Suara Penolakan dari Sumbar Vs Ancaman Sanksi SKB 3 Menteri

SKB 3 Menteri soal seragam sekolah dinilai tidak sesuai dengan kearifan lokal Sumbar.

ANTARA/Iggoy el Fitra
Sejumlah pelajar mencuci tangannya sebelum masuk ke sekolah dengan pengawasan dari petugas kepolisian dan Satpol-PP di SMPN 1 Kota Padangpanjang, Sumatera Barat. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrian Fachri, Inas Widyanuratikah, Ali Yusuf

Tidak semua daerah sepertinya yang setuju atas pemberlakuan SKB 3 Menteri terkait aturan seragam sekolah. Suara-suara penolakan terus digaungkan, khususnya dari daerah dengan penduduk mayoritas Muslim dan menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman, seperti Sumatra Barat.

Salah satu kepala daerah yang tegas menolak SKB 3 Menteri adalah Wali Kota Pariaman Genius Umar. Genius menyebut, tugas sekolah adalah membentuk karakter dari peserta didik sesuai dengan ajaran agama masing-masing.

Untuk itu, Pemkot Pariaman, menurut Genius, tidak dapat menjalankan aturan sesuai dengan SKB 3 Menteri tersebut. Terlebih, selama ini, di Pariaman tidak ada peserta didik yang protes terhadap aturan berpakaian di sekolah.

Di Pariaman, masyarakatnya bersifat homogen dan mayoritas Muslim. Genius bahkan tidak takut bila sikapnya menolak SKB ini nantinya dapat berujung sanksi bagi Pariaman.

Baca Juga

"Tidak akan menerapkan aturan tersebut di Kota Pariaman. Walaupun saya akan mendapatkan sanksi berupa teguran atau sanksi yang lainnya, saya tidak akan melakukan hal tersebut," kata Genius.

Baca juga : SKB 3 Menteri, Kemendikbud: Belum Ada Perubahan

Mantan wali kota Padang periode 2004-2014 Fauzi Bahar bahkan menyerukan kepala daerah lain agar berani menolak SKB 3 Menteri. Menurut Fauzi, SKB tersebut menghilangkan keberagaman kearifan lokal yang ada di Indonesia.

"Saya ingin bupati, wali kota berani menolak SKB ini dengan segala risiko. Karena ini tidak sesuai dengan keberagaman yang ada di Indonesia," kata Fauzi di Padang, Selasa (16/2).

Menurutnya, penolakan terhadap SKB 3 Menteri bertujuan untuk mendidik akhlak dan berpakaian sesuai dengan agama dan budaya lokal masing-masing.

"Jangan sampai kita diukur dengan ancaman bantuan dana BOS yang disebutkan Mendikbud itu," ujar Fauzi.

Fauzi menjelaskan, budaya di Indonsia yang identik dengan agama tertentu harus dihidupkan karena sudah dijamin undang-undang. Khusus di Sumatra Barat, menurut Fauzi, sudah menjadi tradisi dalam adat dan budaya kaum perempuan memakai baju kurung dan memakai penutup kepala.

Saat masih menjabat sebagai Wali Kota Padang pada 2005, Fauzi menjadi kepala daerah pertama di Sumbar yang mengeluarkan Perda agar peserta didik terutama yang Muslimah di sekolah memakai baju kurung, rok panjang, dan memakai jilbab. Hal itu kemudian diikuti oleh kabupaten dan kota lain di Sumbar. Bahkan, sampai ditiru oleh provinsi lain.

Baca juga : Tolak SKB 3 Menteri, Wali Kota Pariaman Ditegur Kemendagri

Hal lain yang membuat Fauzi keberatan dengan SKB 3 Menteri adalah adanya sanksi dari Mendikbud terhadap daerah bahkan institusi pendidikan yang keberatan menjalankan SKB tersebut. Menurut Fauzi, SKB 3 Menteri kini membuka ruang peserta didik berpakaian bebas yang tidak sesuai dengan lokal dan ajaran agama.

"Mana ada pemda, guru, dan orang tua yang ingin anaknya celaka. Memakai jilbab itu kan baik untuk melindungi anak-anak kami," kata Fauzi

Ketua Umum Laskar Merah Putih Indonesia (LMPI) Mayjen (Purn) Syamsu Djalal mengatakan, SKB 3 Menteri terkait aturan seragam di sekolah telah menimbulkan keresahan. Menurut Syamsu, tata berpakaian di sekolah tidak lagi ada masalah sebelum SKB ini dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri.

"Saya melihat SKB 3 Menteri ini bikin ricuh. Apa enggak ada kerja lagi menteri itu. padahal enggak keluar SKB ini enggak ada masalah. Ini sampai keluarkan sanksi," kata Syamsu di Kantor Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatra Barat di Kota Padang, Selasa (16/2).

Khususnya di Sumatra Barat, menurut mantan komandan Puspomad itu, selama ini, sudah terkenal sebagai masyarakat yang identik dengan agama Islam. Di Sumbar, tradisi Minangkabau dan ajaran Islam mengajarkan anak-anaknya memakai pakaian menutup aurat demi keselamatan hidup di dunia dan akhirat.

