Menengok Loji Freemason di Hotel Kota Malang

Awalnya, gedung ini justru dijadikan sebagai tempat dansa, rapat, dan pertemuan.

Republika/Wilda Fizriyani
The Shalimar Boutique Hotel Malang
Rep: Wilda Fizriyani Red: Fernan Rahadi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wilda Fizriyani

Gaya klasik begitu terlihat nyata saat memasuki The Shalimar Boutique Hotel Malang. Tidak hanya bentuk bangunannya, barang-barang yang ditampilkan juga seolah-olah membawa pengunjung ke masa kolonial Belanda.

Memasuki ruang depan, pengunjung langsung disuguhi deretan lukisan karya-karya seniman lokal maupun Belanda. Karya-karya seni tersebut menunjukkan sejumlah potret Kota Malang di masa lalu. Beberapa di antaranya seperti lukisan Balai Kota di masa lampau, suasana Kayutangan, dan sebagainya. 

Tak jauh dari area resepsionis, terdapat restoran yang di dalamnya tertata meja dan bangku bergaya klasik. Suasana lawas nampak lebih jelas dengan perpaduan lantai berwarna hitam dan putih. Paduan warna ini disebut sebagai salah satu lambang dari tempat yang pernah dipakai kelompok Freemason.

"Ya, salah satu cirinya ini. Hitam dan putih lantainya," kata General Affairs Manager The Shalimar Butique Hotel, Agoes Basoeki saat ditemui Republika beberapa waktu lalu.

General Affairs Manager The Shalimar Butique Hotel, Agoes Basoeki menunjukkan foto hotel tersebut di masa lalu. - (Republika/Wilda Fizriyani)

 

Bangunan The Shalimar Boutique Hotel Malang sebelumnya telah dibangun sejak 1930-an. Gedung yang dirancang oleh arsitek Mulder ini menggunakan gaya Nieuwe Bouwen. Yakni, menonjolkan bentuk kubus dan beratap lurus pada bangunannya.

Pada masa awal, bangunan The Shalimar Boutique Hotel tidak difungsikan sebagai tempat menginap. Gedung ini justru dijadikan sebagai tempat dansa, rapat dan pertemuan para kolonial Belanda. Salah satunya termasuk menjadi markas para anggota Freemason di masanya.

Agoes tidak tahu pasti berapa lama gedung yang mulanya Maconiece Lodge itu difungsikan sebagai loji Freemason. "Persisnya enggak tahu karena setelah itu ada pelarangan kelompok ekslusif. Itu akhirnya dipakai sebagai gedung RRI Malang," ucap pria yang juga menjabat sebagai Ketua PHRI Malang tersebut. 

Sekitar 1960-an, gedung akhirnya dialihfungsikan menjadi tempat RRI Malang. Di masa ini, logo Freemason yang tertanam di tembok gedung depan dihilangkan. Lambang huruf G yang diapit jangka dan mistar ini diganti dengan pemancar radio khas RRI.

Pada 1993, gedung diambil-alih oleh PT Cakra Nur Lestari yang kini menjadi pemilik hotel The Shalimar Boutique. "Jadi tukar bangunan, bukan beli dengan gedung RRI sekarang. Tapi dulu enggak luas, cuma 2000-an meter persegi. Ini sekarang diperluas sendiri," jelasnya.

Agoes tak menampik, ada beberapa bagian gedung yang diperbaiki selama ini. Namun dia memastikan perubahan itu tidak mengubah bentuk aslinya. Pasalnya, bangunan ini sudah masuk dalam kategori Cagar Budaya di Kota Malang. 

Bangunan resmi menjadi hotel melati pada Desember 1994 dengan nama Malang Inn. Kemudian nama kembali berubah menjadi Graha Cakra pada Juli 1995.  Hal ini lantaran terdapat kebijakan indonesianisasi sehingga nama-nama asing harus diganti.

Tema hotel dari Cakra Graha diubah dari sentuhan Jawa menjadi klasik pada 2014. Nama hotelnya pun diganti menjadi The Shalimar Boutique Hotel pada 10 Desember 2015. Kini hotel yang terletak di Jalan Cerme Nomor 16, Oro-oro Dowo, Klojen, Kota Malang ini sudah di level bintang lima. 

