. Bangunan-bangunan yang ia kerjakan memberi tampilan khas neoklasiknya, seperti markas besar Partai Komunis Tajik, Perpustakaan Nasional Firdavsi, Bank Nasional Tajikistan, dan lain-lain.

Namun, pembangunan yang sedang berlangsung saat ini terlihat tidak mengikuti tatanan atau gaya apa pun. Ini yang dikritik oleh penduduk asli. Muinova dan Sabiri berpendapat bahwa gaya arsitektur yang digunakan di gedung-gedung baru tidak menampilkan gaya orang Tajik.


Selamat datang Dushanbe yang ‘baru’
Dilansir Aljazirah, Selasa (20/4), transformasi kota bisa dikatakan mencerminkan pergeseran kekuatan geopolitik dan budaya di negara yang tidak lagi memandang Moskow dan Saint Petersburg sebagai panutan tapi memandang China dan negara-negara Teluk.

“Saya tidak tahu tentang dasar-dasar ideologis dari konstruksi ini tapi menurut saya salah satu motivasinya adalah uang. Mereka tidak peduli bagaimana tampilan barunya. Yang terpenting adalah membangunnya agar mendapat uang,” kata Jurnalis asal Dushanbe, Timur Temirkhanov(25 tahun).

Selama lima tahun terakhir, beberapa penduduk di distrik pusat Dushanbe telah mengalami pemindahan paksa dari rumah yang akan dibongkar dan dibangun kembali. Sementara beberapa penduduk lain harus bernegosiasi yang kesepakatan akhirnya tidak menguntungkan.

“Dalam 10 tahun, pusat kota akan sepenuhnya dibangun kembali dengan bangunan kaca baru, hotel, pusat bisnis, dan bangunan tua bersejarah akan dihancurkan sepenuhnya karena tidak mewakili nilai uang,” kata Temirkhanov.

Untuk memahami perubahan di kampung halamannya yang berkembang pesat, Kosimova beralih ke media sosial. Dia membuat proyek Youth in Dushanbe yang bertujuan untuk mendidik kaum muda tentang sejarah dan budaya Dushanbe. Sebagian besar karya Kosimova berfokus pada bangunan ikonik Soviet yang tersisa di kota itu, seperti Teater Lohuti biru-bubuk tahun 1929 sebagai teater pertama di Tajikistan Soviet dan Rumah Teh Rohat, bangunan tahun 1958.

“Pemuda di Dushanbe adalah cara saya untuk mengucapkan selamat tinggal pada kota yang mewarnai masa muda saya. Saya akan menyelesaikan proyek dan melestarikan kota,” ucap dia.

 
Berita Terpopuler