Denyut Sastra Kaum Sarungan

Buku ini mengupas riwayat dan aktivitas kesusastraan sebuah pesantren besar di Madura

Tangkapan Layar
Buku Sastrawan Santri
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hasanul Rizqa

Di Indonesia, perkembangan awal tradisi sastra Islam mulai terjadi setidaknya pada abad ke-13 atau 14. Menurut sejarawan Universitas Islam Negeri (UIN)Syarif Hidayatullah Prof Jajat Burhanuddin, periode itu disebut pula sebagai zaman peralihan yang melahirkan karya-karya sastra dengan karakteristik utama transisi dari masa Hindu-Buddha ke Islam.

Salah satu cirinya ialah tidak atau belum menampakkan istilah-istilah keislaman dalam teks. Sebagai contoh, lafaz Allah Ta'ala masih ditu lis dengan sebutan Dewata Mulia Raya atau Raja Syah Alam, sebelum akhirnya ditulis sebagaimana biasa: Allah SWT.

Luasnya cakupan nusantara berarti pula adanya kekhasan sastra di masing-masing daerah. Badrus Shaleh pada 2017 lalu menulis tesis un tuk menyelesaikan studi magister ilmu antropologi pada Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada.

Dalam risetnya itu, ia secara khusus mengkaji fenomena sastra dalam lingkup pesantren, khususnya di Madura, Jawa Timur. Karya ilmiah yang berhasil meraih penghargaan Nu santara Academic Award (NAA) 2019 itu telah dibukukan dengan judul Sastrawan Santri: Etnografi Sastra Pesantren oleh Penerbit Elsa Press pada Maret tahun ini.

Badrus memilih Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep sebagai lokasi penelitiannya. Sebab, lembaga itu selama ini dikenal sebagai markas para sastrawan di Pulau Madura. Bahkan, pesantren tersebut juga diakui menjadi titik tolak dan perspektif munculnya para sastrawan santri mutakhir di Tanah Air.

Dalam kata pengantar buku ini, Direktur Nusantara Institute Sumanto Al Qurtuby memuji pendekatan etnografis approach from within yang dilakukan Badrus dalam meneliti geliat sastra dan sastrawan di Pesantren Annuqayah.

Pendekatan itu berarti, peneliti mengambil pendapat, ide, opini, atau sudut pandang dari komunitas yang diteliti. Dengan demikian, riset yang dilakukannya dapat menggali lebih dalam topik yang dibahasnya secara komprehensif.

Pemilihan Madura sebagai lokasi riset juga menuai pujian dari dosen antropologi budaya King Fahd Univer sity of Pteroleum-Minerals (Arab Saudi) itu. Sebab, selama ini daerah berjuluk Pulau Garam itu kerap dipandang sebagai tempat lahirnya para sastrawan yang tumbuh dari lingkungan pesantren.

Namun, belum banyak penelitian yang berupaya menelaah kaitan antara dunia santri dan sastra(wan). Maka dari itu, tesis Badrus dapat berkontribusi dalam memperkaya khazanah penelitian budaya Islam di nusantara, khususnya Madura.

Secara keseluruhan, buku Sastrawan Santriter bagi ke dalam lima pem bahasan utama. Mulai dari topik sastrawan dari pesantren, pesantren lumbung sastra dan literasi, sastra sebagai media pendidikan formal, sastra sebagai media pendidikan non-formal, hingga sastrawan santri-- yang menjadi judul kitab tersebut.

Mula-mula, Badrus mengawali penjelasannya dengan mengutarakan terlebih dahulu konteks kekinian sastra Indonesia yang beririsan de ngan dunia pesantren.

Seperti diketahui, jagat literasi Indonesia tak asing lagi dengan nama-nama semisal Zawawi Imron, A Mustofa Bisri, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Ahmad Tohari, Abdul Hadi WM, atau Acep Zamzam Noor. Begitu pula dengan sastrawan nasional dari kalangan yang lebih belia, seperti Jamal D Rahman, Habiburrahman El Shirazy, atau Ahmad Fuadi--untuk menyebutkan segelintir dari sekian banyak nama. Mereka semua adalah sastrawan terkemuka di Tanah Air yang memiliki latar belakang pondok pesantren.

Bahkan, fenomena sastra pe santren sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Eksistensinya, menurut Ba drus, dapat dirunut sejak abad ke-16, yakni melalui kiprah Hamzah Fansuri, sang sastrawan yang juga berjulukan Bapak Bahasa dan Sastra Melayu.

Berlanjut pada abad ke-18 dengan kemunculan penyair modern Melayu, yang kiranya dapat direpresentasikan oleh Abdullah bin Abdul Karim Munsyi. Para leluhur sastra Indonesia itu kerap menyisipkan pesan-pesan Islami dalam setiap karya mereka.

