Pelajaran dari Abah Alwi Shahab

Menulis itu niatkan sebagai ibadah, pesan Abah Alwi.

Daan Yahya/Republika
M Subroto, Jurnalist Republika
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Subroto, Jurnalis Republika

Malam itu tahun 1997 aku sedang duduk di kantor. Menulis berita sudah beres. Tiba-tiba Abah Alwi Shahab mendekatiku. Dia mengajakku ke mejanya.

Baca Juga

“Tolong you edit tulisan ini ya,” katanya sambil menunjukan tulisan yang sudah jadi di layar monitor.

Tentu saja aku kaget. Aku masih reporter bau kencur di desk metropolitan. Abah Alwi adalah redakturnya. Tulisan yang diminta edit itu adalah buatan Abah sendiri. Tentu aku tak berani mengeditnya. Menulis berita straight news saja masih belum lurus, eh kok malah mengedit tulisan wartawan yang sudah sangat senior.

Aku berusaha menolak, tapi Abah memaksa. Akhirnya kujalankan juga perintahnya.

Aku baca tulisan itu. Apa yang harus aku edit? Aku bingung. Akhirnya aku hanya mencari-cari kesalahan ketik. Kutemukan dua kata yang ada typo-nya. Lainnya tak ada yang aku ubah.
 
Selesai "mengedit" aku kembalikan monitor ke Abah. Dia duduk dan kembali memelototi layar komputer. Wajahnya tersenyum.

Aku heran dengan sikap Abah tadi. Tapi belakangan aku baru tahu bahwa itu cara dia mengajariku jadi wartawan. Jangan mentang-mentang sudah senior merasa sudah sempurna. Kita tetap butuh orang lain untuk melihat kesalahan tulisan kita.

Profil Abah Alwi Shahab - (Republika)

Di lain waktu dia menasihatiku. ”Subroto, you harus banyak baca buku. Wartawan itu harus banyak baca," katanya.

Abah tak sekadar menasihati dengan kata-kata. Dia memberikan contoh. Aku kerap melihat dia berlama-lama di perpustakaan kantor membaca buku-buku untuk memperkaya tulisannya. Itulah yang membuat tulisannya menjadi berisi.

Tak hanya membaca buku, Abah juga menulis buku. Tak kurang dari 30 buku dari tulisannya yang sudah diterbitkan. Aku kira tak banyak wartawan yang seproduktif dia menghasilkan buku.
 
Bagiku dan banyak wartawan di Republika, Abah adalah teladan. Dia adalah contoh wartawan yang yang setia dengan profesinya. Tidak mengejar jabatan. Abah menjalani profesi ini hampir 60 tahun sejak usia 22 tahun.

Sebelumnya Abah bergabung dengan Arabian Press tahun 1960. Sejak tahun 1963 Abah menjadi wartawan di LKBN Antara. Setelah pensiun dari Antara di tahun 1993 Abah diajak Pemred Republika Parni Hadi, bergabung ke Republika.

Usia tua tidak menghalangi Abah untuk tetap aktif menjadi wartawan. Dia rajin menjaga kesehatan. Hobinya jalan. Kami sampai geleng-geleng kepala ketika tahu dia kerap berjalan dari Terminal Pasar Minggu atau dari Mampang Prapatan ke kantor Republika di Jalan Buncit Raya. Padahal jaraknya lebih dari 3 km. Iseng sekali sepertinya.

“Biar you tetap sehat,” katanya beralasan soal hobinya berjalan.

Suasana pemakaman wartawan senior Republika Habib Alwi Saleh Shahab di Tempat Pemakaman Umum Kober, Condet, Jakarta Timur, Kamis (17/9). Wartawan senior Republika sekaligus sejarawan betawi meninggal dunia pada 17 September 2020 pukul 03.00 WIB di kediamannya saat menginjak usia 84 tahun. Republika/Thoudy Badai - (Republika/Thoudy Badai)

Abah juga dengan gesit naik ke lantai 3 menaiki tangga kantor Republika yang tak punya lift. Padahal banyak anak muda yang sudah terengah-engah ketika baru sampai di lantai 2.

Hobinya yang lain adalah mentraktir atau membawa makanan. Biasanya roti cane buatan istrinya. Rasanya tentu saja enak.

“Subroto, you sudah makan?” tanyanya suatu siang.

“Sudah Bah,” jawabku.

Tak lama sampai di mejaku, sudah ada sekotak nasi kebuli. Pasti dari Abah. Padahal tadi aku bilang sudah makan.

Abah juga suka ngobrol dengan teman-teman di kantor. Cerita apa saja. Tentang keluarga atau wartawan. Yang paling kami suka adalah cerita soal Jakarta tempo dulu atau pengalaman mudanya.

