Perbankan Syariah yang Masih Begini-Begini Saja

Industri perbankan syariah Indonesia masih menghadapi tantangan-tantangan klasik.

BSI
Kantor Bank Syariah Indonesia: Industri perbankan syariah di Indonesia masih menghadapi masalah-masalah klasik sementara yang lain sudah semakin maju
Rep: Anadolu Red: Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Muhammad Nazarudin Latief, Anadolu

Baca Juga

JAKARTA -- Total aset keuangan syariah di Indonesia hingga akhir 2020 sudah mencapai Rp 1.802,86 triliun atau 9,89 persen dari total aset keuangan nasional, menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam laporannya, Kamis.

Perkembangan ini, menurut OJK, menggembirakan karena kinerja industri ini lebih baik jika dibandingkan keuangan konvensional di tengah hantaman pandemi Covid-19.

“Kita harapkan pada tahun-tahun berikutnya, peran industri keuangan syariah kita makin meningkat,” ujar Anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana, dalam peluncuran Peta Jalan Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia 2020-2025.

Dari sisi perbankan, aset perbankan syariah sudah mencapai Rp 608,5 triliun atau naik 13,11 persen dibanding tahun lalu.

Pertumbuhan ini ditopang oleh kenaikan pembiayaan mengalami kenaikan 8,08 persen menjadi Rp 394,6 triliun. Sedangkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai Rp 475,5 triliun atau naik 11,80 persen.

Perbankan syariah juga mengalami kenaikan kualitas pembiayaan. Rasio pembiayaan bermasalah (NPF) turun jadi sebesar 3,08 persen, sebelumnya pada 2019 masih berada pada level 3,11 persen.

Rasio kecukupan permodalan berada pada level 21,59 persen, dengan financing to deposits ratio berada pada level 82,4 persen yang menunjukkan kemampuan ekspansi pada tahun ini semakin besar.

Kendati demikian, perbankan syariah dalam laporan OJK tetap mengalami penurunan margin dengan net operating margin pada level 1,55 persen, sedangkan beban operasional terhadap pendapatan operasional mencapai 83,63 persen.

Secara umum, menurut OJK, market share perbankan syariah di tengah perbankan nasional baru mencapai 6,51 persen.

“Saya yakin, market share ini akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Dengan roadmap perbankan syariah akan semakin terarah,” ujar Heru Kristiyana.

Menurut Heru, perkembangan ekonomi syariah Indonesia berhasil menempati posisi kedua dalam Islamic Finance Development Report (IFDI) tahun ini.

Peringkat teratas ditempati oleh Malaysia, kemudian di tempat ketiga dan seterusnya adalah Bahrain, UAE dan Arab Saudi.

“Ranking Indonesia naik tiap tahun. Peringkat 10 pada 2018, kemudian peringkat 4 pada 2019, dan peringkat 2 di tahun 2020,” ujar Heru.

Pemeringkatan IFDI mengacu lima bidang yaitu pertumbuhan kuantitatif, pengetahuan, tata kelola, kesadaran dan Corporate Social Responsibility.

Banyak tantangan industri perbankan syariah

Namun, kata Heru, perbankan syariah di Indonesia masih harus berhadapan pada tantangan perubahan ekosistem yang sangat cepat, khususnya teknologi informasi dan pandemi Covid-19 yang belum diketahui kapan berakhirnya.

OJK, menurut Heru, mengidentifikasi beberapa masalah yang menghambat akselerasi pertumbuhan bisnis perbankan syariah.

Pertama, kata dia, belum adanya diferensiasi model bisnis yang signifikan. Kemudian soal kualitas dan kuantitas SDM dan rendahnya tingkat literasi dan inklusi bank syariah.

Menurut Heru, diferensiasi bisnis ini penting agar nasabah memiliki alternatif produk dengan kualitas yang lebih baik dibanding perbankan konvensional.

 

“Diferensiasi produk yang bervariasi dan tidak meninggalkan prinsip syariah akan mendorong pertumbuhan bank syariah," ujar dia.

Teknologi menurut dia harus diperhatikan secara khusus, karena tingginya keinginan para nasabah agar bisa dilayani dengan teknologi digital yang lebih baik.

“Pandemi ini membuat nasabah tidak mau melakukan transaksi datang ke bank untuk sekadar menarik dana atau transfer. Mereka ingin bisa melakukan transaksi hanya dengan smartphone,” ujar dia.

OJK, menurut Heru, ingin mendorong agar perbankan syariah Indonesia, memiliki identitas baru, yaitu keunikan model bisnis dan produk.

Berikutnya kata Heru adalah mengoptimalkan ekosistem ekonomi dan keuangan syariah. Selain itu, mengintegrasikan fungsi keuangan komersial dan sosial.

“Ke depan SDM yang berkualitas dan teknologi mutakhir jadi syarat mutlak untuk mengembangkan perbankan syariah,” ujar dia.

