Staf Medis di Myanmar Mogok Kerja untuk Protes Kudeta
Staf medis menolak untuk mematuhi perintah rezim militer Myanmar
IHRAM.CO.ID, YANGON -- Staf di 70 rumah sakit dan departemen medis di 30 kota di seluruh Myanmar mogok kerja pada Rabu (3/2), sebagai upaya untuk memprotes kudeta militer yang menggulingkan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi. Sejumlah tenaga medis bergabung dengan kelompok Gerakan Pembangkangan Sipil Myanmar yang dibentuk setelah kudeta.
Kelompok tersebut menyatakan, militer telah menempatkan kepentingannya sendiri di atas populasi rentan yang menghadapi kesulitan selama pandemi virus corona. "Kami menolak untuk mematuhi perintah apa pun dari rezim militer yang tidak sah, yang menunjukkan bahwa mereka tidak menghormati pasien kami," ujar pernyataan dari Gerakan Pembangkangan Sipil Myanmar.
Empat dokter mengkonfirmasi bahwa mereka telah berhenti bekerja. Seorang dokter yang berusia 29 tahun di Yangon mengatakan, dia ingin seluruh anggota militer kembali ke asrama mereka. Dokter yang tidak mau menyebutkan namanya itu mengatakan, beberapa dokter memilih untuk mogok kerja karena kudeta militer.
"Saya tidak menetapkan batas waktu sampai kapan akan mogok kerja, tergantung situasinya," ujar dokter tersebut.
Kudeta militer merupakan pukulan besar bagi seluruh rakyat Myanmar. Harapan mereka untuk menuju jalan demokrasi yang stabil telah pupus. Utusan PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener mendesak Dewan Keamanan secara kolektif mengambil sikap tegas untuk mendukung demokrasi di Myanmar.
Dewan Keamanan mengutuk kudeta militer, dan menyerukan Myanmar untuk menghormati aturan hukum dan hak asasi manusia. Dewan Keamanan juga meminta militer agar segera membebaskan mereka yang ditahan secara tidak sah.
Kudeta tersebut menuai kecaman dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat, karena para jenderal yang berkuasa menahan Suu Kyi dan puluhan pejabat lainnya. Untuk memperkuat kekuasaannya, junta militer meluncurkan dewan pemerintahan baru termasuk delapan jenderal dan dipimpin oleh panglima militer Jenderal Min Aung Hlaing.