Kamis 29 Jul 2021 14:06 WIB

Bagaimana Kita Bersikap terhadap Aliran Kepercayaan?

Aliran kepercayaan sebagai bentuk kepercayaan tak boleh didiskriminasi

Aliran kepercayaan sebagai bentuk kepercayaan tak boleh didiskriminasi. Ilustrasi Sunda Wiwitan
Foto:

Alquran, kitab suci umat Islam bahkan secara tegas menyatakan bahwa “Tidak ada paksaan dalam beragama.” Artinya tidak boleh ada orang yang dipaksa memeluk agama Islam. Meskipun jika seseorang sudah menjadi Muslim, maka dia harus tunduk pada aturan-aturan agama Islam. Sebagai umat Islam, tentu kita percaya bahwa: 

قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ “Telah jelas mana jalan yang benar dan mana (daripada) jalan yang sesat.” (QS Al Baqarah 256). Kita tidak boleh memaksa orang untuk memeluk agama Islam, atau agama lainnya. Dalam menyikapi perbedaan keyakinan, kita diajari prinsip “bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” 

Umat Islam juga dilarang berlaku tidak adil kepada siapapun. Melarang manusia untuk memeluk kepercayaan yang diyakininya serta perlakuan diskriminatif terhadap mereka yang berbeda keyakinan adalah bentuk ketidak-adilan. Padahal, perilaku adil adalah ciri orang-orang yang bertakwa.  

Karena keyakinan keagamaan dan kepercayaan merupakan sesuatu yang tidak bisa dipaksakan, maka negara-negara di dunia menyepakati deklarasi universal tentang hak asasi manusia, yang juga mengakui kebebasan manusia untuk memliki agama dan keyakinan. Deklarasi ini juga mengakui kebebasan setiap orang untuk mempraktikkan dan mengekspresikan keyakinan agama dan kepercayaannya baik secara individu maupun kelompok (artikel 18).  

Tentu saja kebebasan berkeyakinan dan mengekspresikan keyakinan ini tidak bisa dijadikan alasan untuk mengekspresikan kebencian dan penghinaan terhadap keyakinan orang lain.

Sebaliknya, kesepakatan untuk mengakui kebebasan berkeyakinan ini bertujuan agar manusia saling menghargai dan menghormati dalam beragama dan berkeyakinan.   

Orang Katolik atau orang Islam misalnya, boleh saja menganggap ajaran Kejawen, Bahai, Sikh, Ahmadiyah, atau agama Hindu dan lainnya adalah ajaran yang salah. Tetapi orang Katolik maupun orang Islam tidak boleh menghina ajaran agama dan kepercayaan mereka, apalagi melarang mereka untuk mempraktikkan ajaran agama dan kepercayaan mereka.  

Di Indonesia, kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin oleh konstitusi. Pasal 28E ayat 1 dan 2, serta Pasal 29 ayat 2, UUD 1945 menegaskan jaminan bagi setiap orang untuk memeluk agama atau kepercayaan, serta beribadah menurut agama atau kepercayaannya masing-masing. Jaminan ini juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, pasal 22, tentang Hak Asasi Manusia.  

Beberapa peraturan perundang-undangan lain juga memberikan jaminan atas hak asasi setiap individu, termasuk hak untuk memperoleh perlakuan yang sama di depan hukum, serta mendapatkan pelayanan publik tanpa diskriminasi berdasarkan identitas tertentu, termasuk agama dan kepercayaan. 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement