Sejarah Perlawanan Palestina, Ini Mengapa Hamas tak Bisa Dikalahkan

Tak pernah ada masa saat Israel bisa leluasa menjajah Palestina.

Wikimedia Commons
Kelompok Fidayin berbaris di Lebanon pada 1950-an.
Red: Fitriyan Zamzami

Oleh Fitriyan Zamzami

Baca Juga

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Juru Bicara IDF Laksamana Muda Daniel Hagari akhirnya mengakui, perlawanan Hamas tak mungkin dikalahkan sepenuhnya. Ideologi mereka yang menuntut kemerdekaan tak bisa hilang, berapapun nyawa yang dihilangkan pasukan IDF.

Sejarah mengiyakan analisis itu. Tak ada masa di mana Israel bisa leluasa menjajah tanpa ada perlawanan Palestina. Sejak ancaman Zionisme meruak di Tanah Palestina, belum pernah sekalipun kelompok pejuang kemerdekaan Palestina absen melakukan perlawanan. 

Sejak Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour yang mendukung pendirian negara khusus untuk bangsa Yahudi di Palestina pada 1917, gelombang imigran Yahudi mulai tiba di Palestina. Kedatangan ini memunculkan kekhawatiran pada bangsa Arab penduduk asli Palestina yang juga mengimpikan negara serupa di tanah air mereka.

Protes dan perlawanan pertama terhadap kolonial Inggris yang saat itu menguasai Palestina serta terhadap imigran Yahudi mulai tercatat pada 1918. Pada Maret 1920, terjadi bentrokan antara masa Arab penentang Zionisme dan para imigran Yahudi di Yerusalem. Insiden ini menewaskan lima Yahudi dan empat orang Arab.

Setelah kerusuhan itu, kendali Inggris terhadap bangsa Arab diperketat dan disertai diskriminasi. Hal ini menambah semangat perlawanan pada bangsa Palestina yang memuncak pada Agustus 1929. Tahun itu, terjadi kerusuhan yang menewaskan seratusan di masing-masing warga Yahudi dan Arab.

Komite penyelidikan Inggris menyimpulkan, kerusuhan saat itu dipicu demonstrasi Yahudi di Tembok Ratapan di Yerusalem pada tanggal 15 Agustus 1929. Aksi itu menimbulkan kekhawatiran pada bangsa Palestina soal “aspirasi politik dan nasional mereka serta ketakutan akan masa depan ekonomi mereka, serta ketakutan orang-orang Arab terhadap imigran Yahudi bukan hanya sebagai ancaman terhadap penghidupan mereka namun juga sebagai penguasa di masa depan".

Menyusul kerusuhan itu, muncul nama ulama Suriah Izzuddin al-Qassam yang kala itu tinggal di Palestina. Pada 1930, ia membentuk kelompok perlawanan Palestina pertama, yakni kelompok Kafful Aswad alias Tangan Hitam. Kelompok itu dibentuk menghadapi kelompok teroris Yahudi, Haganah, yang kerap melakukan pengusiran warga Arab di desa-desa di Palestina.

Al-Qassam kemudian dibunuh kolonial Inggris menyusul kematian seorang polisi pada 1935. Perjuangan Al-Qassam berbarengan dengan perlawanan melalui aksi-aksi demonstrasi yang diserukan Syekh Amin al-Husseini, seorang ulama dari Gaza. Karena perlawanannya, Syekh Husseini diburu Inggris dan terpaksa melarikan diri ke Jerman.

Sejarah Perlawanan Palestina - (Republika)

Pada 1940-an, merujuk sejarawan Ilan Pappe, kelompok Zionis di Palestina mulai merancang pembersihan etnis terhadap warga Arab yang mereka namai Rencana Daleth. Kelompok-kelompok teror seperti Haganah dan Irgun menyerang desa-desa Arab, melakukan penganiayaan dan intimidasi serta pembunuhan untuk mengusir bangsa Arab.

Perlawanan Palestina yang dilemahkan kolonial tak mampu menahan gelombang pengusiran yang berpuncak pada eksodus massal pada 1948, saat negara Israel dideklarasikan. Sebanyak 700 ribu warga Palestina diusir paksa dalam peristiwa yang dikenal di Palestina dengan nama Nakba tersebut. Pembelaan bangsa-bangsa Arab terhadap Palestina kala itu dipatahkan pasukan Israel yang lebih terlatih dan memiliki senjata yang lebih canggih.

