Risiko Wartawan: Diprotes Jenderal, Diancam Pembunuhan

Wartawan harus siap menghadapi komplen hingga ancaman.

AP
Dunia wartawan sangat dekat dengan komplain dan ancaman.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika

“Jika saya diminta memilih, diberi milky way (Galaksi Bima Sakti) atau berita itu tidak ada, saya akan memilih yang kedua,” begitu suara berat di ujung telepon sana.

Suara itu berasal dari petinggi TNI, jenderal bintang dua. Aku tahu dari nada bicaranya dia marah. Tapi terdengar dia masih bisa menahan emosi.

“Apa yang salah dengan berita itu Pak?” tanyaku.

“Saya tidak mengatakan seperti dalam berita itu. Saya minta ada pernyataan bahwa berita itu salah,” katanya dengan nada tegas.

Dia kemudian menjelaskan soal berita yang dikomplainnya. Aku mendengarkan. Selesai dia bicara, aku sampaikan bahwa aku menulis berdasarkan apa yang dia sampaikan.

“Kalau saya diminta menyatakan bahwa beritanya salah, tidak bisa Pak. Menurut saya berita itu tidak ada yang salah,” jelasku.

“Tapi saya tidak bicara seperti itu,” ulangnya lagi.

“Saya punya rekamannya Pak. Masih saya simpan,” balasku.

“Dua media yang lain sudah setuju untuk membuat ralat.”

“Saya tidak mau membuat pernyataan salah Pak. Tidak mungkin berita yang tidak salah, lalu saya membuat pernyataan salah,” kataku bertahan.

Aku jelaskan jika beritaku dianggap salah, maka aku bisa mengusulkan ke redaktur untuk ralat. Aku sarankan sang jenderal untuk membuat hak jawab. Hak jawab itu pasti akan dimuat. Dia menggerutu. Tapi memilih tak meneruskan masalah itu.

Yang aku dengar dia ditegur Panglima TNI karena berita itu. Pantas saja dia protes. Setelah peristiwa itu aku malah akrab dengan sang jenderal. Kalau aku menelepon untuk konfirmasi berita, dia kadang menyindir. “Jangan diplintir ya.”

Beberapa kali menggelar jumpa pers, dia bertanya kepada wartawan yang hadir sebelum acara dimulai. “Subroto dari Republika sudah datang? Kata-kata saya jangan dipelintir lagi ya,” katanya tergelak.

“Ada rekamannya Pak. Bukan dipelintir…” balasku dengan suara keras. Wartawan yang tahu masalah itu ikut tertawa.

Untung urusan komplain oleh jenderal itu terjadi setelah era reformasi. Masa setelah TNI sudah banyak berubah. Kalau saja itu terjadi zaman Orde Baru, sudah mampus aku. Jangankan jenderal bintang dua, mayor saja tak bisa ditawar-tawar.

Aku sering dengar cerita bagaimana repotnya dulu berurusan dengan tentara, jika ada berita yang dianggap tidak sesuai dengan mereka. Mereka tidak hanya menelepon, tapi wartawan diminta datang untuk diinterograsi.

Ada senior yang dipanggil tentara. Seharian tidak ditanya. Hanya disuruh duduk. Di atas meja di depannya diletakkan sebuah pistol.

Ada juga wartawan yang tiba-tiba ditelepon orang yang tak dikenal. Orang itu protes berita. Di akhir pembicaraan si penelepon gelap memberi ‘nasihat’. “Mas pulang kantor jangan malam-malam ya. Hati-hati di jalan, sekarang banyak begal lho. Begal kan tidak bisa membedakan mana wartawan atau bukan.” Kalimat itu lebih tepat sebagai ancaman pembunuhan daripada nasihat.

Beda dengan zamanku. Saat menjadi redaktur politik, beberapa kali aku ditelepon tentara yang komplain soal berita. Kami sudah hapal dengan gayanya. Minta berita dicabut atau diralat.

Biasanya aku berkilah tak punya wewenang. Lalu dia menelepon ke koordinator liputan (korlip). Dari korlip dikembalikan ke aku lagi, sampai tentaranya bingung. Akhirnya dia bosan sendiri.

Suatu hari Mabes TNI komplain sebuah tulisan panjang di Republika. Pemred Irfan Junaidi memintaku untuk mendampinginya dalam pertemuan dengan Kapuspen TNI. Pertemuan dilakukan di sebuah restoran Arab di Menteng, Jakarta Pusat.  

Aku sudah mempelajari tulisan wartawan itu. Aku juga sudah siap berdebat dengan tim Kapuspen TNI.

Yang terjadi di sana kami tidak dimarahi. Malah diajak makan sambil ngobrol-ngobrol saja. Kami saling memberi masukan.

Gimana, seru tadi dimarahi Kapuspen TNI?” tanya seorang teman ketika aku sampai di kantor. Semua mengerubungiku pingin tahu apa yang terjadi.

“Seruu… Bukannya dimarahi, malah ditraktir nasi kebuli,” jawabku sambil tertawa terbahak-bahak.

“Hahaha... kirain ditodong pistol,” komentar teman yang tadi bertanya. Semua tertawa-tawa mendengar ceritaku selanjutnya.

Kadang kami dipanggil Dewan Pers soal komplain berita. Pihak yang merasa dirugikan oleh sebuah karya jurnalistik bisa mengadu ke Dewan Pers.

Jika laporan disampaikan ke polisi, biasanya polisi akan mengarahkan sengketa jurnalistik itu ke Dewan Pers. Begitu mekanismenya.  

Dewan Pers akan melakukan pemeriksaan atas bukti dan keterangan dari pengadu dan teradu. Sebelum mengambil keputusan Dewan akan memanggil kedua pihak untuk mediasi.