Harusnya, menurut Syamsu, para menteri yang merumuskan SKB ini terlebih dahulu melakukan musyawarah. Karena, Indonesia merupakan negara yang syarat dengan keberagaman di mana setiap daerah punya kearifan lokal yang dilindungi Undang Undang.

"Mari kita kembali lagi kepada demokrasi Pancasila. Bhinneka Tunggal Ika," ujar Syamsu.

Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatra Barat, Sayuti Datuak Rajo Panghulu, mengatakan, pihaknya baru saja bertemu dengan tokoh masyarakat dan tokoh organisasi masyarakat yang ada di Sumbar. Mereka membicarakan mengenai kerisauan masyarakat Sumbar atas SKB 3 Menteri terkait aturan seragam di sekolah.

Baca juga : SKB 3 Menteri: Menutup Aurat Bukan Pilihan Tapi Kewajiban

Sayuti mengatakan, setelah bertemu di Kantor LKAAM hari ini, Selasa (16/2), mereka akan menyurati Presiden Joko Widodo dan Mahkamah Agung. Surat yang untuk presiden berisi aspirasi masyarakat bahwa SKB 3 Menteri ini meresahkan warga Sumbar dan Indonesia.

"Kita akan buat surat ke Presiden dan kepada MA. kepada MA, kita minta agar meninjau kembali SKB 3 Menteri ini," kata Sayuti.

Sayuti menyebut, setelah pertemuan ini, sikap yang akan mereka tunjukkan sebagai respons dari SKB 3 Menteri ini sudah merepresentasikan Sumbar. Karena menurut dia masyarakat Minangkabau keberatan dengan SKB 3 Menteri ini. Karena tidak sesuai dengan kearifan lokal di Sumbar.

Ia menjelaskan, kearifan lokal Minangkabau mengajarkan perempuan memakai sarung dan kerudung dan laki-laki memakai tudung dan sarung. Karena itulah, masyarakat Sumbar merasa tidak cocok dengan SKB 3 Menteri yang terkesan menghalangi pelestarian kearifan lokal.

"Mohon dipahami kearifan lokal kami, bahwa kami orang tua ingin mengajarkan anak-anak memakai pakaian yang menutup aurat," ujar Sayuti.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menegaskan, jika ada pemerintah daerah yang tidak menaati SKB 3 Menteri maka akan diberi sanksi. Sanksi yang berlaku akan berjalan sesuai dengan mekanisme.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Hendarman mengatakan, jika sampai 30 hari semenjak SKB diluncurkan pemerintah daerah tidak menaati maka akan ada sanksi.

"Kalau bupati/wali kota menolak ya gubernurnya yang mengambil tindakan dan sanksi," kata Hendarman, dihubungi Republika, Selasa (16/2).

Hendarman menjelaskan, salah satu klausul yang menyebutkan jika terjadi pelanggaran maka pemerintah daerah memberikan sanksi kepada kepala sekolah, pendidik, atau tenaga kependidikan. Sementara itu, di level yang lebih tinggi, gubernur memberikan sanksi kepada bupati/wali kota.

Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri akan memberikan sanksi jika ada pemerintah provinsi yang melanggar. Terakhir, Kemendikbud bisa memberikan sanksi kepada sekolah terkait Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan bantuan pemerintah lainnya.

Kementerian Agama bertugas untuk melakukan pendampingan kepada sekolah dan pemerintah daerah. Praktik agama yang didorong adalah moderasi beragama. Kemenag juga dapat memberikan pertimbangan untuk pemberian dan penghentian sanksi.

SKB 3 Menteri sendiri berisi tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah. Di dalam SKB ini, para murid serta orang tua dan guru tenaga kependidikan adalah pihak yang berhak memilih penggunaan seragam.

Baik itu seragam dan atribut tanpa kekhususan agama atau dengan kekhususan agama. Pihak selain individu tersebut tidak diperkenankan membuat peraturan yang memaksa penggunaan atau pelarangan terhadap atribut keagamaan.

Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Dirjen Pendis) Ali Ramdani mengatakan, sebaiknya Surat Keputusan Bersama 3 menteri tentang seragam dijalankan. Jika ada masalah tinggalan nanti Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam Negeri mengevaluasinya.

"Ini kan fasenya baru fase bisa dirumuskan. Jadi coba dulu saja dilaksanakan baru dievaluasi. Kebijakan publik itu kan secara prinsif kemudian kita evaluasi," kata Ali saat dihubungi, Selasa (16/2).

Ali mengaku secara formal Kemenag belum menerima keluhan dari daerah-daerah terkait telah diterbitkannya SKB 3 Menteri tentang seragam itu.

"Belum (menerima keluhan lisan dan maupun tulisan). Kemenag kan madrasah kalau menggunakan busana memang busana muslim karena kami homogen tidak ada problem," katanya.

Ali mengaku enggan mengomentari permintaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meminta SKB 3 Menteri itu direvisi. Yang pasti, Kemenag sampai saat ini belum berencana merevisi apalagi mencabut SKB.

"Tidak kapasitas saya untuk mengomentari ya," katanya.

 

Jilbab di seragam polisi Selandia Baru - (Republika)

 
Berita Terpopuler