Pembelahan dan Impian Persatuan: Politik Sepanjang 2020

Refleksi akhir tahun 2020

ANTARA/Iggoy el Fitra
Kemeriahan rakyat menjelang tahun baru 2021
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh: Verdy Firmantoro, Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia dan Dosen Komunikasi Politik FISIP UHAMKA

-------------

Ujaran kebencian, politik identitas, kontestasi elektoral menjadi narasi utama yang menyesaki ruang publik di tengah wabah. Polarisasi politik demikian mengarahkan pada apa yang disebut dengan regresi demokrasi.

Sebuah kondisi yang secara formal bergenre demokratis, namun di dalamnya keruh dan defisit atas nilai-nilai. Akhirnya antara logika pemerintah dan logika publik tidak ketemu.

Mereka saling curiga, elite politik sebagai representasi negara “dituduh” tidak hadir dan tidak adil, sementara masyarakat dianggap “tidak patuh” terhadap kebijakan-kebijakan yang diproduksi pemerintah. Kondisi seperti ini tentu tidak kondusif untuk melakukan pemulihan-pemulihan di berbagai sektor di tengah pandemi yang tak kunjung usai.  

Di tahun baru ini, selayaknya setiap diri termasuk negara melakukan evaluasi dan menetapkan resolusi. Setiap individu mempunyai mekanisme untuk mengevaluasi diri termasuk membuat target-target capaian untuk lebih baik lagi.

Negara pun demikian, perlu mengevaluasi kebijakan-kebijakan yang belum optimal dan membuat resolusi-resolusi terbaik dengan mengarusutamakan rakyat.

Bagaimana politik pemulihan dilakukan, apakah untuk mencapai harmoni, semuanya harus diseragamkan?

Dari Politik Gaduh ke Politik Teduh

Kegaduhan terjadi bukan tanpa alasan, faktor politik menjadi salah satu dasar penyebab konflik. Meskipun banyak konflik kontemporer terjadi akibat perbedaan etnis maupun agama, namun kenyataannya secara umum faktor ekonomi dan politik yang utama (Brown & Stewart, 2014).

Politik memainkan peranan penting, jika dioperasikan dengan baik akan menghasilkan produk-produk kebijakan yang menyejahterakan rakyat, namun jika menjadi kendaraan politisasi akan berujung pada segregasi atau penciptaan sekat-sekat politik.

Kegaduhan politik saat ini semakin mengemuka seiring dengan penetrasi digital. Fenomena clickvitism di satu sisi menjadi lokomotif gerakan-gerakan advokasional seperti penyampaian aspirasi, crowdfunding, namun di sisi lain mobilisasi massa di dunia virtual mengarahkan pada konflik-konflik horisontal yang tak terhindarkan.

Seperti halnya, persoalan bergabungnya Prabowo dan Sandiaga Uno bisa jadi di tataran elite sudah terjadi kesepakatan politik, namun di level grassroot tidak sesederhana itu. Dinamika politik semakin menguat di tengah ketidakpastian. 

Penyembuh dari kegaduhan di tengan pandemi bukan hanya soal hadirnya vaksin, tetapi hadirnya negara. Vaksin itu hanya instrumen untuk menguatkan kekebalan masyarakat dari penyakit, namun hadirnya negara sebagai instrumen untuk mencegah “kematian demokrasi”.

Mengingat, kegaduhan hanya efek samping dari absennya negara dalam isu-isu sentral publik. Upaya melakukan pemulihan sebaiknya menjadi agenda utama. Negara memerankan diri sebagai pengayom yang meneduhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Keteduhan atau lingkungan yang kondusif sebagai dasar melakukan pemulihan. Apa artinya mendefinisikan target-target capaian di level makro, jika urusan mikro masih sulit diterapkan seperti memastikan setiap penerima bansos tidak lagi diamputasi haknya oleh ketamakan-ketamakan struktural.

Negara tidak perlu resisten dengan sikap-sikap kritis, melemahnya check and balance dalam konstelasi elite tak berarti semua pandangan politik perlu diseragamkan bukan? Oleh karena itu, negara harus menjadi kompas moral dan semua pihak dapat bahu membahu untuk bersatu padu menciptakan keteduhan.

 

Tiga Resolusi Utama untuk Politik Pemulihan

Politik pemulihan merupakan sebuah proses yang ditempuh negara untuk “menyehatkan” kembali sektor-sektor yang selama ini lumpuh selama masa pandemi Covid-19. Persoalan seperti ini tentu tidak hanya dialami oleh Indonesia, namun juga menjadi bencana global. Terlepas itu, setiap negara mempunyai cara masing-masing untuk melakukan pemulihan sesuai dengan kebutuhan dan konteksnya.

Berdasarkan evaluasi dan refleksi selama masa pandemi, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan sebagai bagian dari upaya melakukan politik pemulihan.

Pertama, perlu pembenahan komunikasi pemerintah agar tidak terjadi banyak kesalahpahaman. Komunikasi publik sudah selayaknya dilakukan pejabat pemerintah dengan hati-hati. Perlu mengidentifikasi masalahnya terlebih dahulu, melihat sasaran publiknya termasuk menyesuaikan dengan konteksnya dan tidak mengeneralisir.

Jika di awal penanganan pandemi sempat terjadi blunder komunikasi, ada kemungkinan di era meningkatnya persoalan-persoalan publik di masa pandemi yang membutuhkan respon pemerintah, para pejabat publik memberikan pernyataan-pernyataan yang tidak perlu.

Atau sebaliknya tidak memberikan pernyataan yang justru akan menciptakan kesenjangan informasi. Kegagalan komunikasi mempunyai konsekuensi menstimulasi terjadinya disharmoni.

Kedua, melakukan pemulihan dengan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang ramah kepentingan publik, tidak bias politik.

Kondisi masyarakat yang sedang tertekan tampak dari merosotnya daya beli dan tingkat kemiskinan maupun pengangguran meningkat harus menjadi alasan utama negara hadir secara total bahkan memberikan affirmative action untuk mendongkrak pemulihan ekonomi masyarakat. Seperti halnya ulasan Brown & Stewart, persoalan ekonomi menjadi salah satu faktor utama pemicu konflik. Maka, persoalan “perut” harus diperhatikan demi mencapai harmonisasi sosial.

Ketiga, memastikan penegakan hukum berjalan sesuai koridor. Lemahnya penegakan hukum akan membuka kran-kran gesekan politik semakin menguat. Diskriminasi, kekerasan dan ketidakadilan akan melegitimasi praktik-pratik despotisme.

Negara tidak dapat berlaku sewenang-wenang, dominasi negara tetap ada batasnya. Negara harus menjadi rumah bersama, tidak membuat jarak (vis a vis) dengan masyarakat. 

Harmony without uniformity menjadi gugusan besar melakukan politik pemulihan sebagai resolusi. Bias-bias kepentingan sering kali mendegradasi tujuan substansi dengan dalih pemufakatan sepihak.

Padahal, harmoni dapat terwujud tanpa penyeragaman. Justru jika penyeragaman dilakukan dengan meminggirkan perbedaan-perbedaan, persamaan hanyalah gimmick yang terbangun sebagai representasi kediktatoran. Oleh karena itu, iktikad politik (political will) untuk mengawal agenda-agenda pemulihan di semua sektor menjadi resolusi utama.

Sebab, hadirnya negara adalah “vaksin” bagi masyarakat bukan hanya memulihkan ekonomi, tetapi memulihkan asa menghadapi ketidakberdayaan di masa-masa sulit.

 
Berita Terpopuler