Anjay, Bu Tejo, Dilarang Live Streaming

Jangan memakai kata kurang pantas seperti 'anjay', apalagi berghibah seperti Bu Tejo.

Tangkapan Layar
Karakter Bu Tejo dalam film Tilik
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu, wartawan Republika (Instagram: @kartaraharjaucu)

Setidaknya dalam tujuh hari terakhir saya membuka media sosial, judul di atas memenuhi time line Instagram, Twitter, Facebook, sampai Whatsapp. Judul tersebut merupakan tiga isu yang sedang asyik jadi bahan warganet menuangkan ke-ghibahannya di media sosial.

Tak percaya, kita mulai dari kata "Anjay". Dalam pencarian Google, hingga saya mengetik tulisan ini, setidaknya ada 4.020.000 pencarian jika Anda mengetik kata "Anjay" di mesin pencari terpopuler sejagat raya tersebut. Pencarian yang terbilang tinggi. Sementara di media sosial, seperti Instagram, warganet, mulai dari warga biasa, komika, komikus, hingga selebgram menggunakan kata tersebut di timeline-nya. Lantas apa penyebabnya hingga kata "Anjay" menjadi buah jari di internet?

Pemicu ramainya kata tersebut di media sosial adalah permintaan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) agar penggunaan kata "Anjay" sebagai bahasa pergaulan segera dihentikan. Menurut penilaian Komnas PA, pengguna kata itu berpotensi pidana karena salah satu bentuk kekerasan atau bullying.

Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait menjelaskan makna kata "Anjay" bisa dilihat dari berbagai sudut pandang. Jika diucapkan sebagai kata ganti ucapan ekspresi kekaguman, maka "Anjay" tak mengandung unsur bullying. Namun, jika "Anjay" dilontarkan untuk merujuk sebutan kata pengganti satu binatang, maka "Anjay" bisa bermakna merendahkan martabat seseorang lantaran bermakna merendahkan martabat seseorang.

Nah di sini yang dipermasalahkan. Menurut Arist, penggunaan kata "Anjay" berkonotasi penghinaan menjadi salah satu bentuk kekerasan verbal dan dapat dilaporkan sebagai tindak pidana.

Tak ada asap jika tak ada api. Wacana Komnas PA pun disambut "meriah" warganet yang kebanyakan anak-anak muda. Ada yang mendukung, tidak sedikit yang menghujat. Kabar tersebut juga sampai ke telinga anggota Komisi III DPR Arsul Sani yang menilai wacana tersebut over kriminalisasi alias pemidanaan berlebih. Bahkan komika Bintang Emon membuat video ulasan menyindir tentang penggunaan kata "Anjay" dan larangan live streaming di media sosial yang bisa berujung kepada pidana.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "Anjay" tidak ditemukan. Namun patut diketahui, kata "Anjay" adalah penghalusan dari kata "Anjing" yang digunakan para anak muda sebagai bahasa pergaulan. Perubahan kata tersebut pun menurut saya karena fenomena kesantunan bahasa. Sayangnya, penggunaan kata itu memang kerap berkonotasi tidak baik atau makian meski berbeda makna dengan kata aslinya.

Islam melarang umatnya memanggil orang lain dengan panggilan buruk. Diriwayatkan dari Sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, "Sesungguhnya kalian bertanya kepadaku tentang seseorang yang mengatakan kepada orang lain, 'Wahai orang kafir!, 'Wahai orang fasiq!', atau 'Wahai keledai!' Tidak ada hukuman hadd dari syari’at (untuk perbuatan itu). Yang ada hanyalah hukuman ta’zir dari penguasa. Maka janganlah diulangi mengucapkannya lagi!” (Lihat Irwa’ul Ghalil karya Syaikh Al-Albani, 8:54)

Bahkan, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut memanggil orang lain dengan sebut buruk masuk kategori dosa besar. Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencela seorang muslim adalah kefasikan (dosa besar), dan memerangi mereka adalah kekafiran.” (HR. Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64)

Dalam tinjauan ilmu psikologis, ketika Anda memanggil dengan julukan yang buruk seperti "anjay", "anjrit", "cebong", "kampret" dan kawan-kawannya, sebenarnya sama saja Anda sudah menjelma menjadi seorang penindas alias orang yang melakukan bullying. Sebaliknya, ketika Anda yang mendapatkan panggilan buruk itu, Anda sudah menjelma menjadi korban penindasan.

Penjelasan ini disampaikan Psikolog klinis dan hipnoterapi Liza Marielly Djaprie ketika diwawancarai Republika beberapa tahun lalu. Ia menjelaskan penindasan bisa terjadi karena adanya tiga hal, yaitu adanya kondisi pelaku dan korban yang tidak sama kuat, terjadi berkali-kali, dan direncanakan. Jika ketiga unsur itu dipenuhi, barulah bisa dikatakan bullying. Aksi penindasan itu juga bisa beragam.

"Secara fisik, bullying seksual, ras, financial bullying, siber, dan bullying secara verbal," jelas Liza. Nah, yang paling berdampak buruk pada korban penindasan adalah mereka yang menerima penindasan secara verbal. Liza mengungkapkan, di Indonesia, penindasan secara verbal yang paling marak terjadi dialami anak sampai remaja adalah lewat julukan nama.

Apalagi, penindasan dengan julukan nama yang buruk itu dilakukan melalui media jejaring sosial. "Kalau sudah masuk ke cyber bullying bisa mematikan karena efeknya bukan mimisan atau lebam-lebam, melainkan menikam sekali," jelas Liza.

Mengapa menikam? Efek psikologis yang diterima para korban penindasan secara verbal bisa menurunkan harga diri sehingga membuat seseorang tidak percaya diri dan terjadi dalam jangka panjang. Liza mengungkapkan, dalam beberapa kasus terparah dari korban kekerasan verbal bisa mengalami migrain hingga darah tinggi.

Selain kata "Anjay", pembicaraan soal live streaming juga membanjiri timeline media sosial. Penyebab utamanya adalah gugatan dua perusahaan media, PT Visi Citra Mitra Mulia (iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya mengajukan uji materi soal UU Penyiaran dan menilai Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran menyebabkan perlakuan berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran over the top (OTT) yang menggunakan internet, seperti YouTube dan Netflix.

Akibatnya apa? Nah kalau gugatan itu dikabulkan, masyarakat baik perorangan maupun badan usaha, terancam tidak leluasa menggunakan media sosial, seperti YouTube, Instagram, Facebook, Twitter, dan kawan-kawannya untuk melakukan siaran langsung. Youtuber hingga Selebgram yang melakukan siaran langsung atau live streaming di akun media sosialnya terancam memakai baju oranye karena melakukan tindakan ilegal. Penontonnya pun terancam terseret dan menjadi pesakitan.

Duduk perkara kasus tersebut adalah saat iNews TV dan RCTI mengajukan gugatan ke MK lantaran mereka merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal. Misalnya, dalam melakukan kegiatan penyiaran, keduanya harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia, hingga memperoleh izin siaran. Sementara penyelenggara siaran berbasis internet alias OTT seperti Facebook, Instagram, dan YouTube tidak perlu memenuhi persyaratan tersebut.

Baik iNews TV maupun RCTI beralasan, segala penyelenggaraan aktivitas mereka juga tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS). Jika terjadi pelanggaran, penyelenggara terancam mendapatkan sanksi yang diberikan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sementara hal itu tidak berlaku bagi penyedia layanan OTT.

Lantas apa respon pemerintah? Tentu saja pemerintah yang diwakili Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) dalam sidang ketiga meminta MK menolak permohonan tersebut. Alasannya, jika permohonan itu dikabulkan, masyarakat akan terbelenggu alias tak bebas mengakses media sosial sebab perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan tayangan audio visual sebagai kegiatan penyiaran yang harus memiliki izin siar.

Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemenkominfo Ahmad M Ramli dalam persidangan menyatakan definisi perluasan penyiaran akan mengklasifikasikan kegiatan seperti Instagram TV, Instagram Live, Facebook Live, YouTube Live, dan penyaluran konten audio visual lainnya dalam platform media sosial akan diharuskan menjadi lembaga penyiaran yang wajib berizin. Artinya, pemerintah harus menutup akun mereka kalau tidak mengajukan izin.

