Tantangan Ormas Islam dalam Menancapkan Nilai Kebangsaan

Perjalanan bangsa Indonesia tak lepas dari kontribusi dan peran ormas Islam.

Antara/Asep Fathulrahman
Ratusan orang dari sejumlah Ormas
Rep: Imas Damayanti Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pembangunan moderasi beragama di Indonesia menjadi upaya strategis pemerintah dalam membangun kerukunan antar-umat beragama. Untuk menuju ke sana, peran organisasi masyarakat (ormas) Islam pun tidak boleh dilupakan sebagai elemen sentral dalam menancapkan nilai-nilai kebangsaan.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Chriswanto Santoso mengatakan, perjalanan bangsa Indonesia tak lepas dari kontribusi dan peran ormas Islam. Untuk itu, kerja sama antara pemerintah dengan ormas Islam menjadi hal yang perlu disuarakan lebih dalam.

“Untuk menjawab tantangan-tantangan kebangsaan, kerja sama ormas Islam dengan beragam elemen diperlukan guna memperkokoh nilai-nilai kebangsaan dan persatuan,” kata Chriswanto dalam Webinar Kebangsaan yang diadakan DPP LDII, Sabtu (20/12).

Pejabat dari Direktorat Kemendagri Sri Hayati mengatakan, dengan potensi keragaman bangsa, budaya, serta agama yang ada di Indonesia, penguatan nilai-nilai kebangsaan dapat didorong dan diupayakan. Dia melihat, peran ormas Islam mulai dari prakemerdekaan hingga saat ini menunjukkan kontribusi yang cukup signifikan.

“Hal ini menunjukkan bahwa ormas Islam berkontribusi dan berpengaruh besar dalam perjalanan bangsa,” kata dia.

Namun demikian dia mengingatkan, saat ini Indonesia didahadapkan pada tiga tantangan besar yakni korupsi, terorisme, dan penyalahgunaan narkoba yang harus dihadapi. Belum lagi, dia menambahkan, tantangan yang dihadirkan akibat pandemi virus corona jenis baru 2019 (Covid-19).

Tantangan itu yakni adanya dampak pada sektor kesehatan, ekonomi, hingga beragama (dengan adanya pembatasan aktivitas ibadah).  Dia pun melihat selama pandemi Covid-19 yang hampir berjalan setahun kurang, ormas-ormas Islam terus memperkokoh umat lewat program pemberdayaan masyarakat yang bersifat berkelanjutan.

“Ormas Islam juga memberi masukan kepada pemerintah, baik itu di level desa maupun pusat,” kata dia.

Tak hanya itu, di era keterbukaan informasi yang rawan akan hadirnya beragam hoaks, dia pun melihat peran ormas Islam yang melakukan pemberdayaan masyarakat dalam menangkal hoaks. Dia pun berharap ormas Islam mampu menjadi katalisator permasalahan-permasalahan bangsa yang tengah dihadapi.


Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kemenag Kamarudin Amin menilai, peran ormas Islam memang sangat dibutuhkan oleh pemerintah, namun apabila terdapat ormas Islam yang aktivitasnya bertentangan dengan seluruh kebijakan pemerintah, maka tentunya itu akan merepotkan negara.

“Tapi kalau ada kolaborasi, seperti peran LDII dan juga ormas-ormas Islam lainnya semisal Muhammadiyah dan NU, kita optimistis moderasi beragama dapat terwujud dengan baik,” kata dia.

Dia menjabarkan bahwa kontribusi agama sangat fundamental dalam perjalanan bangsa Indonesia. Beberapa produk-produk kenegaraan seperti Undang Undang (UU) pernikahan, zakat, pengadilan agama, hingga ormas merupakan produk-produk kenegaraan yang terinspirasi dari nilai-nilai agama.

“Ini yang harus kita syukuri sekaligus harus kita pelihara. Kita jaga,” kata dia.

Pihaknya pun menegaskan bahwa untuk membangun moderasi beragama, pemerintah tidak bisa berjalan sendirian. Oleh karena itu, kata dia, Kemenag bekerja sama dengan sejumlah ormas Islam dalam rangka membangun kerukunan umat beragama.

“Kami berharap juga LDII sbg salah satu ormas Islam besar di negeri ini diharapkan dapat berkontibusi mengawal moderasi beragama di Indonesia,” kata dia.

Ketua Umum Patriot Bangsa Affan Rangkuti menilai, mayoritas ormas Islam memiliki lembaga pendidikan yang banyak berkontribusi terhadap penyebaran nilai-nilai moderasi. Namun demikian, dia pun menekankan agar peran ormas-ormas Islam juga harus mengarahkan umat agar tidak mengesankan adanya kebangkitan Islam, melainkan kebangkitan yang dilandasi dengan semangat nasionalisme.

Dia mengutip hasil penelitian Al-Farah, bahwa hampir 23 persen mahasiswa setuju mendukung ideologi Khilafah. Sedangkan sebanyak 19,4 persen pegawai negeri sipil (PNS) telah anti terhadap Pancasila. “Nah, inilah yang menjadi persoalan kita bersama. Jangan sampai kita hanya mengedepankan kelompok-kelompok ‘Islam’, tapi libatkanlah juga kelompok-kelompok nasional,” kata dia.

 
Berita Terpopuler