Beda dengan Tajikistan, Negara Kristen Ini Justru Tolak Pelarangan Niqab

Pemerintah menolak usulan Ketua Dewan HAM Rusia

IST
Muslimah Rusia (Ilustrasi).
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Sebelum dunia Islam dihebohkan dengan keputusan Pemerintah Tajikistan untuk melarang penggunaan jilbab di ruang publik, sikap berbeda justru ditunjukkan oleh Rusia.

Baca Juga

Pemerintah Rusia yang notabene pernah menjadi negara komunis telah menolak inisiatif pelarangan niqab, yaitu cadar tradisional Muslim yang menutupi seluruh wajah kecuali mata, kantor berita Kommersant melaporkan pada Mei lalu, mengutip dokumen kabinet, lapor Russian Today.

Pemerintah Rusia yang notabene merupakan negara dengan mayoritas penduduk Kristen Ortodoks, menolak usulan Ketua Dewan Hak Asasi Manusia Rusia, Valery Fadeev yang menyarankan Kremlin untuk mempertimbangkan pelarangan niqab, dengan alasan risiko ekstremisme.

Seruannya disampaikan hampir dua bulan setelah serangan teroris mematikan di tempat konser Balai Kota Crocus di luar Moskow, yang menewaskan 145 orang dan lebih dari 500 orang terluka. Para tersangka pelaku adalah warga Tajikistan, bekas republik Soviet yang mayoritas Muslim di Asia Tengah.

Pakaian Niqab (Ilustrasi) - (Andrew Kelly/Reuters)

Melarang pakaian tersebut dapat melanggar hak sekuler dan kebebasan beragama, yang dijamin oleh konstitusi bagi seluruh warga negara Rusia, menurut dokumen yang dikutip oleh Kommersant. Kabinet tersebut menanggapi pertanyaan yang diajukan anggota parlemen Rusia kepada Perdana Menteri Mikhail Mishustin.

Pejabat pemerintah juga menolak gagasan untuk mewajibkan pencantuman etnis dalam paspor internal warga negara. Dokumen identitas yang dikeluarkan oleh Uni Soviet mencantumkan ‘kewarganegaraan’ seorang warga negara, yang berarti asal etnis. Praktik ini dibatalkan setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991. Konstitusi baru tidak mengharuskan warga negara untuk menyebutkan latar belakang mereka.

Untuk menjawab pertanyaan dari Partai Komunis Rusia terkait migrasi ilegal dan kejahatan etnis, Pemerintah Rusia justru berencana mengembangkan apa yang disebut profil digital bagi warga negara asing untuk melacak migrasi.

Respons dari Mufti Moskow...

 

Usulan Fadeev mendapat tanggapan beragam. Ketua Komite Buruh Duma Negara, Yaroslav Nilov, mengatakan bahwa tindakan apa pun harus didiskusikan secara tertutup dengan perwakilan kelompok Muslim dan pemerintah daerah, tanpa liputan media secara luas.

Ketua Mufti Moskow, Ildar Alyautdinov, memperingatkan bahwa pelarangan niqab dapat menimbulkan ketidakpuasan di kalangan umat Islam di Rusia dan menyebabkan kerusuhan baru.

Presiden Rusia Vladimir Putin saat pertemuan di Kremlin di Moskow, Rusia, Senin (24/6/2024) - (Vyacheslav Prokofyev, Sputnik, Kremlin Pool P)

Alyautdinov mengatakan kepada RIA Novosti pekan lalu bahwa komunitas Muslim Rusia akan mendukung pelarangan niqab hanya jika aparat penegak hukum mampu membuktikan hubungan langsung antara penggunaan niqab dan meningkatnya risiko ekstremisme.

Awal tahun ini, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan Rusia adalah negara multinasional dan multi-agama yang memperlakukan semua orang dengan hormat. Putin menekankan bahwa ada 190 kelompok etnis yang tinggal di negara yang dulu merupakan Uni Soviet tersebut.

Pelarangan hijab di Tajikistan..

Tajikistan resmi melarang penggunaan hijab untuk Muslimah pada 19 Juni 2024 lalu. Pelarangan tersebut seiring dengan disahkannya undang-undang baru yang mengatur pakaian Islami dan perayaan Idul Fitri oleh parlemen negara itu.

RUU yang disetujui oleh majelis tinggi parlemen itu, Majlisi Milli, pada 19 Juni, muncul setelah bertahun-tahun diberlakukannya tindakan keras tidak resmi terhadap hijab di negara mayoritas Muslim tersebut.

Lebih dari sebulan sebelumnya, pada 8 Mei, majelis rendah parlemen negara tersebut, Majlisi Namoyandagon, menyetujui RUU tersebut. Dengan jilbab sebagai pusatnya, RUU ini menargetkan pakaian tradisional Islam.

Undang-undang ini mengubah undang-undang ‘Tentang Peraturan Hari Raya dan Upacara’ yang ada dan melarang “impor, penjualan, promosi, dan pemakaian pakaian yang dianggap asing bagi budaya nasional”. Inti dari perubahan ini adalah larangan hijab, penutup kepala yang dikenakan oleh wanita Muslim, serta pakaian lain yang berhubungan dengan Islam.

Pelanggaran dapat dikenakan denda mulai dari 7.920 somoni (sekitar Rp 12 juta) untuk pelanggar individu hingga 39.500 somoni (Rp 61 juta) menurut Layanan Tajik Radio Liberty. RUU tersebut juga melarang “Idieh”, kebiasaan anak-anak diberi uang pada saat Idul Fitri dan “Navroz”, perayaan menjelang Idul Fitri dan Idul Adha.

Pelarangan jilbab ternyata juga diberlakukan oleh beberapa negara berpenduduk Muslim eks jajahan Uni Soviet. Meski larangan itu tak berlaku umum, pemerintah negara-negara tersebut menerapkan aturan 'bebas jilbab' bagi para pelajar di sekolah. 

 

 
Berita Terpopuler