Laksamana Mas Pardi, Pendiri TNI Angkatan Laut

TNI AL ingin mengusulkan Laksamana Mas Pardi sebagai pahlawan nasional.

Dok Disjarahal
Kepala Dinas Sejarah Angkatan Laut (Kadisjarahal) Laksamana Pertama TNI Supardi (kanan).
Red: Erik Purnama Putra

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Kapal penumpang SS Fomalhaut milik pemerintah kolonial Belanda menyusuri wilayah timur Indonesia. Berlabuh dari Boven Digoel (Papua) menuju Banda Neira (Maluku). Membawa tahanan politik. Di antaranya, Soetan Sjahrir dan Mohammad Hatta. Tokoh pejuang Indonesia itu menjalani hukuman pengasingan.

Ketika berlabuh di Banda Neira, seorang kontrolir (petugas pengawas pemerintah Kolonial) asal Belanda, melarang ABK (anak buah kapal) untuk mengangkut barang-barang milik Sjahrir dan Hatta. Mualim I kapal, Mas Pardi berang. Ia tidak terima, pejuang Indonesia diperlakukan seperti itu.

"Biarlah saya yang perintahkan matros (kelasi) untuk mengangkat barang-barang itu," ucap Mas Pardi, seperti dikutip dalam buku Sjahrir: Wajah Seorang Diplomat (1990) karya Solichin Salam.

Siapakah sebenarnya Mualaim I yang berada di kapal milik Belanda? Des Alwi dalam bukunya Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon (2005), menyebutkan, Mas Pardi Sang Mualim I kapal tersebut, sesungguhnya pengalamannya lebih senior daripada nakhoda kapal.

Namun, Mas Pardi tidak memiliki kesempatan menjadi nahkoda kapal-kapal milik pemerintah Kolonial Belanda. Apa sebab? Karena dia dianggap seorang inlander (pribumi).

Begitulah bentuk diskriminasi pemerintah kolonial Belanda terhadap warga pribumi Indonesia. Tentu saja batin Pardi berontak, Tidak terima pejuang kemerdekaan Indonesia diperlakukan seperti itu di daerah pengasingan.

Itulah salah satu peristiwa pada Februari 1936 dalam catatan penulis sejarah Patrik Matanasi.  Menurut Harian De Indische Courant edisi 18 Mei 1936, saat itu Mas Pardi merupakan Mualim I di bawah pimpinan nahkoda yang bernama C de Neef. Sementara Mualim II adalah J.P.J. de Groot.

Mas Pardi (1 Oktober 1901-meninggal 13 Agustus 1968) merupakan satu-satunya pelaut pribumi yang memperoleh kesempatan menapak jenjang kepegawaian bidang maritim lebih tinggi. Pada 1937, ia mengikuti pendidikan hidrografi. Menjelang keruntuhan Hindia Belanda, pada 1939 ia ditempatkan di kantor pusat  Dienst van Scheepvaart (Dinas Pelayaran) di bawah Departement van Marine.

Ia dilahirkan di Ambarawa, 1 Oktober 1901. Menamatkan pendidikan formalnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), setingkat sekolah dasar (SD) pada 1916. Menyelesaikan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setingkat (SMP) pada 1920.

Lulus dari MULO, ia mengikuti pendidikan pelayaran di Zeevaartschool pada 1922. Setelah lulus pada tahun 1923, Mas Pardi ditugaskan di Gouvernement Marine (Angkatan Laut Hindia Belanda). Menjabat Officer 1-Classdi kapal survey SS Orion. Setara dengan pangkat letnan militer.
 
Mas Pardi kemudian mengikuti pelatihan atau kursus Mualim II pada 1925, Lanjut pendidikan Mualim I tahun 1929. Dari situ, ia berdinas di kapal penumpang SS Fomalhaut tahun 1936.

Perang Dunia Kedua
Pada 1939 menjadi tahun penuh ketegangan bagi pemerintah Kerajaan Belanda. Termasuk wilayah koloni-koloninya. Nazi Jerman mulai menginvasi sekaligus mengokupasi negeri-negeri sekitarnya. Misalnya Cekoslovakia, Austria dan Polandia. Akibatnya, memicu Perang Dunia Kedua.

Pada 1940 Belanda diduduki Nazi Jerman. Sehingga Belanda membentuk pemerintahan dalam pengasingan di Inggris. Kapal-kapal pelayaran Belanda dimobilisasi serta dimasukkan ke dalam struktur komando kapal di Hindia Belanda. Situasi Hindia Belanda ikut panas ketika Kekaisaran Jepang ikut terlibat dalam Perang Dunia Kedua.

