Polemik Anjing: Aceh Bermahzab Syafii dan Turki Yang Hanafi

Perlakuan anjing yang berbeda karena pemahaman mahzab fiqih.

gehetna.nl
Rangkain gerobak pemasok makanan untuk personil militer kolonial Belanda yang akan dikirimkan dari wilayah Indrapoeri ke bivak militer Belanda yang ada Glieng (Aceh) yang berada di puncak bukit Peng Apih. TGerobak sengaja ditampakkan seperti sebuah rumah kayu untuk mencegah serangan musuh. Foto dibuat pada tahunl 1880.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nia Deliana*, Mahasiswi Pacasarjana Bidang Sejarah dan Peradaban di Universltas Islam Antarbangsa Malaysia, Tinggal di Turki.

Ketika membaca judul artikel ini, adalah biasa jika ada tanggapan sinis, olokkan, bahkan ketidaknyamanan yang muncul dalam benak para pembaca. Sebelum memulai inti uraian disini, saya ingin mengingatkan bahwa artikel ini tidak ditulis untuk menyinggung keyakinan dan aplikasi ibadah suatu kelompok melainkan lebih pada upaya untuk membandingkan tingkat ‘umran’ antara masyakarat Turki dan Aceh.

Diharapkan tulisan ini bisa untuk membuka kembali gulatan pikiran terhadap realita masyarakat sosial sehingga dapat melahirkan paradigma baru yang akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan hewan ke depan.

Barangkali Anda bertanya mengapa hanya anjing yang menjadi sorotan dalam artikel ini. Ini dikarenakan stigma yang melekat pada anjing dan hubungannya dengan masyarakat pemeluk mazhab syafi’i ini berada pada level lebih buruk dibandingkan dengan hewan lain.

Fatalnya lagi, terutama jika ia melibatkan sentuhan dengan Muslim Aceh. Dan perlu diperhatikan juga, artikel ini tidak bermaksud memberikan lebih banyak penerangan terhadap hadist-hadist dan ayat-ayat seputar Muslim dan anjing yang sudah  begitu jelas itu. Apa yang hendak dipaparkan ini adalah semata mata untuk menyampaikan narasi mengenai sejauh mana kita sudah berbuat selaku seorang Muslim pada seekor anjing.

Rendahan, Menjijikkan, Ukuran Murtad

Anjing adalah kata yang secara automatis menyigapkan kebanyakan orang tidak hanya di Aceh, tapi juga di Indonesia. Secara mayoritas, penggunaan kata anjing hanya sebatas penegasan hasutan, penghinaan dan serangan. Entah sejak kapan posisi hewan yang pernah terkenal sebagai binatang paling setia ini menjadi begitu rendah dalam masyarakat kita. Hewan yang bahkan dalam Islam pun merupakan salah satu paling mulia sebagaimana yang diberitakan dalam ayat-ayat surat al Kahf.

Lebih dari 30 tahun riwayat hidup penulis, hampir tidak ada kalangan masyarakat yang dekat dengan anjing. Jikapun ada, kebanyakannya hanya diperuntukkan untuk kegiatan ‘let bui’ (usir babi) yang dijatuhkan pada setiap hari Rabu. Berdasarkan narasi oral generasi-generasi tua yang pernah saya tanyakan mengenai soal ini menjawab bahwa pada jaman dahulu, barangkali sekitar tahun 1950an ke bawah, beberapa pihak masyarakat diberbagai wilayah di Aceh mengadopsi anjing terutama pada masa panen.

Keterangan foto: Masyarkat Aceh dengan rumah panggungnya. Ini foto tentang Teuku Umar dan pengikutnya pada tahun 1896 M.

Pemeliharaan anjing dalam masyarakat Aceh dilakukan untuk menjaga tanaman-tanaman dari serangan-serangan babi hutan. Satu atau dua orang dalam satu 'kampong' dipercayakan untuk mengasuh anjing-anjing tersebut sesuai dengan ajaran-ajaran panutan Mazhab Syafi’i. Di Padang Sakti, Aceh, tempat saya tinggal, terakhir kali kegiatan ‘let bui’ ini dilakukan pada tahun 1990-an.

