Satelit Myanmar Ditahan di Stasiun Luar Angkasa

Satelit itu dikhawatirkan akan dipakai oleh militer untuk memantau para aktivis.

AP/AP
Para pengunjuk rasa memegang spanduk dan isyarat dengan tanda tiga jari perlawanan saat mereka memprotes kudeta militer di Mandalay, Myanmar, Jumat, 12 Maret 2021. Pasukan keamanan Myanmar menembak mati sedikitnya 10 orang yang memprotes kudeta militer menolak PBB Dewan Keamanan mengajukan banding untuk berhenti menggunakan kekuatan mematikan.
Rep: Dwina Agustin Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Satelit pertama Myanmar 'ditahan' di Stasiun Luar Angkasa Internasional setelah kudeta Myanmar. Badan antariksa Jepang dan universitas Jepang sedang mempertimbangkan langkah selanjutnya terhadap satelit tersebut.

"Kami sedang mendiskusikan apa yang harus dilakukan, tetapi kami tidak tahu kapan itu akan diterapkan. Jika dihentikan, kami berharap proyek tersebut dapat dimulai kembali suatu saat nanti," ujar sumber dari dalam kampus Hokkaido University.

Satelit senilai 15 juta dolar AS itu dibangun oleh Hokkaido University dalam proyek bersama dengan Myanmar Aerospace Engineering University  (MAEU) yang didanai Pemerintah Myanmar. Proyek ini adalah yang pertama dari satu set dua mikrosatelit 50 kg yang dilengkapi dengan kamera yang dirancang untuk memantau pertanian dan perikanan.

Aktivis hak asasi manusia dan beberapa pejabat di Jepang khawatir kamera-kamera itu dapat digunakan untuk keperluan militer oleh junta yang merebut kekuasaan di Myanmar pada 1 Februari. Pertimbangan tersebut membuat pilihan menunda pemanfaatannya.

Menurut dua pejabat kampus, keputusan tersebut pun dilakukan setelah Hokkaido University mengadakan diskusi dengan Badan Eksplorasi Dirgantara Jepang (JAXA). "Kami tidak akan terlibat dalam apa pun yang berhubungan dengan militer. Satelit itu tidak dirancang untuk itu," ujar salah satu pejabat yang merupakan manajer proyek tersebut.

Manajer tidak mengatakan kapan satelit dimaksudkan untuk dikerahkan dan kapan keputusan harus diambil oleh JAXA untuk melanjutkan atau menundanya. Pejabat kedua di Hokkaido University mengatakan, kontrak dengan MAEU tidak menyebutkan bahwa satelit tersebut tidak digunakan untuk keperluan militer.

Tapi, data dari pesawat luar angkasa akan dikumpulkan oleh universitas Jepang dan tidak dapat diakses secara independen oleh pejabat Myanmar. Selain itu, sejak kudeta, pejabat universitas tidak dapat menghubungi rektor MAEU, Prof Kyi Thwin.

Baca Juga

Meski pesawat ruang angkasa itu belum dibuat sesuai spesifikasi militer, petugas program Asia untuk Human Rights Watch, Teppei Kasai, mengatakan akan mudah bagi penguasa militer Myanmar untuk menggunakan teknologi tersebut untuk keperluan militer. “Jadi, Universitas Jepang yang terlibat harus menangguhkan proyek tersebut dan segera meninjaunya untuk potensi risiko hak asasi manusia,” kata Kasai.

Satelit tersebut diluncurkan oleh NASA pada 20 Februari sebagai bagian kecil dari muatan yang besar dan beragam untuk memasok ke Stasiun Luar Angkasa Internasional 400 km di atas bumi. Sejak itu, satelit disimpan oleh JAXA di dalam modul eksperimen Kibo Jepang. Astronot JAXA Soichi Noguchi adalah salah satu dari tujuh awak yang sekarang berada di stasiun luar angkasa.

Jepang memiliki hubungan dekat dengan Myanmar dan merupakan salah satu donor bantuan terbesarnya. Meski mengutuk kekerasan, negara ini tidak cukup bereaksi seperti Amerika Serikat dan beberapa negara Barat lainnya yang telah menerapkan sanksi menentang kudeta tersebut.

 
Berita Terpopuler