Setan Dibelenggu Saat Ramadhan, Mengapa Maksiat Masih Marak?

Betapa besarnya pahala kebaikan pada bulan Ramadhan.

ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Setan Dibelenggu Saat Ramadhan, Mengapa Maksiat Masih Marak?
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Begitu mulianya bulan Ramadhan sampai Rasulullah SAW bersabda: "Apabila tiba bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka dan setan-setan dibelenggu," (HR al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain dari Abu Hurairah RA). Untuk memaknai dan memahami hadis ini, para ulama terbagi atas dua kelompok besar, yaitu kaum tekstualis dan kaum kontekstualis.

Baca Juga

Para ulama tekstualis memaknai dan memahami ungkapan Nabi SAW tersebut secara harfiah (leterlijk, apa adanya secara bahasa) bahwa dalam bulan Ramadhan pintu surga memang benar-benar dibuka, pintu neraka memang benar-benar ditutup, dan semua setan memang benar-benar dibelenggu. Pemaknaan dan pemahaman demikian tentu lebih mudah disampaikan pada orang awam dan lebih aman dari kemungkinan disalahkan karena memang bunyi haditsnya demikian.

Soal dibelenggunya setan, mereka menyandarkan pada makna firman Allah SWT: Dan (Kami tundukkan pula kepada Sulaiman) setan-setan (golongan jin), semuanya ahli bangunan dan penyelam. Dan setan yang lain terikat dalam belenggu (Shad: 37- 38). Jadi, dalam bulan Ramadhan setan-setan itu memang dibelenggu secara fisik sehingga tidak berkutik dan tidak bisa lagi mengganggu manusia.

Mengapa dibelenggu? Karena kemuliaan bulan Ramadhan agar umat Islam dapat melakukan amal kebaikan sebanyak-banyaknya, dan terhindar dari perbuatan maksiat sejauh-jauhnya karena tidak ada lagi yang menggoda.

Baca juga : Tips Memotivasi Anak Berpuasa Ramadhan

 

Di sisi lain, para ulama kontekstualis memaknai dan memahami sabda Nabi SAW tersebut sebagai ungkapan metaforis (kiasan, majazi, tidak sesungguhnya). KH Ahmad Zahro dalam Fiqih Kontemporer Jilid 3 mengatakan, "pintu surga dibuka” menggambarkan betapa mudahnya orang berbuat baik pada bulan Ramadhan, betapa tingginya semangat dan motivasi untuk melakukan kebaikan pada bulan Ramadhan, dan betapa besarnya pahala kebaikan pada bulan Ramadhan sehingga seakan pintu surga terbuka untuk mereka.

Bukan pintu fisik surga karena surga sampai sekarang belum ada, walau kelak pasti akan ada. Penghuni surga yang ditampakkan pada Nabi SAW ketika mi'raj hanyalah penggambaran atau ilustrasi, bukan sebenarnya karena surga baru ada penghuninya ketika semua manusia sudah mati dan dunia sudah kiamat, serta penghitungan (hisab) dan penimbangan (mizan) amal sudah dilakukan.

Begitu pula, "pintu neraka ditutup" menggambarkan betapa tingginya sensitivitas umat Islam terhadap dosa pada bulan Ramadhan, betapa tingginya kesadaran mereka untuk menjauhi perbuatan maksiat pada bulan Ramadhan sehingga seakan pintu neraka tertutup untuk mereka.

Demikian juga dibelenggunya setan, bukanlah setan itu benar benar dibelenggu. Rasulullah SAW menyatakan setan-setan itu dibelenggu pada bulan Ramadhan hanyalah untuk menggambarkan betapa tidak berkutiknya setan untuk menggoda umat yang beriman dan sedang berpuasa karena mereka sedang asyik beribadah, sedang tinggi semangatnya untuk berbuat baik, serta sadar dan sensitif terhadap perbuatan dosa.

 

Lalu mengapa pada bulan Ramadhan tetap saja banyak terjadi kemaksiatan, padahal setan-setan sudah dibelenggu? Kalaupun pada bulan Ramadhan masih banyak perbuatan maksiat, masih banyak orang durhaka, dan masih banyak tindak kejahatan, adalah kenyataan empiris yang tak terelakkan.

Itu berarti benar-benar hawa nafsu manusia yang berperan. Mereka tidak bisa lagi mengambinghitamkan setan-setan dari golongan jin sebagai penyebabnya.

Manusia yang tetap berbuat maksiat, tetap durhaka, dan tetap memperturutkan kemauan jahat mereka pada bulan Ramadhan adalah setan-setan dari golongan manusia yang terbelenggu oleh hawa nafsu mereka sendiri. Mereka tidak lulus ujian iman dan tidak lolos dari belenggu dosa yang mestinya mereka dapatkan pada bulan Ramadhan.

 

Namun, di sisi lain, di kalangan umat Islam yang berpuasa pasti terasa frekuensi kemaksiatan turun drastis, sensitivitas terhadap dosa meningkat tajam, dan semangat berbuat kebajikan begitu menggelora dibanding hari-hari dalam kehidupan di luar bulan Ramadhan. Secara akademis ilmiah, dua jenis pemahaman tersebut dapat dibenarkan. Untuk menghadapi kaum awam, pemahaman tekstual lebih tepat; sedangkan terhadap kaum terpelajar, pemahaman kontekstual lebih mengena. Wallahu a'lam.

 
Berita Terpopuler