Dalam kondisi lain, seorang teman perempuan yang menetap di kawasan Jeunib menceritakan pengalamannya dengan seekor anjing. Ayahnya merupakan salah seorang pawang anjing yang ditunjuk oleh kepala 'kampong'. Sebagaimana layaknya ikatan dengan hewan peliharaan, teman perempuan tersebut mengakui rasa sayangnya yang mendalam pada anjing yang kerap bermain dan menyapa di pekarangan rumahnya sejak ia masih kecil.

Anjing miliknya tersebut begitu setia yang dalam beberapa kesempatan menolong keluarganya dari peristiwa pencurian. "Tentu tanpa sentuhan fisik", katanya. Meskipun begitu, ada beberapa masyarakat 'kampong' yang tidak senang. Keluarganya mendapatkan beberapa ancaman jika tidak membuang anjing tersebut jauh dari perkampungan. Akhirnya anjing itu tewas diracun.

Saya tidak bermaksud meletakkan sebuah ‘sifat’ bagi orang Aceh dalam soal sikap pada anjing. Terlalu berlebihan juga jika ada asumsi yang mencirikhaskan masyarakat Aceh dengan kekerasan. Lebih dari itu barangkali merupakan sikap ‘terbatas’ yang mendominasi persepsi dan tingkah laku masyarakat yang mencerminkan bahwa selama hewan ini tidak menginjakkan kakinya dalam rumah-rumah penduduk dan tidak merugikan ketenangan masyarakat sekitar mereka, hidup binatang ini dapat dijamin aman. Kondisi 'tidak ambil pusing' ini pula yang berimbas pada kealpaan stigma ‘menolong’ tidak hanya bagi anjing-anjing tapi juga kucing-kucing jalanan yang terlantar, sakit, dan kelaparan.

Pengabaian ini juga yang menciptakan pseudo-truth (kebenaran palsu) yang kemudian menyebabkan sikap terhadap perbedaan tanggapan menjadi kian buruk. Misalnya sebagaimana yang terlihat pada tahun 2015 lalu saat seorang dosen yang pada awalnya hanya disorot pada inisiatif toleransi beragamanya yang disebut sebut tak sensitif menjadi jauh lebih buruk sejak foto-foto kedekatan 'luar biasanya' dengan seekor anjing mengakibatkan hukuman semakin mudah dijatuhkan padanya.

Tidak hanya sang dosen ditembaki dengan label-label negatif yang barangkali akan melekat dalam ingatan seluruh keluarganya, tapi juga dengan mudah ancaman-ancaman kematian menusuknya. Barangkali bagi masyrakat Aceh dan Indonesia posisi pendidik tersebut perlu disetarakan dengan anjing rendahan yang ia peluk dengan penuh suka yang kemudian memaksanya mengungsi dari kampung halamannya.

Anjing tersebut menjadi ukuran murtad tidaknya seseorang, padahal agama Islam telah jelas mencirikan seorang murtad. Begitu juga dengan seorang muslimah bercadar yang mengasuh 11 anjing d irumahnya juga bisa diperkirakan punya hidup sosial yang tidak aman. Tidak perlu lebih jauh lagi bicara soal hak-haknya yang terdzalimi.

Dalam sejarah masyarakat Indonesia, apalagi Aceh, ada kekurangan kajian mengenai hubungan manusiawi masyarakat dengan hewan. Sepanjang sejarah Indonesia/Aceh, hewan hewan selain anjing dan kucing barangkali telah tercatat secara berserakan dalam berbagai sumber literatur primer dan sekuler. Meskipun begitu, penelitian ekstensif bisa dikatakan tidak memadai sama sekali.

Padahal hewan hewan seperti gajah, singa, beruang, dan hewan-hewan lainnya telah didokumentasikan oleh berbagai ahli flora dan fauna kolonial sejak abad ke-19. Barangkali ini juga menjadi suatu sebab antusiasme terhadap perlindungan hewan tidak terlakoni. Meskipun begitu, foto foto yang sempat didokumentasikan menunjukkan bahwa hubungan masyarakat Muslim lokal dengan hewan tidak menunjukkan persepsi rendahan dan tindak kekerasan, termasuk pada anjing.

Perlakuan Masyarakat Turki pada Anjing

Terlepas dari soal meningkatnya minat dan dukungan masyarakat pada dunia perpolitikan di Turki, Aceh barangkali juga perlu mencontohi pendekatan-pendekatan masyarakat dan kebijakan pemerintah Turki pada kesejahteraan hewan termasuk pada seekor anjing.

Anjing liar yang berkeliaran di area perkotaan Istanbul berjumlah 150.000 ekor dengan populasi 14 juta manusia. Anjing liar biasanya dengan mudah dapat diidentifikasi dengan salah satu kupingnya yang tertindik hijau atau warna-warna lainnya. Identifikasi ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah dari untuk menandai bahwa anjing-anjing tersebut telah mendapatkan hak vaksin bagi kesehatannya. Alokasi dana yang diperoleh oleh kementrian kesehatan setiap tahunnya berkisar puluhan juta lira.

Golongan cacat fisik bersama anjing penolongnya

Dalam tatanan beberapa kota di Istanbul, pemerintah dari kementrian tatanan kota menandai titik-titik penting yang dimaksudkan sebagai lokasi anjing-anjing liar ini mendapatkan makanannya. Ini dapat dengan mudah didapati di kawasan-kawasan kadikoy dan sekitarnya.

Selain itu petugas-petugas kebersihan juga begitu telaten menjaga taraf kesehatan udara kota yang jauh dari keasaman kotoran-kotoran yang dihasilkan anjing-anjing tersebut.

Anjing-anjing ini juga dapat dengan bebas tanpa merasa terancam tidur dimana saja, termasuk dalam sebuah kawasan pemakaman ulama dan pekarangan masjid. Barangkali akan mencengangkan bagi pendatang Muslim didunia untuk melihat para anjing seakan bercengkerama dengan muslimah-muslimah berjilbab dan penghulu-penghulu pendzikir dengan ekornya yang melambai-lambai. Tidak jarang juga terlihat ramai yang memberikan makanan secara langsung dari telapak-telapan tangan.

Disini barangkali Anda menduga bahwa ini disebabkan oleh perbedaan anutan Mazhab dimana Mazhab Hanafi yang kebanyakan dianut oleh masyarakat muslim Turki ini tidak begitu ketat aturannya soal anjing. Dalam beberapa aspek barangkali Anda benar. Tapi pengaruh yang paling besar ada pada pandangan “menghargai manusia dan makhluk tuhan lainnya” yang bagaikan mengalir dalam darah diturunkan dari satu generasi ke generasi. Ya, sikap penyanyang masyarakat Turki dengan anjing-anjing ini telah tercatat begitu mendalam dalam sejarah-sejarah kebesaran Turki Usmani.

Namun disamping itu semua, hal yang paling penting dan berpengaruh terhadap keberlangsungan kesejahteraan hewan di Turki adalah pengesahan undang-undangan kesejahteraan hewan tahun 2004, tertuang dalam butir-butir hukum perlindungan hewan no 5199 yang dijalankan secara merata diseluruh wilayah Turki.

Menemukan realita persamaan ajaran Islam di Aceh pada zaman dahulu, saya mendukung ucapan  Ekrem Bugra Ekinci yang menuliskan bahwa fundamentalisme sikap menyayangi anjing ini terletak pada ucapan Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa seorang pelacur masuk surga karena memberikan air pada seekor anjing kehausan, sedangkan seorang perempuan taat disisi lain masuk neraka karena membiarkan seekor kucing kelaparan.

