Penjelasan Hadits Soal Tahan Kentut Buat Sholat tidak Sah

Prof Quraish Shihab menjelaskan dalam bukunya tentang pandangan sejumlah ulama.

Republika/Mardiah
Penjelasan Hadits Soal Tahan Kentut Buat Sholat tidak Sah
Rep: Meiliza Laveda Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jika telanjur buang angin atau kentut ketika sholat, sholat tersebut otomatis batal. Namun, bagaimana jika seseorang menahan kentut, apakah sholat hukumnya menjadi tidak sah?

Baca Juga

Ada hadits riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya melalui istri Nabi, Aisyah r.a. Dia mendengar Rasulullah bersabda, “Tidak ada sholat dengan hadirnya makanan dan tidak ada sholat pula bagi orang yang didorong oleh kedua yang buruk (air kecil dan air besar).”

Prof Quraish Shihab menjelaskan dalam bukunya berjudul 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, para ulama memasukkan buang angin atau kentut di dalam larangan ini. Pengarang kitab Subul as-Salam menyatakan jika yang bersangkutan tidak didorong oleh hal-hal itu dan hanya merasakan adanya “panggilan” untuk membuangnya, maka ini tidak termasuk dalam larangan di atas.

Bahkan seandainya dorongan itu ada, ini hanya dipahami sebagai larangan makruh bukan yang membatalkan sholat. Sementara itu, terkait dengan sholat dan tersedianya makanan, hadits tersebut dipahami dalam arti larangan iqamah (mengajak untuk segera melaksanakan sholat) saat makanan sudah dihidangkan.

 

Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, “Jika makan malam telah dihidangkan, maka dahulukanlah bersantap malam sebelum sholat maghrib.”

Namun, dalam riwayat lain, yang menyebut dahulukan sholat secara mutlak. Ibnu Hazm berpendapat semua sholat harus ditunda apabila makanan telah tersedia dan tidak sah mengerjakan sholat dalam situasi tersebut.

Ada pula yang membatasi sholat dalam hal ini sebagai sholat maghrib saja atau saat sedang berpuasa. Imam Syafi’i memahami larangan ini hanya bagi orang yang sedang lapar saat itu.

 

Sedangkan Imam al-Ghazali memahaminya dalam konteks kekhawatiran rusaknya makanan yang tersedia itu. Yang jelas, mayoritas ulama berpendapat larangan tersebut hanya mengandung arti makruhnya sholat bukan tidak sahnya sholat. Kemakruhan ini berkaitan dengan terganggunya konsentrasi yang akan mengakibatkan berkurangnya kekhusyukan. 

 
Berita Terpopuler