China Kembali Bantah Paksa Muslimah Uighur Setop Kehamilan

China membantah paksa Muslimah Uighur hentikan kehamilan

nypost.com
China membantah paksa Muslimah Uighur hentikan kehamilan. Ilustrasi Muslimah Uighur
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG – Seorang pejabat Cina membantah bahwa pemerintahnya telah memberlakukan tindakan pengendalian kelahiran yang memaksa minoritas Muslimah Uighur menghentikan kehamilan.  

Baca Juga

Pernyataan itu menyusul protes atas tweet Kedutaan Besar Cina di Washington yang mengklaim bahwa kebijakan pemerintah telah membebaskan wanita dari etnis Uighur dari mesin pembuat bayi. 

Wakil juru bicara pemerintah daerah Xinjiang,  Xu Guixiang, mengatakan kepada wartawan Senin (11/1), keputusan pengendalian kelahiran dibuat atas keinginan orang tersebut dan tidak ada organisasi atau individu yang dapat ikut campur. 

"Tingkat pertumbuhan populasi Uighur tidak hanya lebih tinggi dari seluruh populasi Xinjiang, tetapi juga lebih tinggi dari populasi minoritas, dan lebih tinggi secara signifikan daripada populasi Han (mayoritas Cina),” kata Xu. 

Mengenai apa yang disebut memaksa perempuan etnis minoritas di Xinjiang untuk memakai IUD, atau menjalani ligasi tuba atau aborsi, itu bahkan lebih ganas.  

Sebuah penyelidikan pada Juni menemukan bahwa pemerintah China telah memaksa tindakan KB kejam di Uighur, Kazakhatan, dan etnis minoritas lainnya di Xinjiang, termasuk IUD fitting, kontrasepsi, dan bahkan aborsi dan sterilisasi.

Tindakan tersebut didukung ancaman penahanan orang tua dengan tiga anak atau lebih dimasukkan ke dalam kamp dan penjara jika mereka tidak dapat membayar denda besar.  

Akibatnya, angka kelahiran di wilayah minoritas Xinjiang anjlok hingga lebih dari 60 persen hanya dalam tiga tahun, bahkan ketika Beijing melonggarkan pembatasan kelahiran pada populasi Han menjelang krisis demografi yang membayangi. 

Twitter menghapus tweet Kedutaan Besar Cina, yang diposting pada 7 Januari, menyusul protes oleh kelompok-kelompok yang menuduh Beijing berusaha memberantas budaya Uighur.

 

Pengguna mengeluh, tweet itu melanggar aturan yang ditetapkan Twitter. Platform yang diblokir di China bersama dengan Facebook dan platform media sosial Amerika Serikat lainnya. 

"Pemerintah China sekarang secara terbuka mengakui penggunaan kamp konsentrasi, kerja paksa, sterilisasi paksa dan aborsi, dan bentuk penyiksaan lain untuk menghilangkan minoritas etnis dan agama," ujar Nihad Awad, Direktur Eksekutif nasional The Council on American-Islamic Relations.

China telah melancarkan kampanye selama bertahun-tahun melawan apa yang disebutnya terorisme dan fanatisme agama di Xinjiang.

"Studi menunjukkan bahwa dalam proses pemberantasan ekstremisme, pikiran perempuan Uighur di Xinjiang dibebaskan dan kesetaraan gender serta kesehatan reproduksi dipromosikan, membuat mereka tidak lagi menjadi mesin pembuat bayi," kicau tweet.

Tweet tersebut mengutip sebuah studi oleh Li Xiaoxia, seorang peneliti Akademi Ilmu Sosial Xinjiang yang telah menegaskan bahwa tindakan pengendalian kelahiran di Xinjiang bersifat sukarela. Makalah Li dalam beberapa tahun terakhir meletakkan dasar teoritis untuk membenarkan tindakan pengendalian kelahiran massal. 

Dalam salah satu artikel 2017, Li mengatakan memiliki banyak anak adalah tanda ekstremisme agama dan separatisme etnis.   

Li khawatir bahwa distrik-distrik yang didominasi minoritas menjadi tempat berkembang biaknya terorisme, menyebutnya sebagai risiko politik yang besar.

Konferensi pers adalah upaya terbaru Beijing untuk menangkis meningkatnya kritik internasional atas kebijakannya di Xinjiang, terutama atas dugaan kerja paksa dan penahanan lebih dari satu juta orang Uighur, Kazakhstan, dan lainnya di pusat-pusat indoktrinasi politik seperti penjara.   

Cina mengatakan pusat-pusat itu dimaksudkan untuk memerangi ekstremisme dan mengajarkan keterampilan kerja, tetapi mantan penduduk dan kelompok hak asasi mengatakan mereka menargetkan Islam dan bahasa serta budaya minoritas.

Elijan Anayat, juru bicara pemerintah daerah lainnya, mengatakan semua yang ada di pusat tersebut telah diterbitkan pada Oktober 2019, membantah laporan bahwa China terus memperluas sistem.

"Dengan bantuan pemerintah, mereka telah memperoleh pekerjaan yang stabil, meningkatkan kualitas hidup dan menjalani kehidupan normal," kata Anayat.  Saat ini, tidak ada pusat pendidikan dan pelatihan di Xinjiang, klaim laporan itu.

 
Berita Terpopuler