Dengan ini Ekinci kemudian melanjutkan pendapat akan kesaksiannya bahwa masyarakat Turki lebih takut pada hukuman ini jika menelantarkan hewan, bagi seekor anjing sekalipun. Oleh Karena itu, sambungnya, pada zaman dahulu adalah pemandangan biasa untuk melihat orang orang terlebih dahulu memberikan makanan hewan-hewan disekitaran rumahnya sebelum mereka sendiri duduk dan menyantap hidangannya. Begitu juga, terdapat hukuman bagi pengabai dan penjahat hewan yang selalu diikuti dengan pengasingan dari masyarakat.

Masih berdasarkan fakta sejarah yang dihadirkan Ikinci, “dalam daftar sertifikat Yayasan Haji Sayyid Mustafa di Rumelihisari tertulis: “Anjing-anjing jalanan harus diberi makanan dengan roti segar yang berharga 30 akce (koin perak) setiap hari”. “ Ini merupakan salah satu contoh kepedulian pemerintahan Muslim pada hewan. Pada dasarnya Turi Usmani membangun yayasan khusus, barak hewan, bahkan rumah sakit bagi perlindungan dan penyejahteraan kucing, burung-burung merpati, bangau, anjing dan banyak hewan-hewan lainnya.

Tahun 1909-1910 merupakan tahun kepedihan bagi anjing anjing yang telah terbiasa hidup diwilayah perkotaan. Dengan minat pemerintah demi memeluk industri modernisme sepenuhnya, anjing anjing ini diburu dan dikapalkan untuk pembuangan ke sebuah pulau tanpa penghuni. Mayoritas anjing-anjing ini tewas kelaparan. Dikatakan lolongan lapar terdengar hingga Istanbul. Sebagian bahkan dikatakan berenang sepanjang teluk Anatolia untuk bisa kembali ke Istanbul. Sebuah peristiwa sejarah yang masih dikenang hingga saat ini.

Tahun 2013, isolasi anjing-anjing ini terdengar kembali dari para pengambil kebijakan di parlemen Turki yang ditentang oleh hampir seluruh masyarakat Turki dengan dikomandoi oleh aktivis-aktivis perlindungan hak hewan. Kebijakan pengasingan anjing-anjing ini berhasil digagalkan.

Hingga saat inipun, edukasi terhadap perlindungan hewan ini terus didukung oleh pemerintah Turki. Ini untuk menekan angka-angka kekerasan terhadap hewan yang masih disaksikan diberbagai kawasan perkotaan dan pedalaman.

Intinya, realita saat ini di Aceh menjelaskan bahwa ada pertentangan antara nilai-nilai Islami yang diajarkan dalam masyrakat dengan praktek yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari.  Debat debat lebih kondusif dibutuhkan untuk menumbuhkan kembali kepekaan terhadap pentingnya dan tingginya amaran Islam untuk menjaga dan melindungi mahkluk-makhluk tuhan yang lain. Ini demi menyediakan ruang bagi tumbuhnya komunitas-komunitas Islami yang peduli tidak hanya pada sesama tetapi juga pada hewan. Dan terlebih penting lagi, jika tidak bisa berbuat banyak pada peningkatan hak-hak hewan, maka tidak ada hak pula bagi Anda untuk menghakimi atau merugikan mereka yang menunjukkan kasih sayangnya meskipun itu terhadap anjing sekalipun. Itu adalah batasan yang adil tidak hanya menurut hukum sipil sekulerisme dan demokrasi tapi juga hukum Islam.

---------

*Nia Deliana: Relawan Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT)

Refernsi

  • Cihangir Gundogdu, The state and the stray dogs in late Ottoman Istanbul: from unruly subjects to servile friends in Journal of Middle Eastern Studies, 15 February 2018.
  • -William , M. Mann et all, National Geographic Society-Smithsonian Institution Expedition to the Dutch East Indies, 1937.

    https://www.dailysabah.com/feature/2015/01/18/the-ottomans-exemplary-treatment-of-street-animals.

    https://www.dw.com/en/istanbuls-forgotten-dogs-struggle-for-survival/a-16997550.

 
Berita Terpopuler