'Pandemi Bukan Alasan Pemerintah Tunda Revisi UU Pemilu'

Pemerintah dan DPR diminta berkaca dari Pemilu 2019 yang menimbulkan korban jiwa.

Kamis , 04 Feb 2021, 16:48 WIB
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menyampaikan pemaran tentang persepsi publik terhadap negara-negara paling berpengaruh di Asia saat Rilis Temuan Survei Nasional di Jakarta, Ahad (12/1).
Foto: Republika/Prayogi
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menyampaikan pemaran tentang persepsi publik terhadap negara-negara paling berpengaruh di Asia saat Rilis Temuan Survei Nasional di Jakarta, Ahad (12/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan menilai bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebaiknya direvisi. Jika tidak, pada 2024 akan terjadi penumpukan pemilihan yang berpotensi menimbulkan korban dari penyelenggara pemilu.

Pandemi dinilainya tak dapat menjadi alasan untuk tidak merevisi undang-undang tersebut. Sebab, Pilkada 2020 juga tetap digelar di saat Indonesia menghadapi pandemi Covid-19.

"Pemerintah dan DPR tidak bisa menggunakan alasan ini (pandemi Covid-19), dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 pemerintah dan DPR menyatakan bahwa pilkada tidak mengganggu fokus penanganan pandemi," ujar Djayadi dalam diskusi yang digelar Fraksi Partai Nasdem DPR, Kamis (4/2).

Bahkan, pemerintah dan partai yang mendukung pelaksanaan Pilkada 2020 menyebut bahwa ajang tersebut dapat menjadi sarana untuk meningkatkan aktifitas ekonomi. Djayadi menyebut, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian bahkan tak segan menyebut bahwa Pilkada jadi momentum emas dalam menangani pandemi.

"Alasan karena fokus pada pandemi, pemerintah dan DPR atau partai tidak bisa lagi seharusnya menggunakan alasan ini," ujar Djayadi.

Di samping itu, UU Pemilu yang ada saat ini juga tak didesain sebagai regulasi jangka panjang. Sehingga bukan hal tepat jika ada pihak yang menyebut bahwa undang-undang yang ada saat ini masih dapat digunakan hingga empat pemilu ke depan.

"Selama ini UU Pemilu memang produk lima tahunan dan mengakomodasi kepentingan lima tahunan. Sangat jelas ada masalah dengan aturan yang ada sekarang, justru revisi sekarang adalah momentum," ujar Djayadi.

Ia menyarankan, pemerintah, DPR, partai yang menolak revisi UU Pemilu seharusnya mengevaluasi terlebih dahulu pelaksanaan Pemilu 2019. Saat itu banyak kelompok petugas pemungutan suara (KPPS) yang meninggal karena kewalahan menghitung suara.

"Dengan mudah kita bisa memperkirakan bahwa risiko ditimbulkan oleh penumpukan Pemilu 2024 akan sangat besar. Solusi paling masuk akal adalah membagi atau memecahkan risiko tersebut," ujar Djayadi.

Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengaku, pihaknya telah menggelar rapat di tingkat Badan Musyawarah (Bamus) terkait revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusannya, revisi undang-undang tersebut akan dibahas Komisi II DPR.

"Pada saat itu di rapat konsultasi pengganti Bamus kita sudah sepakati untuk dibahas di Komisi II DPR," ujar Azis di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (4/2).

Ia menyerahkan kepada Komisi II bagaimana kelanjutan pembahasan revisi UU Pemilu nantinya. Jika berjalan lancar, diharapkannya hasil pembahasannya akan dibawa kembali ke forum Bamus pada Agustus mendatang.

"Proses pembahasan itu kita harapkan kalau berjalan lancar kita harapkan sebelum Agustus, harus sudah masuk di forum Bamus nanti," ujar dia.