Warga Uighur Diminta Laporkan Muslim yang Puasa Ramadhan

Pegawai negeri, pelajar dan guru Uighur kerap dilarang berpuasa Ramadhan.

Dokrep
Warga Uighur Diminta Laporkan Muslim yang Puasa Ramadhan. Muslim Uighur di Cina
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG -- Penduduk daerah Makit (dalam bahasa China, Maigiti) yang berpenduduk mayoritas Uighur di barat laut Daerah Otonomi Uighur  Xinjiang (XUAR), China, diperintahkan melaporkan siapa saja yang kedapatan berpuasa di bulan Ramadhan. Selama bertahun-tahun, warga Uighur di Xinjiang dilarang sepenuhnya menjalani puasa Ramadhan karena penekanan dan pembatasan yang diberlakukan oleh pemerintah China.

Baca Juga

Dalam banyak kasus, pegawai negeri, pelajar dan guru kerap dilarang berpuasa selama bulan suci ini. Di daerah-daerah tertentu di Xinjiang, akses ke masjid lebih dikontrol secara ketat.

Namun di sisi lain, restoran diperintahkan tetap buka. Menjelang Ramadhan, pensiunan dari kalangan Uighur kerap dipaksa berjanji mereka tidak akan berpuasa atau sholat untuk memberi contoh bagi masyarakat luas dan memastikan yang lainnya juga menahan diri.

Untuk mengetahui pembatasan apa yang diberlakukan selama Ramadhan terhadap warga Uighur, situs Layanan Uighur RFA (Radio Free Asia) berbicara dengan sejumlah sumber resmi dari beberapa prefektur yang berbeda. Menurut laporan RFA, penerapannya sangat bervariasi. Ada penerapan yang jelas tentang puasa di beberapa tempat dan sedikit di daerah lain, yang memang sudah memiliki larangan efektif selama beberapa tahun.

Dalam satu contoh pendekatan, pihak berwenang telah meningkatkan kampanye propaganda menentang puasa di Makit di prefektur Kashgar (Kashi). Makit merupakan daerah dengan sekitar 83 persen penduduknya adalah etnis Uighur. Di sana, warga diberitahu mereka diminta melaporkan teman atau kerabat yang berpuasa Ramadhan.

Baru-baru ini, RFA berbicara dengan seorang pegawai Uighur di pemerintah daerah Makit, yang mengatakan warga telah diberitahu mereka dapat dihukum karena berpuasa. Hukuman itu termasuk dikirim ke salah satu jaringan kamp penahanan XUAR. Di kamp tersebut, pihak berwenang China diyakini telah menahan sebanyak 1,8 juta warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya sejak April 2017.

"Propaganda tentang Ramadhan lazim di kabupaten, kota, dan desa. Ikut serta dalam praktik Ramadhan disebarkan sebagai bentuk ekstremisme agama," kata seseorang dengan syarat anonim kepada RFA, dilansir, Jumat (15/5).

Seorang pemimpin desa Uighur di Makit, yang juga menolak disebutkan namanya, mengatakan tingkat pemerintah daerah telah mengeluarkan pemberitahuan selama pertemuan khusus menjelang Ramadhan, yang mengatakan 'tidak untuk berpuasa'. Seorang pegawai pemerintah dari sebuah kota kecil di Makit mengatakan kepada RFA, alasan di balik kampanye ini adalah untuk menegakkan keamanan nasional.

"Jika mereka berpuasa, maka mereka akan berkumpul untuk makan, dan jika mereka berkumpul, maka mereka akan mengganggu masyarakat, mereka akan mengancam keamanan nasional. Itu sebabnya kami menyebarkan penentangan menjalankan Ramadhan. Sudah dua atau tiga tahun orang-orang tidak berpuasa. Di desa kami setiap orang tahu untuk jangan berpuasa, sehingga mereka tentu tidak berpuasa," kata sumber tersebut.

Pegawai tersebut mengatakan, seseorang yang menemukan orang lain berpuasa harus melaporkannya kepada pihak berwenang. Ia mengatakan, jika mereka menemukan orang-orang yang merayakan Ramadhan, mereka akan memberi tahu pejabat yang bertanggung jawab di desa-desa dan kota-kota.