Jika ada proses mediasi di Dewan Pers, biasanya kantor mengirimku untuk hadir. Mungkin karena latar belakangku hukum. Bila dalam keputusan Dewan Pers kami dianggap bersalah, dan harus memuat hak jawab, maka kami akan melaksanakannya.

Kadang komplain berita dilakukan dengan langsung mendatangi kantor. Pernah kantor Republika didemo sekelompok orang untuk urusan berita. Lucunya komplain mereka ternyata salah alamat. Tapi tetap saja mereka kami terima.

Suatu hari serombongan orang datang ke kantor. Dia mencariku untuk protes berita. Sekretaris redaksi menanyakan apakah aku aku akan langsung menemui rombongan tersebut sendiri? Aku jawab ya.

Aku temui lima orang itu sendiri. Sebelumnya aku minta sekuriti untuk berjaga-jaga di luar ruangan. Mana tahu terjadi apa-apa.

Mereka yang datang marah-marah, sambil menunjukkan kliping berita. Mereka minta berita itu diralat karena dianggap tidak benar. Ternyata itu berita dua tahun lalu saat aku masih jadi reporter di lapangan. Kok komplainnya baru sekarang ya?

Berita yang dipersoalkan itu adalah peristiwa perampokan di Jakarta Timur. Pihak yang komplain mengatakan berita yang aku tulis itu salah. Menurut mereka, beberapa waktu kemudian ada bukti bahwa perampokan itu direkayasa.

Aku masih ingat betul peristiwa perampokan itu. Kebetulan aku ke tempat kejadian beberapa saat setelah perampokan terjadi, bersama polisi. Aku melakukan observasi di sana, menanyakan saksi-saksi dan polisi.

Secara jurnalistik tak ada yang salah dengan berita itu. Peristiwanya ada, yang memberikan komentar tentang perampokan itu juga ada, saksi dan polisi.

“Pokoknya kami minta ditulis pernyataan bahwa berita ini tidak benar.”

Aku jelaskan berita itu tidak salah pada saat dibuat. Jika kemudian hari ada informasi bahwa perampokan itu rekayasa, itu adalah fakta baru lagi. Aku tawarkan kepada mereka untuk membuat hak jawab dengan fakta baru. Nanti akan dimuat.

“Tidak bisa, berita ini salah. Berita ini harus dicabut,” seorang dari mereka tetap ngotot.

Kami berdebat. Debat kusir itu tak selesai sampai mereka pulang. Aku tunggu hak jawab dari mereka. Tak ada hak jawab dan mereka juga tak pernah datang lagi.

Kendati zaman sudah berubah, urusan komplain-komplain dengan ancaman tak sepenuhnya hilang. Beberapa bulan lalu seseorang yang mengaku pimpinan organisasi pemuda meneleponku. Dia mengatakan berita yang ditulis di Republika Online (www.republika.co.id) salah. Dia meminta agar berita itu dicabut.

Berita itu adalah soal penyerobotan tanah milik warga dan sejumlah tokoh. Pemilik tanah, kendati punya sertifikat tak bisa menguasai tanahnya. Tanahnya dikuasai orang lain yang bukan pemilik.

Di atas tanah dibangun perumahan. Konsumen yang membeli rumah merasa tertipu karena uang muka sudah disetor, rumah tak kunjung dibangun. Pihak pemda mengatakan izin pembangunan rumah belum ada.

Tidak jelas mengapa ketua organsisasi pemuda itu yang komplain beritanya. Padahal di dalam berita tak sedikitpun mengaitkan dia dan organisasinya.

“Yang salah apa Mas? Kalau ada yang tidak benar kami perbaiki. Silakan kirim hak jawab,”  kataku.

“Pokoknya saya minta berita itu dicabut. Titik,’” katanya dengan nada tinggi.

Debat jarak jauh pun terjadi. Aku bilang tidak bisa mencabut berita. Pertama aku tidak punya wewenang di Republika Online, karena aku membawahi koran.

Kedua, mencabut berita itu tak bisa sembarangan. Ada aturannya. Harus ada alasan yang kuat yang menjadi dasar sebuah berita di media online dicabut. Itu diatur dalam pedoman pemberitaan media siber yang dikeluarkan Dewan Pers.

“Kalau begitu saya akan selesaikan dengan cara saya. Saya akan mendatangi kantor Republika,” ancamnya.

“Silakan saja,” jawabku.

“O ya, maaf, pembicaraan tadi saya rekam ya,” tambahku lagi.

Aku merekam pembicaraan itu untuk berjaga-jaga jika ada masalah. Aku juga melaporkan ke pemimpin redaksi soal ancaman itu. Ditunggu-tunggu, si pengancam tak kunjung datang ke kantor.

Wartawan itu tak selalu benar. Bisa saja tak sengaja membuat kesalahan dalam menulis berita. Komplain-komplain itu biasa saja terjadi, dan akan selalu ada. Tinggal bagaimana kita baik-baik menghadapinya.

Tips menghadapi komplain berita:
- Hadapi dengan sopan pihak yang mengajukan komplain
- Minta penjelasan secara baik-baik apa yang dipersoalkan
- Jelaskan sikap Anda dan media Anda terhadap masalah yang dipersoalkan
- Tawarkan jalan keluar berupa hak jawab
- Siapkan data yang cukup jika ada mediasi di Dewan Pers
- Jika pihak yang komplaim mengajak bertemu, usahakan di kantor atau tempat umum
- Jangan biarkan wartawan sendiri menghadapi pihak yang komplain
- Rekam pembicaraan jika penting
- Laporkan ke kantor jika ada ancaman.

 
Berita Terpopuler