Aku tambah bingung. Ini dipecat tapi tak diberitahu kesalahannya apa. Aku ngotot tak mau menerima pemecatan itu kalau tak diberitahukan alasannya.
Si manajer SDM diam sejenak. Dia seperti berpikir keras. “Baiklah aku sampaikan sebagai kawan,” katanya.
Dia bercerita, pada saat menyampaikan kabar itu sebenarnya dia juga sudah tak menjabat sebagai manajer SDM. Dia sudah mengundurkan diri per hari itu. Tugas terakhirnya adalah memberitahu bahwa kontrakku tak diperpanjang.
Menurutnya, pemecatanku tak ada urusan dengan kinerja. Dia bilang kinerjaku bagus.
“Anda dianggap mata-mata ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indononesia).”
Tentu saja aku terkaget-kaget mendengar alasan itu. Mata-mata?
“Kok bisa? “ tanyaku heran.
Dia mengangkat bahu.
Aku tak habis pikir mengapa alasan itu yang dipakai untuk memecatku. Jika kinerjaku dianggap lebih buruk dibandingkan reporter yang lain, mungkin aku bisa terima. Asal ada datanya.
Atau aku dianggap tak bisa diatur, mungkin saja. Aku memang termasuk repoter yang agak keras kepala. Tidak semua penugasan dari redaktur atau koordinator liputan aku telan mentah-mentah begitu saja. Jika ada yang tak masuk akal, aku akan mendebat, walaupun kadang terpaksa aku jalankan juga.
Menurutku reporter itu harus kritis, dengan begitu isu koran menjadi lebih bermutu. Kadang-kadang redaktur dan koordinator liputan di kantor itu hanya sok tahu dengan yang terjadi di lapangan.
Satu lagi yang aku sesalkan, mengapa tidak mereka sendiri yang memberitahukan tentang nasibku? Mengapa meminta kepala SDM yang sudah mengundurkan diri untuk menyampaikan kontrakku diputus?