Helena Jatuh Hati dengan Sains Islam dan Pilih Jadi Mualaf

Sains menuntun Helena mencintai Islam dan menjadi mualaf.

Courtesy Onislam.net
Helena Jatuh Hati dengan Sains Islam dan Pilih Jadi Mualaf
Rep: Mabruroh Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perempuan asal Swedia, Helena tidak pernah mengenal Islam sedikit pun. Namun ia mulai tertarik pada sains dan membuatnya jatuh hati pada Islam hingga menuntunnya menjadi seorang mualaf. 

Baca Juga

Helena mengaku tumbuh dalam keluarga yang tidak terlalu religius. Ia jarang mendengar nama Tuhan diucapkan di rumahnya. 

"Saya tidak pernah melihat ada orang yang berdoa dan saya belajar sejak awal bahwa satu-satunya alasan untuk melakukan sesuatu adalah untuk keuntungan diri sendiri," ujar Helena, dilansir dari Muslim Library.

Di usia 15 tahun, Helena ingin mempelajari agamanya lebih dalam. Ia pun mendaftar ke kamp 3 yang merupakan gabungan dengan kamp golf. Di pagi hari ia mengikuti kelas dengan seorang pendeta tua, hanya saja pikirannya justru melayang ke permainan golf yang akan datang.

"Jadi saya tidak belajar apa-apa," katanya.

Helena tumbuh menjadi gadis tanpa kekurangan apa pun, ia juga memiliki kepercayaan yang tinggi karena selalu mendapatkan nilai yang baik. Sedangkan agamanya, Helena hampir lupa.

"Saya merasa saya dapat melakukan apa saja yang saya pikirkan dan agama hanyalah alasan untuk bersembunyi dari kenyataan," ujarnya.

Di perguruan tinggi, Helena mulai berpikir tentang arti kehidupannya, membuat filosofi sendiri. Ia yakin suatu bentuk kekuatan menciptakan segalanya tetapi ia tidak dapat mengatakan itu adalah Tuhan. 

"Tuhan bagi saya adalah citra seorang lelaki tua dengan janggut putih panjang dan saya tahu seorang lelaki tua tidak mungkin menciptakan alam semesta! Saya percaya pada kehidupan setelah kematian karena saya tidak bisa percaya keadilan tidak akan ditegakkan," ujarnya.

Helena mengaku percaya segala sesuatu terjadi karena suatu alasan. Selama ini ia merasa dibodohi jika mempercayai teori Darwin. Ia juga merasa tertekan apabila memikirkan arti hidup dan merasa hidup ini seperti penjara.

 

 

"Saya kehilangan sebagian besar nafsu makan saya untuk hidup," ujarnya.

Helena pernah belajar tentang sejumlah agama berbeda saat di sekolah, bahkan secara detail termasuk tentang cara berpikir dan beribadah mereka. Sedangkan mengenai Islam, Helena tidak mengetahui apa pun. 

"Saya tidak tahu apa-apa tentang Islam. Saya ingat buku pelajaran agama di sekolah menengah saya yang menunjukkan bagaimana Muslim berdoa. Itu seperti strip kartun untuk menunjukkan gerakan tetapi saya tidak belajar tentang kepercayaan itu," katanya.

Ia justru melihat semua propaganda melalui media massa tentang Islam dan bagaimana semua laki-laki Muslim menindas istri mereka dan memukul anak-anak mereka. Dia menganggap pria Muslim semua kejam dan tidak ragu-ragu untuk membunuh.

Di tahun terakhir kuliahnya, ia memiliki hasrat yang besar terhadap sains dan bersiap memasuki dunia kerja. Saat itu karier internasional atau setidaknya beberapa pengalaman internasional dibutuhkan untuk meningkatkan bahasa Inggrisnya, dan ia ingin mendapatkan keuntungan lebih dari sesama rekan kerjanya.

Helena akhirnya tiba di Boston, Amerika Serikat dan dihadapkan pada empat orang Muslim. Pada saat itu ia tidak tahu siapa Muhammad dan tidak tahu Allah adalah Tuhan yang sama dengan Allah. 

Helena mulai bertanya dan membaca buku, tetapi yang terpenting, ia juga mulai bersosialisasi dengan Muslim. Helena tidak pernah memiliki teman dari negara lain sebelumnya apalagi dari agama yang berbeda. 

"Mereka orang Swedia Muslim adalah orang-orang yang luar biasa. Mereka menerima saya begitu saja dan mereka tidak pernah memaksakan apa pun pada saya. Mereka lebih murah hati kepadaku daripada keluargaku sendiri," ujar Helena.

Saat itulah Helena mulai berpikir menyukai Islam. Hanya saja masalahnya, ia yang tertarik dengan sains namun kerap kali agama bertentangan dengan sains, setidaknya dari apa yang ia ketahui dalam agama yang sebelumnya ia anut.

"Saya membaca buku The Bible, The Quran and Science oleh Maurice Bucaille dan semua pertanyaan ilmiah saya terjawab! Ini adalah agama yang sejalan dengan ilmu pengetahuan modern. Saya merasa senang tetapi Islam masih belum menyentuh hati saya," ucapnya.

 

 

 

Helena seakan mengalami periode berdiskusi ketika memikirkan semua hal baru yang ia pelajari. Helena bahkan merasa hatinya menjadi lebih lembut dan terlintas dalam benaknya membayangkan hidup sebagai seorang Muslim.

"Saya melihat kehidupan yang rendah hati penuh dengan kejujuran, kemurahan hati, stabilitas, kedamaian, rasa hormat dan kebaikan. Yang terpenting, saya melihat kehidupan yang bermakna," ujarnya.

Ia pun mulai melepaskan egonya dan membuka hatinya pada Islam. Menurutnya, tidak ada alasan menghentikannya dari memeluk Islam.

 

"Tidak ada (alasan) jadi saya mengucapkan syahadat, alhamdulillah," ujar Helena.

 

 
Berita Terpopuler