Roadmap perbankan syariah periode ini bertumpu pada tiga hal penting, yaitu memperkuat identitas, sinergi dengan ekosistem ekonomi syariah, dan penguatan perizinan, pengaturan, serta pengawasan.

“Sinergi sangat penting dilakukan untuk mempercepat pengembangan, karena ekosistem ekonomi syariah sangat luas,” ujar dia.

Sedangkan untuk perizinan, OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia agar bisa satu atap sehingga lebih transparan, cepat dan mudah dilacak.

“Selain itu, peningkatan meningkatkan awareness masyarakat dalam kerangka ekosistem ekonomi syariah juga akan dilakukan,” ujar dia.

Sedangkan pengawasan perbankan, menurut Heru memiliki tantangan tersendiri karena menghadapi perkembangan teknologi digital.

Pengembangan teknologi digital, kata Heru, tidak boleh mendisrupsi pengembangan perbankan.

"Cyber security harus bisa kita atasi agar digitalisasi bisa berkembang tapi transaksi tetap aman,” ujar dia.

“Pengawasan OJK dalam masa pandemi sudah menggunakan teknologi. Data bank, kecerdasan buatan menjadi hal pokok untuk mendukung pengawasan offside yang lebih baik,” ujar dia.

Bukan masalah baru industri perbankan syariah

Ekonom dari Institute for Development Economics and Finance (Indef) Fauziah Rizki Yuniarti mengatakan hambatan perkembangan bank syariah yang disebutkan OJK sebenarnya bukan masalah baru, namun longstanding issues yang sudah lama dihadapi industri ini.

Beberapa masalah bahkan sudah disebutkan dalam roadmap pengembangan perbankan syariah 2015-2019.

“Kemungkinan salah satu penyebabnya adalah belum ada insentif yang signifikan sehingga memotivasi pemain pada ekosistem ekonomi Islam untuk mengatasi masalah tersebut,” ujar dia.

Solusinya adalah ada satu institusi yang fokus memperbaiki, mencari solusi masalah-masalah yang sebenarnya sudah terdeteksi lima tahun lalu.

“Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) sudah mengemban beberapa peran penting dalam mengatasi isu-isu tersebut.”

 

“Namun, political power dari KNEKS belum cukup kuat memberi influential power yang signifikan di kancah perekonomian dan perbankan syariah nasional,” ujar dia.

Solusi lain usulan dia adalah Bank Syariah Indonesia (BSI), sebagai bank dengan modal kuat harus berani ambil langkah signifikan sehingga bisa mengambil porsi besar untuk membenahi industri perbankan syariah.

Inovasi dan pendidikan punya peran penting

Ekonom Institut Pertanian Bogor (IPB) Irfan Syauqi Beik mengatakan persoalan kualitas SDM pada perbankan syariah sejak dahulu memang menjadi masalah.

Dia mengusulkan solusi jangka pendek dengan memperbanyak pelatihan tersertifikasi bagi pelaku perbankan syariah.

“Pelatihan harus didorong, tapi harus up to date karena ini masalah penting dan fundamental. Lembaga sertifikasi juga perlu meningkatkan kualitasnya, agar bisa menghasilkan SDM yang bagus,” ujar dia pada Anadolu Agency.

Sedangkan solusi jangka panjang adalah pembenahan kualitas institusi pendidikan. Menurut Irfan, banyak lulusan program studi ekonomi dan perbankan Islam kalah bersaing karena ternyata tidak mempunyai skill maupun soft skill yang dibutuhkan industri perbankan syariah.

“Dosennya, kurikulumnya, link-and match dengan industri perlu didorong agar menghasilkan lulusan yang berkarakter, mempunyai soft skill dan integritas serta kejujuran,” ujar dia.

Sedangkan untuk persoalan kurangnya diferensiasi model bisnis perbankan syariah, kata kuncinya adalah inovasi, ujar Irfan.

Namun inovasi yang harus dilakukan harus berdasarkan kebutuhan masyarakat. Inovasi produk tidak hanya dilakukan pada sektor penyaluran atau financing, tapi juga tabungan dan produk lain terutama transaksi finansial.

Kalangan perbankan syariah menurut Irfan juga harus meningkatkan jangkauan dan intensitas sosialisasi dengan konten yang lebih kreatif.

Hal ini diperlukan untuk mengatasi masalah literasi dan inklusi keuangan syariah yang terbatas.

Menurut Irfan, inklusivitas sebenarnya adalah prinsip dasar keuangan syariah karena ajaran terbuka dan bisa harus bisa melayani semua peminatnya. Karena itu, persoalan inklusivitas seharusnya bisa tertangani dengan baik.

“Nabi Muhammad itu mencontohkan interaksi bisnis dengan orang Yahudi, baik pinjam meminjam atau bahkan memberi baju besinya.”

“Prinsip muamalah itu sangat inklusif dan bisa menjangkau siapa pun selama semua sepakat dan mempraktikkan prinsip keuangan syariah,” ujar Irfan.

 

 
Berita Terpopuler