Nah, jika kegiatan masuk sebagai penyiaran, perorangan, badan usaha, dan lembaga lain, termasuk kreator konten yang memanfaatkan OTT, harus memiliki izin sebagai lembaga penyiaran. Kalau tidak memiliki izin, mereka dinyatakan melakukan penyiaran ilegal dan terancam pidana. Masalahnya, penyedia layanan audio-visual umumnya melintasi batas negara, maka mustahil menerapkan hukum Indonesia di luar wilayah yurisdiksi dalam negeri.

Berangkat dari sanalah penolakan Kemenkominfo atas gugatan RCTI dan iNews TV sebenarnya wajar. Alasannya jika dilihat ada perbedaan yang sangat terang benerang antara penyiaran yang dilakukan lembaga penyiaran seperti RCTI dan iNews TV, dengan layanan OTT. Karenanya, menurut saya keliru jika memukul rata layanan penyiaran dengan layanan OTT meski konten yang dihasilkan serupa yakni audio atau audio visual.

Alasan kedua semua media komunikasi massa di Indonesia memiliki aturannya masing-masing. Layanan penyiaran diatur dalam UU Penyiaran, sedangkan OTT yang memanfaatkan internet melalui jaringan telekomunikasi, tunduk pada UU Telekomunikasi.

Dengan dua flatform yang berbeda tersebut tentu ada pengawasan yang berbeda pula. OTT saat ini yang ditransmisikan lewat sistem elektronik tunduk pada UU ITE. Jika gugatan dikabulkan seiring layanan OTT yang saat ini terus berkembang, maka bukan tidak mungkin akan menghambat laju ekonomi digital dan kreatif.

Pertanyaannya, apakah gugatan tersebut keliru? Tentu saja tidak, karena RCTI dan iNews TV memiliki hak mengembalikan kejayaan siaran televisi yang diminati masyarakat, bukan sekadar sinetron dengan cerita anak-anak sudah berpacaran, atau acara musik yang isinya perundungan dan ngeghibahin orang. Salah satu caranya dengan live streaming hanya boleh dilakukan layanan penyiaran.

Kini kita sampai kepada "Raja Terakhir" dalam ulasan ini: Bu Tejo. Setidaknya ada 19 juta lebih warganet yang rela menghabiskan waktunya selama 30 menit 32 detik untuk melihat cerocosannya Bu Tejo dalam film pendek "Tilik" di Youtube.

Sosok Bu Tejo mendadak viral. Wajahnya, dialognya, hingga ekspresinya menyesaki timeline banyak media sosial.

Bicara Bu Tejo tak afdol rasanya membicarakan film "Tilik" yang membuat nama Bu Tejo naik daun di dunia maya. Dalam deskripsi di akun Ravacana Films, film "Tilik" adalah hasil kerja sama Ravacana Film dengan Dinas Kebudayaan DIY. Garis besarnya, film tersebut menceritakan sekelompok ibu-ibu dari sebuah desa yang ingin menilik atau menengok Ibu Lurah yang sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Mereka menggunakan truk sebagai sarana transportasi untuk pergi ke rumah sakit tempat Bu Lurah yang berada di kota.

Dalam synopsis yang ditampilkan tertulis: "Dian adalah seorang kembang desa. Banyak lelaki yang mendekatinya hingga datang melamarnya. Warga desa bergunjing tentang status lajang Dian. Dalam satu kesempatan perjalanan naik truk dalam rangka menjenguk (tilik) Bu Lurah di Rumah sakit di kota, beberapa warga berdebat tentang siapa yang bakal mempersunting Dian. Perjalanan “tilik” menjadi penuh gosip dan petualangan bagi para warga desa yang naik truk tersebut."

Namun, titik berat mengapa film yang tayang sejak 2018 tersebut bukan pada sosok Dian yang memang ayu menurut mata laki-laki. Namun, film ini menjadi viral lantaran karakter Bu Tejo yang diperankan Siti Fauziah Saekhoni. Karakter Bu Tejo yang sepanjang film nyinyirin Dian, membuat film ini melesat menjadi buah bibir.

