Rabu 07 Oct 2020 18:36 WIB

Pemerintah Luruskan Aturan PHK di UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja memberikan ruang kepada peranan serikat pekerja/buruh terkait isu PHK

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Pemutusan Hubungan Kerja (ilustrasi)
Foto: principalspage.com
Pemutusan Hubungan Kerja (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menekankan, Undang-Undang Cipta Kerja tetap mengatur mengenai ketentuan persyaratan dan tata cara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Beleid yang baru disetujui DPR pada Senin (5/10) ini juga disebutkan Ida, tetap memberikan ruang bagi serikat untuk memperjuangkan kepentingan anggotanya yang dalam proses PHK.

Ida mengatakan, banyak distorsi informasi yang ada di masyarakat mengenai cluster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. Tidak terkecuali terkait PHK.

Baca Juga

Ida menyebutkan, dalam rangka memberikan perlindungan kepada pekerja/ buruh yang menghadapi PHK, UU Cipta Kerja tetap membahas syarat dan ketentuan PHK seperti yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. "Jadi, tidak benar kalau dihapus," tuturnya, dalam konferensi pers secara  virtual, Rabu (7/10).

UU Cipta Kerja, tambah Ida, juga memberikan ruang kepada peranan serikat pekerja/ buruh terkait isu PHK. Dalam hal ini, serikat tetap bisa melakukan advokasi kepada anggota saat mengalami persoalan PHK dengan pengusahanya.

Selama proses penyelesaian PHK, Ida menuturkan, pengusaha wajib memberikan upah kepada pekerja. Kewajiban pengupahan dilakukan sampai ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. "Ini sebagaimana ketentuan Mahkamah Konstitusi tahun 2011," ucapnya.

Selain upah, pemerintah juga memberikan jaminan sosial kepada pekerja/ buruh yang terkena PHK melalui UU Cipta Kerja. Jaminan yang dikenal dengan nama Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) itu memberikan manfaat berupa uang tunai, pelatihan kerja dan akses penempatan pasar kerja yang dikelola pemerintah.

Menurut Ida, JKP menjadi ketentuan baru yang diterima oleh pekerja di samping pesangon yang diberikan pengusaha. Dalam regulasi sebelumnya, UU Nomor 13/2003, pemerintah tidak mengatur pemberian jaminan tersebut.

Mengenai pesangon pun, disebutkan Ida, sudah diatur dan diberikan kepastian dalam UU Cipta Kerja.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, isu lain yang juga mengalami disrupsi adalah waktu kerja dan istirahat. Ia menuturkan, ketentuannya masih sesuai dengan UU 13/2003. Tapi, sektor tertentu yang membutuhkan fleksibilitas, seperti perdagangan elektronik (e-commerce) sudah diatur dalam Pasal 77 UU Cipta Kerja.

Airlangga menambahkan, UU Cipta Kerja menegaskan, pengusaha wajib memberikan cuti dan waktu istirahat. Termasuk untuk memberikan waktu ibadah. "Demikian juga terkait cuti melahirkan, menyusui dan haid, tetap disesuaikan dengan Undang-Undang (re: UU 13/2003). Tidak dihapus," katanya, dalam kesempatan yang sama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement