Cara Mengqadha Utang Puasa Ramadhan yang Lupa Jumlahnya

Semua umat Islam yang sudah baligh wajib menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Prayogi/Republika
Cara Mengqadha Utang Puasa Ramadhan yang Lupa Jumlahnya. Ilustrasi Berpuasa
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semua umat Islam yang sudah baligh (dewasa) dan berakal sehat wajib menjalankan ibadah puasa Ramadhan sesuai ketentuan syariat, kecuali mereka yang punya 'udzur (halangan syar'i), maka boleh tidak berpuasa dengan ketentuan khusus.

Baca Juga

Hal ini didasarkan pada makna firman Allah Swt.: "Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang se belum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya ber puasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain ..." (al-Baqarah: 183-184).

Bagaimana halnya jika ada orang Islam yang karena suatu hal meninggalkan puasa Ramadhan sedemikian banyak, sehingga terjadi penumpukan utang puasa?

Pada dasarnya, utang puasa Ramadhan itu wajib diqadha dan sebenarnya rentang waktu yang tersedia untuk mengqadha itu cukup lama, yaitu sesudah Idul Fitri sampai sebelum datangnya bulan Ramadan berikutnya. Jadi, ada waktu sekitar 11 bulan, selain tanggal 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, yang seluruh umat Islam memang diharamkan berpuasa di hari tersebut.

Tetapi jika yang bersangkutan teledor sehingga terjadi penumpukan utang puasa, maka fuqaha berpendapat sebagai berikut, dikutip dari Fiqih Kontemporer Buku 3 oleh KH Ahmad Zahro.

 

Pertama, jika seseorang dalam keadaan sakit dan tidak mampu berpuasa, juga tidak ada kemampuan untuk mengqadha karena sakitnya itu, maka fuqaha sepakat orang tersebut cukup membayar fidyah (tebusan) sejumlah hari-hari yang terutang. Besaran fidyah-nya adalah 7,5 ons beras (digenapi 1 kg, lebih bagus) diberikan pada orang-orang miskin sekitar.

Boleh juga dibayarkan dalam bentuk uang senilai harga beras tersebut. Hal ini disandarkan pada makna firman Allah Swt.: ".. Dan kepada mereka yang berat menjalankan puasa, maka membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Dan barangsiapa yang dengan kerelaan hati berbuat kebajikan (dengan memberi lebih dari yang ditentukan), maka itulah yang lebih baik baginya..." (al-Baqarah 184).

Kedua, jika seseorang Muslim/Muslimah tidak berpuasa karena keteledorannya sehingga sampai menumpuk beberapa hari atau bahkan beberapa bulan (dalam beberapa tahun tentunya), maka para fuqaha berbeda pendapat.

 

Fuqaha Hanafiyah menyatakan dia wajib mengqadha semua utang puasanya sampai lunas tergantikan seluruhnya, dan tidak perlu membayar denda atau fidyah apa pun karena memang itulah ketentuan bagi orang yang tidak berpuasa, sebagaimana makna firman Allah Swt.: Dan barangsiapa yang sakit atau sedang bepergian (dan tidak berpuasa), maka dia harus berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan itu, di hari-hari yang lain. Allah menghen daki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu... (al-Baqarah: 185).

Sedangkan fuqaha Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa di samping yang bersangkutan wajib mengqadha di hari-hari yang lain sejumlah utang puasanya itu, dia juga wajib membayar fidyah sejumlah utang puasa tersebut. Hal ini sebagai konsekuensi dan "hukuman" terhadap keteledorannya, sebagaimana umumnya orang yang tidak dapat mengqadha utang puasanya sampai datang Ramadhan berikutnya, maka terhadapnya dikenakan fidyah di samping kewajiban mengqadha.

Bagaimana jika penumpukan utang puasa itu sedemikian banyak, sehingga lupa jumlah persisnya berapa hari atau bahkan berapa bulan puasa yang tertinggalkan? Menyikapi orang yang demikian itu, tentu harus bijak, tidak perlu menstigmatisasi sebagai orang yang fasik, durhaka, atau label buruk lainnya.

 

Dia jelas salah dan berdosa, tetapi masih ada sisi baiknya, yakni munculnya kesadaran terhadap utang-utang puasanya sehingga ada keinginan untuk bertobat dengan mengqadhanya. Dalam hal demikian, yang bersangkutan harus melakukan appraisal (perkiraan) terhadap jumlah utang puasanya dengan memegangi perkiraan tertinggi sebagai tindakan ihtiyath (hati-hati).

Misalnya, dia lupa utang puasanya itu 75 hari ataukah 79 hari, maka dia harus mengambil yang 79 hari; apa 5 bulan ataukah 6 bulan, maka harus diambil yang 6 bulan. Sebab, kalau mengambil yang 75 hari atau yang 5 bulan, maka pasti masih timbul keraguan, apa sudah terlunasi semua ataukah belum.

 

Sedang jika mengambil yang 79 hari atau yang 6 bulan, maka tentu sudah yakin bahwa semua utangnya telah tergantikan dan tidak ada keraguan lagi. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa'i dari Abu Muhammad al-Hasan bin Ali r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Da' ma yuribuka ila ma la yuribuka” (tinggalkan apa yang membuatmu ragu, menuju apa yang membuatmu tidak ragu lagi). Wallahu a'lam.

 
Berita Terpopuler