Film ini, dengan karakter Bu Tejo yang sepanjang perjalanan di atas truk tidak pernah berhenti ngerasani cah ayu (Dian), membuat penontonnya gregetan. Jika membaca kolom komentar, Anda akan menemukan banyak sekali yang setuju Bu Tejo adalah cerminan manusia Indonesia, khususnya ibu-ibu yang kerap kali mengomentari kehidupan orang lain. Hampir semua karakter di film "Tilik" adalah gambaran tim ghibah di setiap kesempatan.

Oke kita bedah satu per satu. Pertama tentu saja Bu Tejo yang digambarkan sebagai "pembakar isu" kepada rekan-rekannya. Karakter seperti Bu Tejo biasanya memiliki sekutu yang di film "Tilik" dimunculkan sosok Yu Tri yang kerap "melemparkan bensin" agar topik obrolan semakin panas dan ikut misuh-misuh. Sosok yang tak kalah menarik adalah Yu Sam yang tidak punya pendirian. Terkadang membela orang yang sedang dighibahin, terkadang membenarkan.

Selanjutnya adalah Yu Ning, sosok ibu-ibu yang baik hati serta selalu membantah semua yang diucapkan Bu Tejo. Dan yang tak kalah penting di film itu adalah karakter Gotrek, sopir truk yang mewakili kaum laki-laki ketika membicarakan wanita cantik. Terakhir tentu saja sosok Dian, perempuan muda nan cantik yang menjadi sasaran ghibah ibu-ibu di atas truk yang diakhir cerita sang sutradara menggambarkan sebagian ucapan Bu Tejo ada benarnya.

Lantas apa yang membuat film "Tilik" bisa ditonton sampai hampir 20 juta kali? Satu kuncinya: ghibah.

Menghibah memang tidak kenal batas tempat. Mau di kantor, tikungan gang, saat belanja di tukang sayur keliling, arisan, angkot, atas truk, bahkan ketika silaturahim ke rumah saudara saat Hari Raya Idul Fitri. Padahal ngerasani orang itu seperti "jebakan betmen". Benar jadi ghibah, keliru jadi fitnah. Dua-duanya buruk karena ghibah dan fitnah bisa menimbulkan bahaya dan kesalahpahaman.

Sanksi bagi pengghibah sangat berat, salah satunya pahala yang mengghibah pindah kepada orang yang dibicarakan dan dosa-dosa yang dibicarakan pindah kepada pengghibah tersebut. "Demi Allah, salah seorang dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang Muslim). (H.R. Bukhari)

Dari Anas bin Malik ra, Rasulullah bersabda: Ketika saya dimirajkan, saya melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga sedang mencakar wajah dan dada mereka. Saya bertanya: Siapakah mereka ini wahai Jibril? Jibril menjawab: Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (ghibah) dan melecehkan kehormatan mereka, (HR Abu Daud 4878. Hadis shahih).

Itu buat yang berghibah, lalu bagaimana hukumnya orang yang mendengarkan ghibah? Ya sami mawon.

Terus solusinya bagaimana? Seperti kata Ibu Tejo: "Jadi orang yang solutif gitu lho".

Ibnu Mubarak mengingatkan agar pergi meninggalkan ghibah. Pergilah dari orang yang menggunjing, sebagaimana engkau lari dari kejaran singa.

Lalu masih berselerakah kita ngomongin orang, terutama keburukannya? Seperti Bu Tejo yang mulut pedasnya tak berhenti-berhentinya ngomongin Dian, Bu Tejo yang tak mau kalah dalam perdebatan, Bu Tejo yang kalau bicara seperti rumah klaster (gak ada pagernya), Bu Tejo yang memberikan uang tambahan kepada Gotrek sebagai bagian dari sogokan karena suaminya ingin mencalonkan diri sebagai lurah. Eh, maaf lho ya, ini bukan ngomongin orang, tapi cuman sebagai contoh saja.

Saya sudahi saja tulisan ini, sebelum dilaporin ke saudaranya Bu Tejo yang polisi bintangnya lima jejer-jejer. Tabik.

 
Berita Terpopuler