"Kami harus memberi tahu polisi daerah, tetapi karena kami belum menemukan siapa pun yang berpuasa di kota kami, kami belum melaporkan siapa pun," ujarnya.

 

 

RFA juga berbicara dengan seorang pejabat di daerah Peyziwat (Jiashi) di Kashgar. Ia mengatakan, kotanya telah melembagakan kehadiran wajib pada upacara pengibaran bendera di waktu fajar setiap hari serta studi politik malam. Menurutnya, itu merupakan bagian dari upaya mencegah warga dari puasa karena itu adalah satu-satunya waktu dalam sehari mereka boleh makan.

"Sejak kami memulai upacara pengibaran bendera, pengawasan tetangga terhadap satu sama lain telah diperkuat, sehingga tidak ada yang bisa meluangkan waktu untuk berbuka puasa. Studi politik malam dimulai pukul 21.30 dan berakhir pada 23.30, dan mereka ditahan di komite lingkungan," katanya.

Seorang petugas Uighur di Kantor Polisi Distrik Beimen di ibu kota XUAR, Urumqi, mengatakan kepada RFA warga di sana belum diperintahkan untuk saling melaporkan soal puasa. Namun, pihak berwenang terus mengawasi siapa yang menjalani puasa Ramadhan dan mencatat kegiatan mereka.

"Ya, ada pedoman khusus untuk Ramadhan. Tetapi, bos kami memerintahkan kami tidak membicarakan hal itu melalui telepon," katanya.

Petuga itu berkata, ada daftar orang-orang yang berpuasa dan mendatangi masjid selama bulan Ramadhan. Menurutnya, mereka memiliki unit khusus yang ditugaskan untuk melacak itu.

Sebenarnya, menjelang Ramadhan bulan lalu, kelompok-kelompok pengasingan Uyghur telah mendesak masyarakat internasional untuk berbicara atas nama anggota kelompok etnis mereka yang mengalami penganiayaan di XUAR. Secara khusus, mereka meminta umat Islam di seluruh dunia untuk mendo'akan orang-orang Uighur selama bulan suci Ramadhan dan menyerukan kepada pemerintah masing-masing untuk menuntut agar China segera menghentikan penganiyaan agama terhadap warga Uighur.

Kongres Uighur Dunia yang berbasis di Munich (WUC) mencatat, negara-negara dan pemimpin mayoritas Muslim bersikap diam terhadap situasi di Xinjiang. Karena itu, WUC meminta mereka untuk berhubungan kembali dengan keyakinan dan nilai-nilai yang mereka pegang. Pemimpin Muslim diminta bertindak benar dengan menuntut China menghentikan kejahatannya terhadap kemanusiaan atas etnis Uighur.

Kampanye untuk Uighur (CFU) yang berbasis di Washington menekankan, bahwa puasa bagi umat Islam mengingatkan akan penderitaan, perjuangan dan rasa sakit orang lain. Puasa berarti menempatkan diri pada posisi mereka yang kurang beruntung.

"Karena itu, kami meminta Anda melakukan hal yang sama. Ingatlah orang Uighur yang direnggut dari keluarga mereka, mereka yang dianiaya karena agama mereka yang damai, dan mereka yang terus menjadi tahanan tanpa kejahatan," demikian seruan CFU.

Penahanan massal di XUAR, serta kebijakan lain yang dianggap melanggar hak-hak Uyghur dan Muslim lainnya, telah menyebabkan meningkatnya seruan oleh masyarakat internasional untuk meminta pertanggungjawaban Beijing atas tindakannya di wilayah tersebut. Tindakan China itu juga mencakup penggunaan teknologi canggih dan informasi untuk mengendalikan dan menekan warganya.

Pada Juli tahun lalu, di Kantor Menteri untuk Memajukan Kebebasan Beragama di Washington, Sekretaris Negara AS Mike Pompeo menyebut kamp-kamp penahanan di XUAR sebagai salah satu krisis hak asasi manusia terburuk di zaman sekarang dan merupakan noda di abad ini.

 

 

 
Berita Terpopuler