Pengunjung Priyanto (40) mengaku senang bisa menemukan tempat bersejarah di Kota Malang. Apalagi bangunan yang ditemukan pernah menjadi Loji Freemason di masa kolonial Belanda. "Meskipun peninggalan dari kelompok eksklusif Freemason sudah enggak ada, tapi paling tidak bangunan masih ada. Jadi kita seperti saya masih bisa menikmati bangunan bersejarah seperti apa," jelas pria berkacamata ini.

Priyanto juga mengapresiasi kelestarian bangunan yang disajikan Shalimar Boutique Hotel. Sebab, selama ini banyak bangunan sejarah yang dipugar total menjadi toko, rumah, kantor dan sebagainya. Namun pengelola gedung Shalimar masih mempertahankan bentuk aslinya tanpa merusaknya.

 

Sekilas tentang Freemason

Khusnul Khotimah dkk dalam jurnal "Sejarah Eksistensi Jejak Freemasonry di Pusat Kota Malang Tahun 1933 sampai 1960" menjelaskan, Freemason pada dasarnya sebuah organisasi yang awalnya berkembang di Eropa. Organisasi ini didirikan atas Bapa Allah dan persaudaraan manusia. Metode pengajaran organisasi ini terdiri atas dasar moralitas, cinta persaudaraan dan amal.

Freemason di Negeri Belanda sempat mengalami permulaan tidak baik pada 1730-an. Hal ini mengakibatkan pelarangan Freemason untuk sementara waktu di wilayah tersebut. Situasi tersebut mengakibatkan individu-individu dari organisasi bertebaran ke sejumlah koloni Eropa.

Guru Besar Ilmu Politik dari Ohio University, Paul W. van der Veur dalam buku "Freemasonry di Indonesia" menjelaskan, loji Freemason pertama yang didirikan di Indonesia terjadi pada 1762. Bangunan yang berada di Batavia ini diprakarsai oleh JCM. Radermacher. Ayahnya dahulu pernah menjabat sebagai suhu agung pertama di Belanda pada 1730-an.

Suasana beberapa ruangan dari The Shalimar Boutique Hotel Malang. Bangunan ini pernah menjadi loji organisasi Freemason pada 1930-an - (Republika/Wilda Fizriyani)
 

Paul mengaku informasi mengenai anggota Freemason periode 1860 hingga 1910 sangat terbatas. Jumlahnya tidak menentu, tapi diperkirakan mendekati 65 orang. Sebagian besar anggotanya berasal dari kalangan pemerintahan, militer seperti K van der Heyden, para manajer perusahaan penerbitan seperti Van Dorp & Co., para jurnalis seperti JA Uilkens, cendekiawan semisal EB Kielstra, dan anggota Dewan Hindia.

Adapun warga Indonesia pertama yang diterima menjadi anggota Freemason mulai terjadi pada 1844. Beberapa di antaranya seperti cicit Sultan Pontianak Abdul Rachman dan pelukis Raden Saleh. Sementara untuk warga keturunan Cina, yakni letnan Boen Keh yang diketahui memiliki pabrik gula.

Suasana beberapa ruangan dari The Shalimar Boutique Hotel Malang. Bangunan ini pernah menjadi loji organisasi Freemason pada 1930-an - (Republika/Wilda Fizriyani)

 

Jumlah anggota Freemason dari warga Indonesia dan keturunan Cina terus meningkat di berbagai daerah. Menurut Paul, anggota Freemason Indonesia dan Cina lebih banyak berpusat di Jawa Tengah (Jateng) dan kerajaan di daerah tersebut. Dari total 292 anggota mason, 29 warga Indonesia dan delapan warga keturunan Cina.

"Dari sini, oleh sebab itu, terbukti bahwa keanggotaan Mason non-Eropa benar-benar ada lebih dari sekedar tanda-tanda keberadaan," kata dia.

Freemasonry turut berkembang di Kota Malang. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan loji yang kini menjadi bangunan The Shalimar Boutique Hotel. Kemudian beberapa nisan anggota Freemason di TPU Sukun, Kota Malang. 

Menurut Khusnul dkk, tokoh Freemason yang paling berpengaruh di Kota Malang itu dokter pendiri RS Lavalette. Sebab, tokoh ini tercatat sempat menjabat sebagai ketua Freemasonry di Malang. 

Pada 27 Februari 1961, Presiden Sukarno resmi melarang organisasi Freemasonry melalui penandatanganan UU Komando Militer Tinggi. Sukarno menilai Freemasonry memiliki dasar dan sumber yang berasal dari luar Indonesia. Organisasi ini juga dianggap tidak selaras dengan kepribadian nasional Indonesia.

 

 
Berita Terpopuler