Kelompok Libya Setuju Buat Pemerintahan Transisi

Pemerintah transisi akan mengawasi persiapan pemungutan suara

Anadolu Agency
Tentara Libya merayakan kemenangan setelah merebut kota Tarhuna dari milisi pemberontak Khalifa Haftar di barat Libya pada 5 Juni 2020. ( Hazem Turkia - Anadolu Agency )
Rep: Dwina Agustin Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Peserta perundingan perdamaian yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Libya telah menyetujui daftar kandidat untuk memimpin pemerintahan transisi. Kandidat itu akan mempersiapkan negara Afrika Utara menyelenggarakan pemilihan nasional pada akhir 2021.

Baca Juga

Sebanyak 75 peserta pada pembicaraan di Swiss, mulai dari tokoh regional dan suku hingga perwakilan dari faksi politik, akan memberikan suara pekan depan. Mereka akan memilih dewan presiden dan perdana menteri yang terdiri atas tiga orang.

Menurut pernyataan PBB yang dirilis pada Sabtu (30/1), peserta pun akan memilih dari 24 kandidat untuk tiga jabatan dewan kepresidenan. Sementara, 21 orang bersaing untuk jabatan perdana menteri.

Para peserta perundingan PBB menyetujui formula untuk memberikan suara pada calon pemerintahan transisi bulan ini. Daftar kandidat yang disetujui termasuk Aguila Saleh, kepala parlemen yang berbasis di timur, sementara mereka juga termasuk Menteri Dalam Negeri Government of National Accord (GNA) , Fathi Bashagha, Menteri Pertahanan, Saleh Namroush dan Wakil Perdana Menteri, Ahmed Maiteeg.

Pemerintah transisi akan mengawasi persiapan pemungutan suara yang bertujuan untuk mengakhiri satu dekade kekacauan dan konflik Libya. Kondisi yang tidak stabil ini telah membuat Libya terpecah belah dan menekan ekspor minyak yang menjadi tumpuan ekonomi negara itu.

 

Sementara itu, pembicaraan yang didukung PBB telah berkembang, banyak warga Libya khawatir persaingan untuk mendapatkan jabatan masih dapat memicu pertempuran baru.  Kondisi ini bisa menghancurkan gencatan senjata yang sebagian besar telah diadakan sejak Oktober.

Libya telah terpecah sejak Muammar Gaddafi digulingkan pada 2011. Sejak 2014, kendali Libya telah dibagi antara pemerintah yang diakui secara internasional di barat berbasis di ibu kota Tripoli dan lawan-lawannya yang berbasis di Benghazi di timur. Masing-masing pihak juga bergulat dengan perpecahan internal, sementara kelompok bersenjata telah menguasai lembaga-lembaga utama negara.

Dalam kekacauan tersebut, kekuatan asing telah mendukung kubu-kubu itu. Turki telah mendukung GNA di Tripoli, sementara Rusia, Uni Emirat Arab, dan Mesir mendukung  Libyan National Army (LNA) dengan pemimpin Khalifa Haftar di timur. 

 
Berita Terpopuler