Jepang melakukan  serangan udara ke Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat terbesar di Pasifik. Pangkalan Pearl Harbor, Hawaii dibombardir pada 7 Desember 1941. Jepang juga menggerakkan balatentaranya ke daerah Selatan atau Nanjo.

Hindia Belanda yang kaya sumber daya alam menjadi target utama invasi Jepang. Pasukan gabungan Sekutu yang terdiri atas Amerika, Inggris, Australia dan Belanda tidak mampu menahan laju militer Jepang. Hindia Belanda akhirnya menyatakan takluk kepada Jepang pada 8 Maret 1942 di Kalijati, Jawa Barat. Jawa kemudian menjadi wilayah pertahanan Angkatan Darat ke-16 Jepang.

Setelah menguasai Hindia Belanda, pemerintah pendudukan Jepang membutuhkan tenaga-tenaga profesional. Tentu saja untuk membantunya menggerakkan kembali roda pemerintahan dan perekonomian. Sehingga menjadi kekuatan pendukung peperangan.

Untuk itulah, Jepang kembali memanggil para mantan pegawai pemerintahan Hindia Belanda, termasuk Mas Pardi. Karena pengetahuan dan pengalamannya, ia ditempatkan di kantor Jawa Unko Kaisya (Perusahaan Pelayaran Jepang di Jawa) Jakarta di bagian penerangan.

Kemudian untuk memenuhi kebutuhan tenaga pelaut pribumi, pada 1943 Jepang membuka Sekolah Pelayaran Tinggi (KootoZeh InyuYoseiso) di Jakarta, Semarang, Cilacap, Tegal, Pasuruan dan Makassar. Selain SPT, Jepang juga membuka Sekolah Pelayaran Rendah (Soto Seinen Yoseiso) di Jakarta, Semarang, Cilacap, Tegal, Pasuruan, Probolinggo, Padang, Tanjung Balai, Makassar dan Banjarmasin.

Di bidang materil, Jepang membuka Sekolah Bangunan Kapal (Zosen Gakko). Sementara Sekolah Latihan Pelayaran bagi anggota Kaigun Heiho adalah Sen Zu Kurensho di Makassar dan Shonanto di Singapura.

Secara organik SPT dan SPR berada di bawah Gunseikanbu Kaiji Sokyoku (Jawatan Pelayaran Pemerintah). Di sini, Mas Pardi yang berpengalaman di bidang kebaharian turut membantu dalam menyusun organisasi sekolah, kurikulum dan sarana praktek siswa sangat berperan.

Itulah sebabnya di kalangan pegawai, pelaut dan siswa sekolah pelayaran, kharisma Mas Pardi sangat menonjol serta disegani.

Pendiri TNI AL
Kepala Dinas Sejarah Angkatan Laut (Kadisjarahal) Laksamana Pertama TNI Supardi mengungkapkan, Laksamana Muda Mas Pardi merupakan pendiri Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL). Ia merupakan orang pertama yang menjadi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL).

Bahkan sebagai pengembang ilmu pelayaran nasional. Turut serta menjadi delegasi Republik Indonesia pada Sidang Hukum Laut Internasional di Jenewa tahun 1958. "Namun demikian perjuangannya dalam membesarkan bidang maritim di Tanah Air  tidak banyak dikenal masyarakat Indonesia," kata Supardi, lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL) 1990 atau angkatan ke 36 AAL.

Karena itulah, lanjut Supardi, Disjarahal mengangkat ketokohan maritim sang laksamana. Melalui dialog sejarah yang bertema 'Merunut Perjuangan Laksamana Mas Pardi untuk Ibu Pertiwi'. Kegiatan itu diselenggarakan di geladak Kapal Republik Indonesia (KRI) Dewaruci yang bersandar di Pelabuhan Tanjung Mas, Kamis (4/3/2021).

Supardi mengakui, kegiatan tersebut merupakan langkah awal untuk mengangkat nama dan perjuangan Laksamana Mas Pardi. Tentu saja agar bisa memberikan inspirasi bagi pembangunan nasional berbasis maritim. Sekaligus mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.

Dialog kesejarahan tersebut menampilkan tiga narasumber, yaitu Letkol Laut (Khusus) Heri Sutrisno dari Disjarahal, Capt. Hadi Supriyono, dosen senior Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang, dan  Dhanang Respati Puguh, Ketua Departemen Sejarah Universitas Diponegoro (Undip). Dialog dipandu Letkol Laut (Elektro) Elias Baratiku. Ini merupakan bagian dari kegiatan pelayaran Jakarta-Surabaya yang bertajuk Siar KRI Dewaruci.

