Kamis 29 Jul 2021 14:06 WIB

Bagaimana Kita Bersikap terhadap Aliran Kepercayaan?

Aliran kepercayaan sebagai bentuk kepercayaan tak boleh didiskriminasi

Aliran kepercayaan sebagai bentuk kepercayaan tak boleh didiskriminasi. Ilustrasi Sunda Wiwitan
Foto: Antara/Novrian Arbi
Aliran kepercayaan sebagai bentuk kepercayaan tak boleh didiskriminasi. Ilustrasi Sunda Wiwitan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ali Mashar* 

Filsuf Perancis, Henri Bergson, punya perkataan yang terkenal, “Di masa lalu, atau bahkan pada zaman ini, kita bisa jumpai ada masyarakat tanpa sains, tanpa seni, tanpa filsafat, tapi tidak pernah ada masyarakat tanpa agama.”  

Baca Juga

Rudolf Otto, dalam bukunya, The Idea of the Holy, meyakini bahwa sejak dilahirkan, setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk “beragama”. Setiap manusia selalu merasa dirinya tidak sempurna dan tidak berkuasa. 

Perasaan inilah yang menyebabkan manusia memiliki apa yang disebutnya sebagai “creature-feeling” yakni suatu kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk yang diciptakan dan dikuasai kekuatan sempurna di luar dirinya.  

Ibnu Qoyim mengatakaan bahwa kecenderungan beragama dan meyakini keberadaan Tuhan adalah fitrah dari Allah untuk setiap manusia.  

Pew Research Center menyebutkan bahwa 16 persen populasi dunia yang tidak memeluk agama-agama besar seperti Islam, Hindu, Kristen, dan Buddha, tetap memiliki keyakinan keagamaan di dalam diri. Ada ribuan kepercayaan-agama di dunia yang dianut manusia hingga saat ini.  

Setidaknya ada 12 juta rakyat Indonesia yang memeluk aliran kepercayaan, di luar enam agama yang “diakui” sebagaimana umumnya kita ketahui. Para penganut kepercayaan ini juga memiliki kewajiban-kewajiban religius yang harus dilaksanakan sebagaimana penganut enam agama “resmi” lainnya.  

Sayangnya, selama puluhan tahun mereka ini dipaksa untuk menuliskan agama “resmi” yang bukan keyakinan mereka pada KTP mereka dan tidak mendapatkan perlakuan adil dari negara dalam kaitannya dengan ekspresi dan praktik ibadah. 

Duabelas juta orang ini adalah rakyat Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia. Tak ada prinsip keadilan apapun yang membenarkan perlakuan diskriminatif terhadap para penganut aliran kepercayaan di luar agama “resmi.”  

Di Indonesia, ada sekitar 187 kepercayaan yang dianut oleh masyarakat. Kebanyakan kepercayaan ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Bahkan di ataranya telah ada sebelum beberapa agama “resmi” yang kita ketahui, dianut rakyat Indonesia.  

Setiap orang yang menganut agama atau kepercayaan tertentu, meyakini bahwa agama atau kepercayaannya adalah jalan keselamatan, serta berharap orang lain juga meyakini apa yang diyakininya. Tetapi tidak ada manusia yang boleh memaksa orang lain untuk mengikuti keyakinannya. Agama dan kepercayaan adalah perkara individu yang tidak boleh dipaksakan.  

Sepanjang sejarah peradaban yang bisa ditelusuri, tidak pernah ada satu agama atau kepercayaan yang dianut dan diyakini seluruh penduduk bumi. Manusia selalu berbeda kepercayaan dan keyakinan. Setiap usaha memaksakan keyakinan hanya akan melahirkan penindasan dan kekerasan.  

 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement