Islam, Haji dan Kehidupan Batin Masyarakat Jawa

Sesungguhnya ajran Islam sudah merasuk begitu dalam pada masyarkat Jawa

Gahetna.nil
Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID,, -- Oleh:Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Sampai kini masih ada anggapan bahwa orang Jawa masih memeluk Islam setipis kulit ari. Danhal hal ini sudah lama dibantah. Banyak orang, seperti sejarawan  UI, Dr Didik Pradjoko mengatakan tidak benar. Dia mencontohkan dengan fakta dengan mengacu pada hasil penelitian Nancy Florida mengenai pengaruh Islam dalam kehidupan orang Jawa justru semenjak masa lalu sudah sangat dalam.

Bahkan  Didik mencontohkan bila di tinjau dari tulisan dalam berbagai dokumen tulisan Jawa teryata pengaruh Hindunya hanya 10 persen saja. Yang 90 persen adalah ajaran Islam yang ditulis dalam tulisan Jawa. Akibatnya, karena ditulis dengan memakai huruf Jawa langsung secara  ‘gampangan’ dianggap tulisan yang terpengaruh ajaran Hindu.

‘’Naskah kitab jawa itu kira jumlahnya sekitar 450 buah. Dari penelitian Nancy Florida hanya yang berisi ajaran Hindu kurang dari 40 buah.  Sisanya ajaran Islam. Nah, fakta inilah yang kemudian disembunyikan kolonial karena selama ini hanya membesar-besarkan tulisan yang 10 persen saja. Sisanya lebih dari 400 buah tidak disentuh karena mereka tahu isinya ajaran Islam. Jadi selama ini  anggapan negatif ini dibangun dengan maksud tertentu oleh kolonial dengan tujuan sangat politis,’’ kata Didik Pradjoko dalam sebuah percakapan.

Pada sisi lain, kitab-kitab berbahasa Arab semenjak masa lalu banyak sekali diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, sekaligus berhuruf Jawa. Seperti Kiai Ahmad Rifa’i (Ripangi) dari Batang, Pekalongan. Beliau yang hidup abad 19 akhir, banyak menulis saduran dan terjemahan dari kitab berbahasa Arab, sekaligus menuliskan pemikirannya dalam bahasa Jawa.

“Masalahnya orang awam begitu melihat kitan Jawa berhuruf Jawa sudah apriori, wah pasti karya kejawen,’’ kata Didik dalam tulisannya ‘Menguji Keislaman Orang Jawa Santri dan Abangan’. Artikel ini terbit di Harian Pelita 6 November 1992 dan ditulis Didik kala masih mahasiswa.

  • Keterangan foto: Perayaan Sekaten yang masih lestari hingga kini menjadi bukti dalamnya ajaran Islam di Jawa.

Bukti ke dalam batin orang Jawa terhadap Islam terlihat sekali pada sikap priyayi yang rata-rata tetap enggan masuk agama lain, kecuali Islam. Ini sangat jelas ditunjukan misalnya dalam sikap keluarga bangsawawan Surakarta yang terlibat aktif dalam perjuangan pergerakan yang beridiologi Islam. Bahkan Pangeran Hangabehi yang kala itu menjadi putra mahkota dan kemudian menjadi raja dengan gelar Pakubuwono XII, sempat terpilih menjadi pelindung Central Comite Sarikat Islam pada tahun 1913.

Akibatnya, kemunculan Sarekat Islam pernah diramalkan Snouck Hurgronje, bahwa Gubernur Jendral Idenburg harus menghentikan program Kristenisasi karena hal ini akan menimbulkan alasan bagi munculnya gerakan Islam. Snouck kemudian menawarkan program ‘Asosiasi’ yaitu mendidik para pelajar Jawa untuk menjadikan mereka berpikir Barat dan sekuler serta menjauhkan diri dari agama (Islam).

Bukti itu terdapat  dalam laporan A.D Cornet de Groot pada tahun 1822 yang waktu itu merupakan Residen Gresik. Dalam sebuah laporannya yang mendeskripsikan Gresik di Jawa Timur. Dia mengisahkan bahwa rukun Islam sudah dijalankan secara luas oleh masyarakat. Dia menulis begini seperti dikutip oleh sejarawan M.C Ricklefs dalam karyanya ‘Mengislamkan Jawa’:

Poin-poin utama dalam keyakinan Islam, yang dijalankan oleh banyak orang, adalah syahadat (pengakuan iman), sembahyang (doa harian), puasa, zakat (sedekah), fitrah (sumbangan di akhir puasa), dan haji (peziarahan).. Puasa dilakukan oleh sebagian besar orang Jawa dari semua kelas.

Dukungan lain untuk pandangan ini datang dari J.W Winter, yang bekerja sebagai penerjemah di Surakart semenjak akhir abad ke-18 dan menuliskan laporan pada 1824. Pengamatannya terhadai Islam di antara orang jawa mengggabungkan wawasan dan ketidaktahuan dan, karenya, mesti dipahami secara hati-hati. Namun demikian, sungguh menarik bahwa di bagian akhir laporan yang diberi judul ‘Takhayul’, Winter menulis:

‘’Saya tidak mengatakan bahwa masyarakat Jawa tidak menjalankan dengan sungguh-sungguh agama mereka seturut kepercayaan Muhammad, yang dipeluk mereka di segenap penjuru Jawa. Para pemeluknya sangat patuh pada ajaran Islam.

Pada bagian lain, M.C Ricklefs juga mengutup tulisan Sir Thomar Stanford Raffles yang merupakan gubernur Letnan Jawa selama kekuasaan Inggris di Hindia Belanda pada tahun 1811-1816. Dalam bukunya yang terkenal itu ‘History of Java’ dia menulis bahwa pergi haji atau peziarahan ke Makkah adalah lazim. Raffles juga menuliskan laporan bila di setiap desa di Jawa memiliki ‘imamnya’, dan ... di desa yang penting terdapat sebuah masjid atau bangunan khusus yang diperuntukkan untuk peribadatan.

Raffles juga melaporkan tentang praktik sunat utuk anak laki-laki dan perempuan di setiap orang Jawa, di mana yang belakangan dia tulis ‘mengalami operasi kecil, dimaksudkan agar serupa.
 
                       

Adanya bukti dan kisah tentang ke dalam pengaruh ajaran Islam di Jawa saat ini bisa ditunjukan dalam tembang  mendiang Gombloh yang pada tahun 1977 menyanyikan tembang Jawa Pangkur Serat Wedhatama karya  KGPAA Mangkunegoro IV. Raja ini disebut sebagai bapak ‘Reinasance’ (pencerahan Jawa). Dia berhasil membangun kerajaannya dengan sangat makmur dan mempunyai budaya yang tinggi. Hal ini tentunya dengan melakukan kerja sama dengan Belanda. Di masa kini cara memerintah dan kesuksesan Mangkunegara IV di tiru habis-habisan oleh Orde Baru.

 

mingkar mingkuring angkoro
akarono karenan mardi siwi
sinawung resmining kidung
sinubo sinu karto
aduh gusti
pakartening ilmu
ingkang tumrap
agomo ageming aji

 

sopo entuk wahyuning allah
yo dumilah mangulang ilmu bangkit
bangkit mikat rek mangukut
kukutaning jiw-nggo
yen mangkono keno di sebut wong sepuh
liring sepuh
sepi howo
awas ngloroning ngatunggil

 

hong wilaheng sekareng bawono langgeng
sekar mayang
hong wilaheng sekareng bawono langgeng
sekar kajang

 

 

 

Artinya:
Menghindarkan diri dari angkara. Bila akan mendidik putra. Dikemas dalam keindahan syair. Dihias agar tampak indah. Agar tujuan ilmu luhur ini tercapai. Ya Tuhan, kenyataannya, di dunia, agama dianut  aji (atau bisa ditermahkan agama merupakan baju yang sangat berharga).

Barangsiapa mendapat anugrah Allah. Akan cepat menguasai ilmu. Bangkit merebut daya. Atas kesempurnaan dirinya.  Bila demikian,  ia  dapat  disebut orang tua.  Artinya sepi dari nafsu kemurkaan (nafs al-muthmainnah; QS 89:27). Memahami apa yang dua dalam satu.

  • Keterangan foto: Gambar Kraton Jogja di masa awal pendirian.    

                                               ******

Akhirnyai siapa yang masih percaya bahwa ajaran Islam pada orang Jawa diyakini hanya setipis kulit ari. Buktinya sangat jelas sekarang sudah bertolak belakang. Di desa-desa terpencil seperti misalnya di pedalaman Gunung Kidul hingga pedalaman Jawa bagian selatab, marak pengajian dan ibu-ibu di sana kini hampir semuanya mengenakan jilbab ketika mengunjungi kerabat yang tengah mengadakan resepsi.

Nuansa sosial ini --tentu bagi mereka yang memahami proses perubahan masyarakat -- dan mengalami lansung perubahan itu, sudah sangat berbeda dengan pemandangan yang terjadi di perdesaan jawa sampai akhir tahun 1970-an. Saat itu perempuan berkonde dan memperlihatkan rambutnya yang disasak dan diselubungi ‘harnet’ sangat rajin. Dan pemandangan ini kini menghilang.

Sekali lagi, sejarawan M.C Ricklefs pun mengakui bila Islam di Jawa kini sudah sangat dalam dan tidak mungkin balik lagi ke suasana sebelumnya!





 
Berita Terpopuler