Bagaimanapun, istilah sastra pesantren memang diakui baru mulai naik daun sejak era Reformasi, khu susnya masa pemerintahan presiden keempat RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Badrus mengatakan, pada masa itu secara hampir bersamaan muncul pula wacana- wacana terma sastra lainnya yang serumpun, seperti sastra profetik (digagas sastrawan cum sejarawan Prof Kuntowijoyo), sastra Qurani (disuarakan Ahmadun Yosi Her fanda), atau sastra kitab (dipopulerkan Abdul Hadi WM).

Keberadaan berbagai komunitas yang berupaya mempertemukan sastra dengan (dakwah) Islam juga turut memperkaya wacana pada masa itu. Ambil contoh, Forum Lingkar Pena (FLP) besutan cerpenis Helvy Tiana Rosa dan kawan-kawan.

Sejak saat itu, usaha-usaha untuk mendefinisikan sastra pesantren kian kentara. Namun, lanjut Badrus, hingga kini belum ada definisi yang permanen atau diterima semua kalangan untuk istilah sastra pesantren.

Ada yang begitu ketat membuat kategori sastra pesantren sebagai sastra yang harus digubah oleh santri yang mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Ada yang cukup longgar dengan memasukkan karya-karya buatan non-santri atau non-alum nus pesantren ke dalam klasifikasi demikian, selama bermuatan tema religiuisitas Islam.

Lebih jauh lagi, beberapa kalangan berkeyakinan, adanya terminologi sastra pesantren justru mempersempit universalitas makna sastra yang semestinya bebas dari suatu identitas. Sebagai peneliti antropologi, Badrus mengaku tidak ingin larut dalam perdebatan seputar batasan-batasan sastra pesantren.

Ia hendak me nyerahkan sepenuhnya persoalan tersebut pada kalangan ilmuwan sastra dan kritikus sastra. Melalui buku Sastrawan Santri, ia membatasi pembahasan pada berbagai tafsiran atas data yang diperolehnya selama riset di lapangan, yakni Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura, Jawa Timur.

Dengan refleksi-refleksi atas perilaku para santri dengan sastra, lalu menggalinya melalui teori, sebagaimana sebuah usaha mensketsakan sastra pesantren dalam sajian buku etnografi, kata dia (hlm xiv).

Pesantren Annuqayah sendiri telah menghasilkan sejumlah penulis kaliber nasional, setidaknya sejak 1990-an. Sebut saja M Faizi, Syafii Anton, Muhammad Al-Fayyadl, dan Aryadi Mellas.

Bagaimanapun, sejak awal pembentukannya pondok pesantren itu tidaklah bertujuan tunggal untuk men cetak para penulis. Lebih tepatnya, ekosistem yang me num buhsuburkan semangat para penulis merupakan dampak positif dari sistem pembelajaran yang berlaku di sana.

Pesantren Annuqayah berdiri sejak akhir abad ke-19. Pendirinya bernama KH Muhammad Syarqawi. Sebelumnya, ulama asal Kudus, Jawa Tengah, itu telah menuntut ilmu-ilmu agama hingga ke Tanah Suci.

Annuqayah dipilihnya sebagai nama lembaga yang dirintisnya itu berdasarkan judul kitab Imam Jalaludin as-Suyuthi, Itmanuddriyah Lilqurra' Annuqayyah (hlm 24). Lebih dari satu abad usia lembaga itu kini. Cakupan Yayasan Annuqayah tidak hanya pesantren, tetapi juga taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

Berseminya sastra di sana tak lepas dari keteladanan yang ada sejak generasi kedua pengasuh Pesantren Annuqayah. Mereka meninggalkan legasi berupa karya-karya tulis. Dalam beberapa tahun belakangan, pihak pengelola lembaga tersebut juga terus mendukung perkembangan budaya literasi di kalangan santri.

Misalnya, dengan menyelenggarakan Festival Cinta Buku (FCB), yang diinisiasi pihak Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Institut Ilmu Keis laman Annuqayah (Instika). Panitia biasanya mendatangkan sejumlah penulis tersohor untuk dapat berinteraksi dengan para santri. Dengan demikian, para peserta didik diharapkan kian termotivasi untuk terus mengasah keterampilan dalam menulis dan menghasilkan karya.

Akhirnya buku karya Badrus Shaleh ini dapat menjadi acuan untuk mengamati gairah kesusas traan di dunia santri kontemporer. Dari penelitiannya, pembaca dapat me nemukan, tradisi literasi masih ber degup kencang di tengah komunitas kaum sarungan. Dan, mereka sama sekali tak bisa dipandang sebelah mata.

"Berseminya sastra di sana tak lepas dari keteladanan yang ada sejak generasi kedua pengasuh Pesantren Annuqayah."

 
Berita Terpopuler