Kekerasan terhadap Perempuan tak Berkurang Saat Pandemi

Kondisi pandemi Covid-19 membuat perempuan korban kekerasan takut melapor

Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 mencapai 299.911 kasus.
Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyambut hari perempuan internasional pada Senin, 8 Maret 2021, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis laporan catatan tahunan terkait kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

Baca Juga

Dalam catatan tersebut, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 mencapai 299.911 kasus.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan, jumlah laporan kasus ini memang turun sebesar 31 persen dari tahun sebelumnya.

“Namun tindakan kekerasan terhadap perempuan tidak berkurang,” ujar Andy dalam siaran pers, Senin (8/3).

Angka ini turun sebab kondisi pandemi membuat perempuan korban kekerasan tetap berada dalam jangkauan pelaku sehingga korban kesulitan dan takut untuk melapor. “Korban lebih memilih diam, atau mengadu pada keluarga,” kata Andy.

Selain itu, angka kasus kekerasan berbasis gender siber (KBGS) dilaporkan Komnas Perempuan juga meningkat setelah pandemi Covid-19. Angka ini melonjak tajam hingga mencapai 940 kasus dari 241 kasus di tahun 2019. Kasus kekerasan yang menimpa jurnalis juga patut menjadi sorotan.

Hasil survei Aliansi Jjurnalis Independen (AJI) Jakarta pada Agustus 2020 menemukan, sebanyak 25 dari 34 responden jurnalis yang berpartisipasi dalam survei, mengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Pelaku kekerasan seksual terhadap jurnalis ialah pejabat publik, narasumber non pejabat publik, atasan jurnalis perempuan, teman jurnalis sekantor, jurnalis di kantor media lain, aparat keamanan, hingga dosen.

Perempuan pekerja rumah tangga

Di hari perempuan sedunia ini, organisasi perempuan kembali menyoroti perlindungan yang lemah terhadap para pekerja perempuan di sektor rumah tangga. Saat ini terdapat lebih dari 4 juta perempuan di Indonesia bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT), mengutip data organisasi advokasi perempuan Jala PRT.

Menurut Jala PRT, mereka bekerja di situasi tidak layak, eksploitatif, dan rawan perbudakan modern. Pemerintah dan legislator Indonesia diharapkan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undangan (RUU) tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).

RUU tersebut sudah mangkrak selama 17 tahun karena dianggap tidak berkontribusi untuk menyelamatkan krisis ekonomi.

Jam kerja yang tidak pasti, upah yang tidak manusiawi, kekerasan dari majikan baik secara verbal maupun seksual, menurut Elya kerap dialami oleh pekerja rumah tangga.

“Sebanyak 4,2 juta PRT adalah perempuan penopang ekonomi keluarga,” ujar aktivis Jala PRT, Elyarumiyati.

Mekanisme pemulihan dan pengadilan telah gagal

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati, mengatakan bahwa mekanisme pemulihan termasuk peradilan gagal menyelesaikan kekerasan sistematis yang menimpa perempuan.

Sebaliknya, menurut Asfina, negara justru melakukan kekerasan sistematis baik melalui berbagai kebijakan yang diskriminatif.

“Seperti tindakan perampasan ruang hidup perempuan maupun stigma melalui pernyataan pejabat publik,” ujar Asfina dalam konfrensi pers virtual Hari Perempuan Internasional 2021, Senin.

Negara, menurut Asfinawati, telah menjadi pelaku kekerasan sistematis di dua level, yakni membiarkan dan melakukan.

“Tidak bisa dielakkan, negara Indonesia masih abai melindungi perempuan dan bersamaan melakukan diskriminasi,” ujar Asfinawati.

Tak hanya itu, Asfinawati juga mengatakan, absennya negara dalam melindungi segenap warganya di masa pandemi semakin terlihat pada kelompok minoritas gender dan seksual.

Diskriminasi tetap subur, kelompok transpuan kehilangan mata pencaharian.

Alih-alih serius menangani pandemi, kelompok transpuan diperlakukan dengan tidak manusiawi.

“Baik oleh aparat kepolisian dan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab,” jelas Asfinawati.

Perlindungan di lembaga pendidikan

Berdasarkan sejumlah data, sekolah dan perguruan tinggi tidak bebas dari kasus kekerasan terhadap perempuan. Institusi pendidikan di Indonesia dipercaya sebagai tempat yang kurang bersahabat bagi perempuan.

Seperti mengamini keadaan itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia mengatakan telah melakukan sejumlah kebijakan untuk melindungi siswa dan perempuan di institusi pendidikan.

"Kami telah berupaya mendorong terciptanya lingkungan belajar yang aman bagi peserta didik perempuan," kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makariem, saat berbicara dalam seminar daring, pada Senin.

Nadiem mengatakan, bentuk perlindungan tersebut dilakukan melalui peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (Permendikbud) nomor 82 tahun 2015 tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan tingkat PAUD, SD, dan sekolah menengah.

Dalam peraturan tersebut, tiga hal digolongkan sebagai 'dosa besar' ialah tindakan intoleransi, melakukan kekerasan seksual, dan melakukan bullying.

Dosa besar itu berlaku di jenjang pendidikan PAUD, SD, dan menengah.

Selain itu Nadiem sedang mendiskusikan rancangan Permendikbud tentang penanggulangan kekerasan seksual di perguruan tinggi, mekanisme terbaik untuk menerima, dan menindak lanjuti.

"Kami mendorong mekanisme terbaik agar sekolah dan perguruan tinggi membentuk satuan kerja pencegahan kekerasan," kata Nadiem.

Menurut Nadiem yang juga mantan chief executive officer Gojek, perlindungan perempuan dari kekerasan di lembaga pendidikan hanya satu upaya kecil di tengah upaya menciptakan lingkungan yang mendukung bagi perempuan.

"Lingkungan kondusif yang mendukung perempuan, mulai dari rumah, sekolah dan perguruan tinggi sampai tempat kerja akan mendorong kemunculan lebih banyak perempuan pemimpin di masa depan dengan kecerdasan dan karakter yang unggul," terang Nadiem.

 

 
Berita Terpopuler