Letkol Heri Sutrisno menyoroti perjuangan Laksamana Mas Pardi dalam membentuk dan mengembangkan TNI AL pada masa perang kemerdekaan. Menurutnya, profesi maritim Mas Pardi dimulai pada zaman penjajahan Belanda dengan memasuki sekolah pelayaran.

Dari situlah Mas Pardi  sebagai perwira di Gouvernement Marine (GM). Semacam coast guard di masa Hindia Belanda. Ilmu pelayarannya ditularkan pada masa pendudukan Jepang dengan menjadi guru Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT).

Setelah Indonesia merdeka, lanjut Heri, Mas Pardi bersama para bahariawan Jakarta membentuk Badan Keamanan Rakyat Laut atau BKR Laut. Badan ini bertransformasi menjadi TKR Laut Mas Pardi  diangkat sebagai Pemimpin Umum TKR Laut. Semacam jabatan KSAL pada saat ini dengan pangkat Laksamana III atau Laksamana Muda untuk ukuran saat ini.

"Di tengah situasi yang sulit selama kemerdekaan Laksamana Mas Pardi meletakkan pondasi kekuatan TNI Angkatan Laut. Mengembangkan pangkalan, armada, pendidikan Angkatan Laut dan menggelar berbagai operasi laut ALRI selama perang kemerdekaan," kata Heri.

Dia merupakan alumnus jurusan sejarah Undip dan pendidikan sekolah perwira prajurit karier (Sepa PK) pada 1993. Pada 1 April 2021, Heri akan berpangkat Kolonel sesuai dengan jabatannya sebagai salah satu kepala sub Disjarahal.   

Capten Hadi Supriyono mengungkapkan peran Mas Pardi di Jawatan Pelayaran atau Ditjen Perhubungan Laut saat ini. Setelah perang kemerdekaan, perhatian sang laksamana tercurah pada pengembangan ilmu pelayaran.

Seperti halnya di AL masa sebelumnya, lanjut Hadi, sejak 1952 perhatian Mas Pardi pada pendidikan pelayaran diimplementasikan pada pendirian Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) di Jakarta. Juga Sekolah Pelayaran Semarang (SPS) yang saat ini dikenal sebagai Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang.

Dosen senior alumni sekolah pelayaran Del Helder ini menyatakan, Mas Pardi berupaya agar para pelaut Indonesia menjadi tuan di negara sendiri. Oleh karena itu pendidikan perwira pelaut harus terus dikembangkan agar bangsa Indonesia tidak lagi sebatas sebagai awak atau pegawai rendahan (jongos) di kapal.

Kapasitas keilmuan maritimnya tercermin dari buku-buku yang ditulisnya dan menjadi referensi utama di sekolah-sekolah pelayaran. Seperti buku Kuasailah Lautan Indonesia (1951), Pesawat Navigasi untuk Sekolah Pelayaran (1954), Almanak Nautika (1965), dan Ilmu Pelayaran Datar (1967).

Sedangkan Dhanang Respati menyatakan, penggalan-penggalan narasi tentang Laksamana Mas Pardi sudah menyuratkan dengan  jelas, tokoh ini bukan orang sembarangan. Namun demikian alumni doktor sejarah lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini mengingatkan, harus menyusun narasi yang lengkap dan komprehensif  dalam sebuah buku biografi.

Buku tersebut berisi latar belakang sosial budaya tokoh ini, perjuangan  dan perannya di berbagai bidang kemaritiman di tanah air. Termasuk bobot perannya dalam mengembangkan kemaritiman Indonesia.

Latar belakang sosial budaya untuk menjawab pencapaian prestasi Laksamana Mas Pardi. Berbagai tempat yang menjadi medan baktinya merupakan sumber inspirasi. Sedangkan bobot perjuangannya untuk menentukan kadar perjuangan dan kepahlawanan seorang Mas Pardi.

"Tentunya karya ini membutuhkan riset sejarah yang mendalam dan pada waktunya digunakan sebagai bagian dari pengusulan Laksamana Mas Pardi sebagai pahlawan nasional," ungkap Dhanang Respati.

Kegiatan dialog ini dihadiri oleh kalangan generasi muda dari mahasiswa dan Pramuka Saka Bahari. KRI Dewaruci berada di Semarang hingga 7 Maret 2021. Kemudian melanjutkan pelayarannya ke Tuban dan Surabaya. Sebelumnya kapal layar tiang tinggi TNI AL ini telah melaksanakan berbagai kegiatan kemaritiman di Cirebon.

 
Berita Terpopuler