Seiring terusirnya bangsa Palestina, perlawanan dilakukan kelompok gerilyawan lepas yang disebut Fidayin dari pengungsian di Suriah, Yordania, dan Lebanon. Serangan-serangan lintas batas ke Israel dilakukan secara sporadis. Para gerilyawan Fidayin ini meniru gerakan gerilya di negara-negara terjajah dan kebanyakan beraliran kiri. Mereka menolak Zionisme dan memimpikan negara Palestina yang sekuler dan demokratis tanpa mengistimewakan etnis atau agama apapun.

Bangkitnya Fatah dan Hamas... baca halaman selanjutnya

Pada 1959, sekelompok diaspora Palestina prokemerdekaan kemudian membentuk kelompok Fatah, akronim terbalik dari bahasa Arab yang artinya Gerakan Nasional Kemerdekaan Palestina. Tokoh nasionalis Palestina Yasser Arafat didapuk jadi pemimpinnya. Pada saat yang sama, seorang Kristen Palestina, George Habash mendirikan Front Populer Pembebasan Palestina (PFLP) yang beraliran kiri. Hadir juga Front Demokratik Pembebasan Palestina (DFLP) saat itu. 

Bersama sejumlah gerakan lain, mereka kemudian disatukan dalam Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Sepanjang 1960-an hingga 1980-an, mereka melakukan serangan-serangan dari luar Israel, utamanya dari Lebanon. Pada 1982, Israel menjalankan serangan pemberangusan PLO di Lebanon, yang menimbulkan banyak korban jiwa. Pada akhir 1980-an, PLO mencoba jalan diplomasi dengan melakukan perundingan damai dengan Israel.

Meski PLO sudah mengalah dengan melepas sejumlah wilayah Palestina sesuai batas dua negara sebelum 1967, perundingan damai itu kandas. Sementara di Gaza dan Tepi Barat, muncul gerakan perlawanan semesta yang dinamai Intifadhah. 

Gerakan ini melahirkan Kelompok Hamas dan Jihad Islam Palestina. Keduanya saat ini adalah gerakan perjuangan bersenjata terbesar di Gaza. Hamas kemudian menjadi partai politik dan memenangkan pemilu Palestina pada 2006. Kemenangan Hamas ini membawa kemunduran pada perjuangan diplomatik karena negara-negara Barat enggan mengakui Hamas yang mereka cap sebagai kelompok teror. Hamas dan Israel terlibat pertempuran yang berujung pada bombardir brutal di Gaza oleh Israel pada 2008-2009, 2014, dan 2021.

Dialog politik antara Hamas dan Fatah yang belum berujung juga memicu munculnya faksi-faksi independen di kota-kota di Tepi Barat. Mereka terlibat baku serang dengan Israel sepanjang 2022 dan awal 2023. Di antara yang ternama dari kelompok-kelompok ini adalah Brigade Jenin dan Sarang Singa di Nablus. 

Ragam Faksi Militer di Palestina - (Republika)

Pada 2022 itu, kelompok-kelompok bersenjata di Gaza mulai melakukan latihan bersama. Dan pada 7 Oktober 2023, mereka melancarkan Operasi Badai al-Aqsa menembus pagar pembatas canggih ke Israel. Israel mengeklaim 1.200 warganya dan sejumlah warga asing tewas dalam serangan itu.

Mereka kemudian melakukan serangan brutal ke Gaza yang kini telah menewaskan lebih dari 37 ribu  warga, kebanyakan anak-anak dan perempuan. Israel menyatakan, serangan-serangan itu ditujukan untuk memusnahkan Hamas dari muka bumi.

Bagaimanapun, sejarah panjang Palestina menunjukkan, yang patah pasti tumbuh dan yang hilang berganti. Selama penjajahan, penindasan dan pengusiran terus terjadi, selalu ada yang bangkit melawan di Palestina. Mereka-mereka yang syahid di masa lalu seperti Izzuddin al-Qassam, kemudian Abu Ali Mustafa, atau Umar al-Qasim, tak benar-benar meninggal. Nama-nama mereka saat ini hidup di emblem brigade-brigade tempur di Gaza dan Tepi Barat. 

 
Berita Terpopuler