Lebih lanjut, keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 140/PUU-VII/2009, menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 1/pnps/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama tidak membatasi pengakuan atau perlindungan hanya terhadap enam agama, akan tetapi mengakui semua agama yang dianut rakyat Indonesia.
Meskipun dalam praktiknya, pada sektor pendidikan dan administrasi kependudukan, para penganut kepercayaan di luar “agama resmi” masih sering mendapat perlakuan diskriminatif.
Sebelum 2006, ada jutaan rakyat Indonesia yang terpaksa menuliskan nama agama tertentu pada kolom agama di KTP. Padahal agama tersebut bukan agama atau kepercayaan yang dianutnya. Alasannya, karena kepercayaan yang dianut, dianggap tidak diakui negara.
Setelah 2006, ada kebijakan yang mengizinkan pemegang KTP untuk mengosongkan keterangan pada kolom agama pada KTP. Baru pada 2019, tepatnya pada 12 Februari, ada berita bahwa seorang pria bernama Bonie Nugraha Permana, berserta keluarganya bisa menuliskan kepercayaan kepada tuhan, pada kolom agama di KTP.
Tidak adanya pengakuan atas agama dan kepercayaan tertentu serta perlindungan terhadap pemeluknya, menyebabkan perlakuan diskriminatif terhadap sebagian rakyat Indonesia yang dianggap tidak memeluk agama “resmi”. Di antara mereka bahkan ada yang menerima kekerasan ketika melaksanakan peribadatan.
Padahal istilah “agama resmi” atau “agama yang diakui” ini juga tidak jelas definisinya. Pembedaan antara agama serta kepercayaan yang “diakui” dan “tidak diakui” ini bahkan bisa dikatakan bertentangan dengan konstitusi.
Sejak 1978, ada lima agama yang “diakui” di Indonesia. Lalu ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, ada tambahan satu lagi agama yang “diakui.” Pertanyaannya, siapa yang berhak menentukan agama dan kepercayaan apa yang diakui dan tidak diakui negara?
Pemerintah sebagai penanggungjawab kesejahteraan dan keamanan rakyat, harus tegas memberikan jaminan kebebasan berkeyakinan serta jaminan perlindungan atas semua penganut agama dan kepercayaan di Indonesia.
Para pejabat negara, khususnya yang berkaitan dengan urusan keagamaan, kesejahteraan, dan kemanan, tidak boleh menganak-tirikan para pemeluk kepercayaan tertentu. Karena negara ini didirikan untuk semua rakyat Indonesia. Bukan untuk beberapa golongan tertentu saja.
* Sekretaris PP MDS Rijalul Ansor, Pengamat sosial-keagamaan.