Dia juga menasehati kami untuk tetap idealis menjadi wartawan. “Menulis itu niatkan sebagai ibadah. Banyak yang bisa kita lakukan untuk membantu orang lain dengan tulisan," katanya saat didapuk memberi kultum usai shalat Magrib di mushala kantor.

“Saya pesan buat yang muda-muda. Republika ini harus dijaga. Sampai kapanpun. Karena umat sangat membutuhkan Republika,” pesan Abah saat itu.

Soal liputan-liputan di lapangan Abah jangan ditanya. Abah selalu mempersiapkan diri jika menulis sesuatu. Dia melakukan riset, observasi, dan wawancara. Tak cuma sekedar talking-talking. Dia juga punya jaringan narasumber yang luas.

Umur boleh tua, soal karya Abah tak mau kalah. Suatu saat sambil ngobrol dia bertanya. “Nggak apa ya saya sudah tua tapi masih menulis?” Saat itu umur Abah sudah sekitar 70 tahun.
 
“Justru bagus Bah. Banyak wartawan yang tak menulis lagi setelah jadi redaktur,” jawabku.
 
Di saat orang lain seusia dia mungkin sudah pikun di rumah, Abah tetap produktif. Sebenarnya apa sih yang Abah cari lagi? Anak-anak sudah mentas dan sukses. Bahkan keluarganya bersikeras melarang Abang menulis dan datang ke kantor. Tapi Abah sering memaksa.

“Saya malah sakit kalau tak menulis dan di rumah saja,” begitu alasannya.

Wartawan senior Republika Alwi Shahab menghadiri Syukuran 50 Tahun Karya Emas Abah Alwi di Kantor Republika, Jakarta, Rabu (31/8). (Republika/ Wihdan) - (Republika/ Wihdan)

Terus terang aku iri dengan Abah. Aku bayangkan hari tuaku nanti, seandainya berumur panjang, aku ingin seperti Abah. Menikmati hari tua dengan tetap produktif menulis. Tak banyak orang seberuntung Abah.

Tulisan Abah selalu ditunggu pembaca. Selama lebih dari 15 tahun dia tak henti menulis di rubrik tetapnya, Nostalgia dan Bandar Jakarta. Tulisannya sederhana, renyah dibaca, dan berisi. Terutama soal Jakarta.

Dia memang ahli soal Jakarta. Kami menyebutnya "Kamus Berjalan Jakarta". Tahun 2019 Pemprov DKI Jakarta memberikan Anugerah Budaya atas dedikasi Abah memajukan Budaya Jakarta. Dia juga penerima "Pres Card Number One" dari PWI.

Republika sempat membuatkan acara Jalan-Jalan Bareng Abah Alwi dengan Abah sebagai ikonnya. Kegiatan itu laris manis. Penggemarnya semua kalangan, orang tua dan anak-anak muda.

“Saya jadi artis dadakan,” kata Abah tertawa.

Pagi tadi sebuah berita mengagetkan sampai ke WA ku. Abah meninggal dunia. Tentu saja aku kaget, walaupun Abah memang sudah sakit beberapa tahun terakhir. Abah meninggal di usia 84 tahun.

Terakhir kali ke rumahnya sekitar setahun lalu Abah Alwi sudah sulit mengenali orang. “Ini saya Bah, Subroto,” kataku.

Abah menatap lama. Kemudian raut mukanya berubah cerah. Abah mengangguk-angguk.

Syukuran Kiprah Abah Alwi. Wartawan senior Republika Alwi Shahab berfoto bersama wartawan Republika saat Syukuran 50 Tahun Karya Emas Abah Alwi di Kantor Republika, Jakarta, Rabu (31/8). - (Republika/ Wihdan)

Sebelumnya dalam keadaan sakit Abah masih sering memaksa ke kantor. Dia datang diantar sopirnya. Begitu turun dari mobil, kami yang melihatnya akan berebut memapah ke ruangannya.

Kesehatan matanya yang memburuk membuat Abah tak bisa menulis sendiri. Abah dibantu untuk menulis. Dia bercerita, lalu Darmin (sudah lebih dulu almarhum) mengetiknya. Tulisan kemudian diedit oleh Karta, redaktur Republika Online yang sudah seperti anaknnya sendiri.

Selamat jalan Abah Alwi Shahab. Kami yakin Allah SWT telah menyediakan tempat terbaik bagimu. Terima kasih telah memberi teladan kepada kami.
 
Tips menjadi wartawan dari Abah Alwi
- Banyak membaca buku
- Rajin turun ke lapangan
- Melakukan riset untuk memperkaya tulisan
- Jaga kesehatan dengan berolah raga dan makan teratur
- Tetap menulis dan melakukan reportase kendati sudah berada di struktural
- Menulislah yang bermanfaat untuk orang lain
- Jangan meremehkan anak muda
- Jangan pernah merasa tua menjadi wartawan
- Usahakan menguasai bidang tertentu (spesialis)
- Banyaklah menulis buku.

 
Berita Terpopuler