Tak Ada Kremasi Jenazah Covid Berkat Relawan Muslim Myanmar

Jenazah Muslim Covid-19 bisa dimakamkan sesuai syariat.

EPA-EFE/NYEIN CHAN NAING
Tak Ada Kremasi Jenazah Covid Berkat Relawan Muslim Myanmar. Petugas kesehatan yang mengenakan APD (Alat pelindung diri) bersiap untuk melakukan tes swab COVID-19 di jalan tol Yangon-Mandalay di Yangon, Myanmar, 13 Oktober 2020. Otoritas Yangon mengizinkan truk barang untuk menggunakan jalan tol Yangon-Mandalay, jika pengemudi dan asistennya tes COVID-19 negatif. Myanmar memperpanjang periode penguncian virus korona untuk Yangon, yang merupakan pusat wabah di negara itu, untuk mengekang penyebaran infeksi setelah lonjakan kasus virus korona.
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Berkat peran para relawan Muslim, jenazah Muslim yang meninggal akibat Covid-19 di Myanmar bisa dimakamkan sesuai aturan Islam. Sebab tanpa upaya tim tersebut, jenazah Covid-19 akan dikremasi, sebuah praktik yang biasa dilakukan di negara mayoritas Buddha itu.

Baca Juga

Kremasi dilarang keras menurut hukum Islam. Dengan upaya tim relawan Muslim itu, jenazah dapat dimakamkan dengan dipimpin seorang imam setempat di pemakaman Muslim, dan disaksikan segelintir kerabat dekat dengan menerapkan jarak sosial.

Salah satu sukarelawan Muslim tersebut ialah Sithu Aung, yang turut menguburkan korban virus corona. Dengan mengenakan alat pelindung, Aung bersama relawan lainnya menawarkan upacara pemakaman penting kepada komunitas Muslim di ibu kota komersial Myanmar yang dilanda pandemi tersebut.

Selama beberapa bulan terakhir, ayah berusia 23 tahun itu dan rekan-rekan relawannya tinggal di pemakaman, dan terisolasi dari keluarga mereka. Mereka menghabiskan hari-hari mereka mengumpulkan jenazah dari rumah sakit dan pusat karantina Yangon.

"Saya mendapatkan kepuasan dari kebahagiaan keluarga mereka dan mengetahui Allah melihat apa yang kami lakukan. Itu sebabnya kami mempertaruhkan hidup kami untuk melakukan pekerjaan ini," kata Sithu Aung yang merupakan mantan pemilik toko, dilansir di Channel News Asia, Jumat (11/12).

Komunitas Muslim Yangon berjumlah sekitar 350 ribu, sekitar tujuh persen dari populasi kota. Berbagai asosiasi Muslim telah menyediakan tiga ambulans, dua mobil dan persediaan makanan bagi para sukarelawan itu.

Jika biasanya para tenaga kesehatan, misalnya, menyewa apartemen untuk mengisolasi diri dari keluarga, para relawan ini tidak. Tim relawan yang terdiri dari 15 orang itu menempati gubuk yang berada di dalam kompleks pemakaman.

Dibalut APD, sarung tangan karet, kacamata, dan pelindung wajah plastik, mereka bekerja bergilir sepanjang waktu, melewati jalan setapak melalui jalan-jalan yang macet di Yangon dengan lampu darurat dan sirene yang berkedip.

 

Selama berbulan-bulan, Myanmar relatif tidak terserang pandemi. Negara ini mencatat kurang dari 400 kasus di seluruh negeri pada pertengahan Agustus.

Namun, itu semua berubah ketika jumlah kasus mulai melonjak di negara dengan salah satu sistem perawatan kesehatan terlemah di dunia ini. Sekarang ada lebih dari 100 ribu infeksi, dengan lebih dari 2.000 kematian di Myanmar.

Pusat komersial Myanmar yang padat, Yangon, menjadi hot spot virus corona. Tim Sithu Aung sekarang mengumpulkan tiga atau empat mayat setiap hari.

Mereka bekerja dalam shift bergilir, yakni dua pekan berjalan, kemudian isolasi diri sepekan. Sehingga, memungkinkan Sithu Aung menghabiskan beberapa hari bersama istri dan putranya yang berusia satu tahun sebelum dia kembali ke pekerjaannya yang mengerikan itu.

Ketika kota itu pertama kali menerapkan lockdown pada April lalu, dia memilih tidak memberi tahu keluarganya tentang rencananya menjadi sukarelawan. Sebab jika ia memberi tahu mereka, ibu dan istrinya tidak akan mengizinkannya melakukannya.

Di tengah menjalani aktivitas ini, keluarganya terkadang mengunjunginya di pemakaman, meski mereka menjaga jarak. Sithu Aung membantu menguburkan korban pertama virus corona di Myanmar, yakni seorang pria Muslim berusia 69 tahun.

Dia mengingat ketakutannya menyentuh tubuh korban tersebut. Namun, setelah membantu menguburkan puluhan korban virus corona, dia mengatakan tidak lagi takut mati. Walaupun, dia mengakui emosinya masih bisa meluap-luap.

"Saya menyesal karena anggota keluarga tidak bisa melihat wajah orang yang mereka cintai. Suatu hari kami juga menangis di balik kacamata kami," ujarnya. 

 

https://www.channelnewsasia.com/news/asia/myanmar-yangon-muslim-covid-19-volunteers-13741012

 
Berita Terpopuler