Saran untuk Orang Tua yang Memiliki Anak dengan Hipospadia

Hipospadia sendiri merupakan kelainan bawaan lahir.

ANTARA/Galih Pradipta
Saran untuk Orang Tua yang Memiliki Anak dengan Hipospadia. Foto ilustrasi: Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Andika Perkasa (tengah) memperkenalkan Serda Aprilia Manganang via videotron di Markas Besar TNI Angkatan Darat (Mabes AD), Jakarta, Selasa (9/3/2021). Aprilia Manganang diperlkenalkan kembali dengan jenis kelamin laki-laki usai melakukan corrective surgery oleh tim dokter TNI AD.
Rep: Puti Almas Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hipospadia menjadi penyakit yang ramai diperbincangkan dalam beberapa waktu terakhir. Hal ini setelah adanya seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) sekaligus mantan atlet voli putri Aprilia Manganang yang mengalaminya dan dinyatakan sebagai seorang laki-laki setelah pemeriksaan medis secara menyeluruh yang dilakukan.

Hipospadia sendiri merupakan kelainan bawaan lahir, di mana seseorang yang mengalaminya memiliki kondisi lubang uretra yang tidak terletak di ujung penis (alat kelamin anak laki-laki). Diagnosa penyakit ini biasanya baru dapat dilakukan saat pasien lahir, dengan tiga kriteria utama yaitu, pertama muara ureter atau lubang kencing tidak berada di ujung penis, kedua penis bengkok dan ketiga ada kelebihan kulit penis bagian atas.

Meski tergolong sebagai penyakit langka di Indonesia, dengan jumlah kurang dari 15.000 kasus per tahun, hipospadia cukup banyak terjadi di sejumlah negara di dunia. Seperti di Amerika, tercatat satu dari 250 kelahiran bayi laki-laki mengalami kondisi ini.

Lantas, bagaimana jika Anda menjadi orang tua dari seorang anak yang mengalami hipospadia seperti yang terjadi pada Aprilia? Psikolog anak, Ine Indriani mengatakan hal pertama yang pertama yang perlu dilakukan adalah penerimaan.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, hipospadia biasanya dapat terdeteksi sejak seorang anak dilahirkan. Ine mengatakan setiap orang tua yang menghadapi hal ini pada awalnya tentu berada dalam kondisi sulit, marah, hingga mulai mencari penyebab yang melatarbelakangi penyakit terjadi, bahkan tak jarang pada akhirnya menyalahkan diri sendiri.

“Intinya yang bisa dilakukan orang tua yang memiliki anak dengan kondisi ini adalah mencoba tenang, tetap calm down, meski ini tidak mudah,” ujar Ine kepada Republika.

Dari sana, orang tua bisa mulai mencari tahu lebih dalam mengenai hipospadia. Konsultasikan kepada dokter, seperti apakah penyakit ini bisa disembuhkan, hingga jika bisa, apa prosedur yang bisa dilakukan, seperti operasi. Kedua, Ine mengatakan agar mencari support system, baik itu dukungan dari profesional maupun secara informal.

“Support system secara profesional adalah seluruh profesi yang terkait, seperti dokter, dokter anak, atau jika dibutuhkan psikologi bagi orang tua selama menghadapi situasi ini,” jelas Ine.

Secara informal, dukungan dibutuhkan dari seluruh keluarga, maupun kerabat dekat orang tua anak yang mengalami hipospadia. Dengan dukungan-dukungan tersebut, Ine mengatakan tentunya pikiran jernih dan solusi terbaik mungkin bisa didapatkan.

Baca Juga

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebih lanjut, Ine menyebutkan bahwa bukan tidak mungkin akan ada masalah yang dihadapi para orang tua dengan anak yang memiliki hipospadia saat mereka beranjak dewasa. Meski belum banyak yang diketahui tentang penyakit ini, sebagai contoh, anak memiliki masalah hormon yang membuat kejanggalan seperti tampilan fisik atau perasaan.

Dalam kasus hipospadia yang dialami Aprilia, ia pada awalnya dinyatakan sebagai perempuan hanya dari tampilan fisik dan tidak pernah mendapatkan pemeriksaan medis lebih lanjut sejak kecil karena keterbatasan ekonomi. Ine mengatakan jika yang terjadi dalam kasus ini mungkin dapat dialami atau bahkan sebaliknya, maupun penyakit yang dialami adalah kategori berat sehingga tidak dapat disembuhkan secara total.

“Dari literatur yang saya baca secara awam orang yang mengalami hipospadia sejak awal adalah laki-laki. Tapi, jika di kemudian hari terdapat masalah hormon, ada kemungkinan karena salah satu faktor penyebab penyakit ini disebut adalah kelainan hormon saat ibu mengandung,” jelas Ine.

Jika demikian, Ine mengatakan orang tua tentu harus tetap bersikap menerima, memahami, dan mendukung anak sepenuhnya. Jangan membuat anak pada akhirnya merasa tidak didukung, hingga akhirnya menutup diri dari keluarga.

“Orang tua harus mendukung anak dengan hipospadia karena mungkin dia sudah merasa berbeda dan ini bukan sesuatu yang dia inginkan. Jadi perlu ter buka dengan anak, jangan sampai dia akhirnya tidak percaya diri,” kata Ine. 

Ine mengatakan orang tua dengan anak yang memiliki hipospadia perlu mencari tahu lebih lanjut mengenai bagaimana penyakit ini mempengaruhi kondisi secara keseluruhan. Termasuk mengenai  apakah itu dapat mempengaruhi aspek sosial.

Dalam hal ini, orang tua perlu bersikap terbuka dan mendengarkan anak. Sebagai contoh, saat anak masih di usia kanak-kanak bertanya mengenai perbedaan yang dirasakan.

“Orang tua harus komunikasi dengan cara mendengar aktif, misal anak bertanya kenara aku begini, bisa dijawab oh ya kamu lahir dalam kondisi sakit, itu bukan salah kamu,” jelas Ine.

Ine mengatakan dengan bersikap mendengarkan, anak akan merasa bahwa orang tua memahami mereka. Selain itu, metode komunikasi dengan diskusi dapat digunakan, seperti aktif bertanya kepada anak saat mereka membahas tentang perbedaan yang dirasakan.

“Misal mereka ngomong ‘kok aku merasa berbeda?’ Nah orang tua bisa tanya lagi, seperti kamu merasa berbedanya gimana? Terus nyamannya gimana? Hingga dia sudah tidak ada klu, orang tua bisa masuk untuk memberi nasehat, jadi tidak satu arah komunikasinya,” kata Ine.

Satu hal lainnya yang sangat penting menurut Ine adalah meskipun seseorang mengalami hipospadia, jangan sampai itu menjadi satu-satunya isu dalam kehidupannya. Seperti Aprilia, meski terlahir dengan penyakit ini, ia tetap bisa beraktualisasi dan membuka diri dengan mengikuti bakat yang dimilikinya.

“Padahal secara logika, tekanan yang dialaminya mungkin selama ini itu tentu tidak mudah, tapi dia membuktikan untuk berjuang dan saya berasumsi bahwa dia (Aprilia) mendapatkan dukungan yang cukup baik dari keluarganya,” jelas Ine.

 
Berita Terpopuler